Yang agak ribet di pesantren setiap awal tahun ajaran baru adalah mengurusin santri baru. Salah satunya minta pulang, karena tidak betah atau belum kerasan, baik oleh anaknya maupun orang tuanya.
Suatu pagi seorang santri yang belum genap dua hari berada di pesantren mengetuk pintu rumah saya. Setelah saya membuka pintu, nampaklah sosok seorang santri dengan mata sembab, terisak-isak sambil menangis.
Saya: "Ada apa? Kok menangis?"
Santri: "Ijinkan saya pulang, sebentaaar saja ustadz."
Saya: "Kan kemaren sudah disampaikan bahwa santri tidak dibolehkan pulang kecuali, setelah tiga bulan dahulu di pondok".
Tetiba si Santri berjongkok, setengah tiarap dia memohon-mohon dengan menangis sekeras-kerasnya.
"Ustaaaaad....saya mau pulang, saya mau pulaaang."
Sontak saja tetangga kanan kiri terkejut dibuatnya. Mereka kompak menanyakan: Apakah itu santri baru? Setelah saya mengiyakan, mereka memakluminya, sambil menutup tangan ke mulut kerena menahan tawa, mereka berpaling lagi ke dalam rumah.
Akhirnya dengan beberapa nasihat si Santri bersedia untuk tidak pulang dahulu dan kembali ke asramanya dengan masih terisak setelah menangis keras.
Kurang lebih seminggu setelah kejadian itu, saya masuk kelas di mana si Santri berada. Saya melihat raut mukanya sudah jauh berbeda dari seminggu yang lalu. Terlihat lebih ceria. Saya tanyakan apakah masih ingin pulang ke rumah. Dia menjawab: Tidak ingin lagi, karena sudah merasa betah.
Tahun ini anak itu telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren dengan beberapa prestasi, termasuk dalam bidang Bahasa Inggris.
Bagi orang tua yang tidak terlalu senang dengan sistem zonasi yang diterapkan oleh sekolah-sekolah saat ini, bisa memasukkan anaknya ke pesantren, karena di pesantren sistem itu tidak berlaku. Dengan syarat, siap-siap orang tua dan anaknya membendung air mata, menahan tangis...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar