BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Epistemologi
disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelajari
dan menentukan ruang lingkup pengetahuan. Epistemologi berusaha membahas
bagaimana ilmu didapatkan, bukan untuk apa atau mengenai apa. Para filsuf
aliran Sokratik, atau filsauf-filsuf pertama di Barat pada waktu itu belum
memberikan perhatian terhadap filsafat pengetahuan. Dan bukan berarti mereka
tidak peduli terhadap filsafat. Kehidupan filsafat di Barat makin menunjukkan
kemajuannya.
Aristoteles
mengawali metafisikanya dengan pernyataan”setiap manusia dari kodratnya ingin
tahu.” Aristoteles meyakini hal tersebut.Keyakinan tersebut tidak hanya untuk
orang lain saja, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan Socrates,
Socrates telah meniti karirnya sendiri dengan berdasarkan suatu pondasi yang
berbeda, ia meyakini bahwa tidak seorang manusia pun mempunyai pengetahuan. Ada
kemungkinan manusia tidak mempunyai pengetahuan karena tidak menggunakan
inderanya untuk mengenali alam ini manusia akan mengetahui ketika ada rasa
kagum. Ketika manusia tidak kagum , maka ia tidak akan pernah mengenal
filsaafgat,karena pada dasarnya dari rasa kagumlah filsafat bermula. Rasa kagum
sebenarnya bukan muncul dari sesuatu yang sulit, tetapi kekaguman muncul,
sering muncul dan tampak sederhana dalam kehidupan manusia.
Manusia
sering menganggap bahwa sesuatu yang kelihatan adalah dapat dipahami dengan
benar dan seolah-olah ia telah mengetahui keberadaan benda dan materi tersebut
secara mendalam. Anggapan manusia bahwa apa yang terlihat dan dilihatnya serta
dikenalnya, belum tentau dapat dipahami hakekatanya, belum pasti manusia telah
sampai kepada pengetahuan yang ia kenal. Dari sinilah nantinya ada peluang bagi
epistemologi untuk menjelaskan kenapa manusia mengetahui, kenapa sesuatu itu
menjadi seperti itu.
Epistemologi berusaha menjembatani manusia agar menyadari bahwa sebenarnya pengetahuannya adalah karena ketidaktahuannya. Pengetahuan itu dianggap sah dan benar ketika benar menurut pengetahuan tersebut. Terkadang manusia melakukan trial and error untuk mengetahui sesuatu, degan harapan akan mendapatkan kebenaran.
Epistemologi berusaha menjembatani manusia agar menyadari bahwa sebenarnya pengetahuannya adalah karena ketidaktahuannya. Pengetahuan itu dianggap sah dan benar ketika benar menurut pengetahuan tersebut. Terkadang manusia melakukan trial and error untuk mengetahui sesuatu, degan harapan akan mendapatkan kebenaran.
Bahkan,
kalau diperhatikan ternyata pertanyaan-pertanyaan filosof sering muncul dalam
kehidupan sehari-hari. Hal tersebut merupakan salah satu persoalan-persoalan
pokok dalam epistemologi. Kekaguman merupakan awal munculnya epistemologi.
Tetapi yang perlu di sadari bahwa keyakinan-keyakinan umum dibentuk bukan dari
kesalahan-kesalahan. Tetapi banyak manusia yang merasa lebih tenang dengan pandangan
umum.
Pengetahuan
berusaha memahami benda sebagaimana adanya, lalu akan timbul pertanyaan,
bagaimana seseorang mengetahui kalau dirinya telah mencapai pengetahuan tentang
benda sebagaimana adanya? Untuk menjawab apakah manusia telah tahu dengan pengetahuannya,
maka epistemologi adalah jawabnya. Kepastian yang dicari oleh epitemologi dalam
mencari kebenaran apakah manusia sudah benar sesuai dengan tingkat pengetahuan
dimungkinkan oleh suatu keraguan. Dengan keraguan inilah akan memberi
kesempatan kepada epistemologi untuk menjawabnya. Dengan keraguan tersebut
manusia berusaha membangun sebuah pengetahuan, yang mereka teliti dengan
kerangak berfikir ilmiah, dengan pola deduktif maupun induktif.
B.
Rumusan
Masalah
Supaya terarahnya makalah ini maka akan dirumuskan beberapa masalah
di bawah ini, yaitu:
1.
Apakah
pengertian epistemologi?
2.
Apa
Arti pengetahuan?
3.
Bagaimana
proses terjadinya pengetahuan?
4.
Bagaimanakah
Alur berpikir ilmiah?
5.
Bagaimanakah
metode ilmiah?
BAB II
EPISTEMOLOGI
(Cara Mendapatkan Pengetahuan yang Benar)
A.
Pengertian
Epistemologi
Runes
dalam kamusnya (1971) menjelaskan bahwa epistemology
is the branch of philoshophy which investigates the origion, structure, methods
and validity of knowledge. Itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan
istilah filsafat pengetahuan karena ia membicarakan hal tentang pengetahuan.
Istilah epistemologi untuk pertama kalinya muncul dan digunakan oleh J.F Ferier
pada tahun 1854 (Runes, 1971:94).
Secara
etimologis epistemology berakar kata
dari bahasa Yunani episteme yang
mempunyai arti pengetahuan atau kebenaran. Logos
juga berarti pikiran, kata, atau teori. Dari dua pengertian tersebut dapat
dipahami bahwa epistemology adalah ilmu pengetahuan tentang pengetahuan. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa epistemology membicarakan dirinya sendiri,
membedah lebih dalam tentang dirinya sendiri. (Surajiwo, 2007: 24)
Ada juga
yang menyatakan bahwa episteme berarti Knowledge atau science, sedangkan logos
berarti the theory of the nature of knowing and the means by which we know.
Dengan demikian epistemology atau teori pengetahuan didefinisikan sebagai
cabang filsafat yang berhubungan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan,
praanggapan-anggapan dan dasar-dasarnya serta reliabilitas umum yang dapat
untuk mengklaim sesuatu sebagai ilmu pengetahuan.
Epistemologi juga
disebut logika, yaitu ilmu tentang pikiran. Akan tetapi, logika dibedakan
menjadi dua, yaitu logika minor dan logika mayor. Logika minor mempelajari
struktur berpikir dan dalil-dalilnya, seperti silogisme. Logika mayor
mempelajari hal pengetahuan, kebenaran, dan kepastian yang sama dengan lingkup
epistemologi.
Gerakan epistemologi di
Yunani dahulu dipimpin antara lain oleh kelompok yang disebut Sophis, yaitu
orang yang secara sadar mempermasalahkan segala sesuatu. Dan kelompok Shopis
adalah kelompok yang paling bertanggung jawab atas keraguan itu.
Oleh karena itu,
epistemologi juga dikaitkan bahkan disamakan dengan suatu disiplin yang disebut
Critica, yaitu pengetahuan sistematik mengenai kriteria dan patokan untuk
menentukan pengetahuan yang benar dan yang tidak benar. Critica berasal dari
kata Yunani, krimoni, yang artinya mengadili, memutuskan, dan menetapkan.
Mengadili pengetahuan yang benar dan yang tidak benar memang agak dekat dengan
episteme sebagai suatu tindakan kognitif intelektual untuk mendudukkan sesuatu
pada tempatnya.
Jika diperhatikan,
batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan
epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Pranarka menyatakan
bahwa sejarah epistemologi dimulai pada zaman Yunani kuno, ketika orang mulai
mempertanyakan secara sadar mengenai pengetahuan dan merasakan bahwa
pengetahuan merupakan faktor yang amat penting yang dapat menentukan hidup dan
kehidupan manusia. Pandangan itu merupakan tradisi masyarakat dan kebudayaan
Athena. Tradisi dan kebudayaan Spharta, lebih melihat kemauan dan kekuatan
sebagai satu-satunya faktor. Athena mungkin dapat dipandang sebagai basisnya
intelektualisme dan Spharta merupakan basisnya voluntarisme.
Zaman Romawi tidak
begitu banyak menunjukkan perkembangan pemikiran mendasar sistematik mengenai
pengetahuan. Hal itu terjadi karena alam pikiran Romawi adalah alam pikiran
yang sifatnya lebih pragmatis dan ideologis.
Masuknya agama Nasrani
ke Eropa memacu perkembangan epistemologi lebih lanjut, khususnya karena
terdapat masalah hubungan antara pengetahuan samawi dan pengetahuan manusiawi,
pengetahuan supranatural dan pengetahuan rasional-natural-intelektual, antara iman
dan akal. Kaum agama di satu pihak mengatakan bahwa pengetahuan manusiawi harus
disempurnakan dengan pengetahuan fides, sedang kaum intelektual mengemukakan
bahwa iman adalah omong kosong kalau tidak terbuktikan oleh akal. Situasi ini
menimbulkan tumbuhnya aliran Skolastik yang cukup banyak perhatiannya pada
masalah epistemologi, karena berusaha untuk menjalin paduan sistematik antara
pengetahuan dan ajaran samawi di satu pihak, dengan pengetahuan dan ajaran
manusiawi intelektual-rasional di lain pihak. Pada fase inilah terjadi
pertemuan dan sekaligus juga pergumulan antara Hellenisme dan Semitisme.
Kekuasaan keagamaan yang tumbuh berkembang selama abad pertengahan Eropa
tampaknya menyebabkan terjadinya supremasi Semitik di atas alam pikiran
Hellenistik. Di lain pihak, orang merasa dapat memadukan Hellenisme yang
bersifat manusiawi intelektual dengan ajaran agama yang bersifat
samawi-supernatural. Dari sinilah tumbuh Rasionalisme, Empirisme, Idelisme, dan
Positivisme yang kesemuanya memberikan perhatian yang amat besar terhadap
problem pengetahuan.
Selanjutnya, Pranarka
menjelaskan bahwa zaman modern ini telah membangkitkan gerakan Aufklarung,
suatu gerakan yang meyakini bahwa dengan bekal pengetahuan, manusia secara
natural akan mampu membangun tata dunia yang sempurna. Optimisme yang kelewat
dari Aufklarung serta perpecahan dogmatik doktriner antara berbagai macam
aliran sebagai akibat dari pergumulan epistemologi modern yang menjadi
multiplikatif telah menghasilkan suasana krisi budaya.
Semua itu menunjukkan
bahwa perkembangan epistemologi tampaknya berjalan di dalam dialektika antara
pola absolutisasi dan pola relativisasi, di mana lahir aliran-aliran dasar
seperti skeptisisme, dogmatisme, relativisme, dan realisme. Namun, di samping
itu, tumbuh pula kesadaran bahwa pengetahuan itu adalah selalu pengetahuan
manusia. Bukan intelek atau rasio yang mengetahui, manusialah yang mengetahui.
Kebenaran dan kepastian adalah selalu kebenaran dan kepastian di dalam hidup
dan kehidupan manusia.
Pembicaran
tentang epistemologi akan berkutat pada tataran apa yang dapat diketahui dan
bagaimana cara mengetahui. Dengan demikian dalam pembahasan ini akan mengacu
kepada beberapa teori tentang pengetahuan itu sendiri. Membahas epistemology
tidak akan lepas dari berbagai teori tentang pengetahuan, meskipun dalam
realitasnya banyak teori-teori tentang pengetahuan mempunyai
perbedaan-perbedaan. Terjadinya perbedaan tersebut akibat adanya perbedaan
metode, obyek, sistem dan tingkat kebenarannya yang berbeda.
Ada dua
teori tentang kebenaran dan hakekat pengetahuan, dua teori tersebut adalah
realisme yang mempunyai pandangan bahwa gambaran atau kopi yang sebenarnya dari
apa yang ada di alam nyata (dari fakta atau hakikat). Artinya apa yang
digambarkan akal adalah sesuai dengan realitas di luar akal atau diri manusia.
Dengan pendapat tersebut aliran realisme berpendapat bahwa pengetahuan dianggap
benar ketika sesuai dengan kenyataan. Teori kedua tentang hakikat pengetahuan
adalah idealisme. Idealisme meyakini bahwa untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar-benar sesuai dengan realitas adalah mustahil. Pengetahuan adalah proses
mental/psikologis yang bersifat subyektif.
B.
Pengetahuan
Pembahasan
tentang pengetahuan telah dimulai sejak masa-masa para filsuf Yunani. Dasar
mereka berfilsafat adalah karena mereka sudah tidak lagi percaya terhadap
pengetahuan inderawi. Diantara para ahli filsuf ada yang lebih mengutamakan
unsur akal, ada yang menggabungkan antara keduanya (Pengetahuanh inderawi dan
akal) dan ada juga yang berpendapat bahwa pengetahuan bersifat relatif
subyektif. Pada masa modern ini, masih ada pemikir yang merepresentasikan
orientasi-orientasi ini. Namun, kajian tentang pengetahuan (Epistemologi) telah
menjadi kajian yang berdiri sendiri (Independen).
Pendiri
sebenarnya dari teori pengetahuan sebagai sebuah kajian filsafat yang
independen adalah John Locke. Ia telah mempertanyakan tentang asal-usul,
esensi, batasan dan tingkat keyakinan pengetahuan sejak lama. Adapun Kant
dianggap sebagai tokoh terpenting yang telah merumuskan teori pengetahuan
setelah Lock. Kant telah mempelajari hubungan antara hal-hal yang bersifat
inderawi dan hal-hal yang bersifat rasional serta telah mempelajari batas-batas
pengetahuan manusia melalui kritiknya terhadap akal.
Semua
pengetahuan hanya dikenal dan ada di dalam pikiran manusia, tanpa pikiran
pengetahuan tidak akan dapat eksis. Oleh karena itu, keterkaitan antara
pengetahuan dan pikiran merupakan sesuatu yang kodrati. Ada delapan hal penting
yang berfungsi membentuk struktur pikiran manusia, yaitu sebagai berikut:
a. Mengamati (observasi); pikiran
berperan dalam mengamati objek-objek. Dalam melaksanakan terhadap ogjek itu
maka pikiran haruslah mengandung kesadaran. Oleh karena itu di sini pikiran
merupakan suatu bentuk kesadaran. Kesadaran adalah suatu karaktristik atau
fungsi pikiran. Sebuah pikiran mengamati
apa saja yang menampak. Pengamatan acap kali timbul dari rasa ketertarikan pada
objek. Dengan demikian pengamatan ini melibatkan pula fungsi-fungsi pikiran yang
lain.
b. Menyelidiki (inquires); ketertarikan
pada objek dikondisikan oleh jenis-jenis objek yang tampil. Ketertarikan kepada
sesuatu itu ada yang dikaitkan dengan kepentingan jasmaniah, permintaan
lingkungan, tuntutan masyarakat, tujuan-tujuan pribadi, konsepsi diri, rasa
tanggung jawab, rasa kebebasan bertindak, dan lain lain. Minat akan membimbing
seseorang secara ilmiah untuk terlibat kedalam pemahaman atau penyelidikan.
c. Percaya (believes); manakala suatu
objek muncul dalam kesadaran, biasanya objek-objek itu diterima sebagai objek
yang menampak. Kata percaya bisa dilawankan dengan keraguan. Sikap menerima
sesuatu yang menampak sebagai pengertian yang memadai setelah keraguan,
dinamakan kepercayaan.
d. Hasrat (desires); kodrat hasrat ini
mencakup kondisi biologis serta psikologis dan interaksi dialektik antara tubuh
dan jiwa. Tanpa pikiran tidak mungkin ada hasrat, beberapa hasrat muncul dari
kebutuhan jasmani seperti nafsu makan, minum, istirahat, tidur dan lain-lain.
e. Maksud (intends); kendatipun
mempunyai maksud ketika mengobservasi, menyelidiki, mempercayai dan berhasrat,
namun sekaligus perasaannya tidak berbeda atau bahkan terdorong ketika
melakukannya.
f. Mengatur (organizes); setiap pikiran
adalah suatu organism yang teratur dalam diri seseorang.
g. Menyesuaikan (adapts); menyesuaikan
pikiran sekaligus melakukan pembatasan-pembatasan yang dibebankan pada pikiran melalui kondisi keberadaan
yang tercakup dalam otak dan tubuh di dalam fisik, biologis, lingkungan social
dan cultural dan keuntungan yang terlihat pada tindakan, hasrat dan kepuasan.
h. Menikmati (enjoys); pikiran-pikiran
mendatangkan keasyikan. Orang yang asyik dalam menekuni suatu persoalan, ia
akan menikmati itu dalam pikirannya
C. Proses terjadinya pengetahuan
Proses
terjadinya pengetahuan adalah masalah yang amat penting dalam epistemologi
karena jawaban terhadap terjadinya pengetahuan akan membuat seseorang paham
filsafatnya. Jawaban yang sederhana adalah berfilsafat a priori, yaitu ilmu
yang terjadi tanpa melalui pengalaman, baik indera maupun batin, atau a posteriori
yaitu ilmu yang terjadi karena adanya pengalaman. Dengan demikian pengetahuan
ini bertumpu pada kenyataan objektif.
Ada enam
hal yang merupakan alat untuk mengetahui proses terjadinya pengetahuan, yaitu:
a.
Pengalaman Indera (Sense Experience)
Dalam
filsafat, paham yang menekankan pada kenyataan disebut realisme, yaitu paham
yang berpendapat bahwa semua yang dapat diketahui adalah hanya kenyataan. Jadi
ilmu berawal mula dari kenyataan yang dalam diserap oleh indera. Aristoteles
adalah tokoh yang pertama mengemukakan pandangan ini, yang berpendapat bahwa
ilmu terjadi bila subjek diubah dibawah pengaruh objek. Objek masuk dalam diri
subjek melalui persepsi indera (sensasi).
b.
Nalar (Reason)
Nalar
adalah salah satu corak berpikir dengan menggabungkan dua pemikiran atau lebih
dengan maksud untuk mendapatkan pengetahuan baru. Hal yang perlu diperhatikan
dalam telaah ini adalah tentang asas pemikiran berikut:
1. Principium Identitas, disebut juga
asas kesamaan.
2. Principium Contradictionis, disebut
juga asas pertentangan.
3. Principium Tertii Exclusi, disebut
sebagai asas tidak adanya kemungkinan ketiga.
c.
Otoritas (Authority)
Otoritas
adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan diakui oleh
kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber ilmu karena keompoknya memiliki
pengetahuan melalui seseorang yang memiliki kewibawaan dalam pengetahuannya.
Jadi ilmu pengetahuan yang terjadi karena adanya otoritas adalah ilmu yang
terjadi melalui wibawa seseorang hingga orang lain mempunyai pengetahuan.
d.
Intuisi (Intuition)
Intuisi
adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa proses kejiwaan tanpa
suatu rangsangan atau stimulus mampu membuat pernyataan yang berupa ilmu.
Karena ilmu yang diperoleh melalui intuisi muncul tanpa adanya pengetahuan
lebih dahulu, maka tidak dapat dibuktikan seketika atau melalui kenyataan.Wahyu
(Revelation)
Wahyu
adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada nabi-Nya untuk kepentingan
umatnya. Seseorang yang mempunyai pengetahuan melalui wahyu secara dogmatik
akan melaksanakan dengan baik. Wahyu dapat dikatakan sebagai salah satu sumber
pengetahuan, karena manusia mengenal sesuatu melalui kepercayaannya.
e. Keyakinan (Faith)
Keyakinan
adalah suatu kemampuan yang ada pada diri manusia yang diperoleh melalui
kepercayaan. Sesungguhnya antara wahyu dan keyakinan hampir tidak dapat
dibedakan karena keduanya menggunakan kepercayaan, perbedaannya adalah bahwa
keyakinan terhadap wahyu yang secara dogmatic diikutinya adalah peraturan
berupa agama, sedang keyakinan adalah kemampuan jiwa manusia yang merupakan
pematangan (maturation) dari kepercayaan. (Surajiwo, 2007: 2)
Vauger menyatakan bahwa
titik tolak penyelidikan epistemologi adalah situasi kita, yaitu kejadian. Kita
sadar bahwa kita mempunyai pengetahuan lalu kita berusaha untuk memahami,
menghayati dan pada saatnya kita harus memberikan pengetahuan dengan
menerangkan dan mempertanggung jawabkan apakah pengetahuan kita benar dalam
arti mempunyai isi dan arti.
Bertumpu pada situasi
kita sendiri itulah sedikitnya kita dapat memperhatikan perbuatan-perbuatan
mengetahui yang menyebabkan pengetahuan itu. Berdasar pada penghayatan dan
pemahaman kita dan situasi kita itulah, kita berusaha untuk mengungkapkan
perbuatan-perbuatan mengenal sehingga terjadi pengetahuan.
Akal sehat dan cara mencoba-coba
mempunyai peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan
mengenai berbagi gejala alam. Ilmu dan filsafat dimulai dengan akal sehat sebab
tidak mempunyai landasan lain untuk berpijak. Tiap peradaban betapapun
primitifnya mempunyai kumpulan pengetahuan yang berupa akal sehat. Randall dan
Buchlar mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang diperoleh lewat
pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan. Sedangkan
karakteristik akal sehat, menurut Titus, adalah (1). Karena landasannya yang
berakar pada adat dan tradisi maka akal sehat cenderung untuk bersifat
kebiasaan dan pengulangan, (2). Karena landasannya yang berakar kurang kuat
maka akal sehat cenderung untuk bersifat kabur dan samar, dan (3). Karena kesimpulan
yang ditariknya sering berdasarkan asumsi yang tidak dikaji lebih lanjut maka
akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Perkembangan
selanjutnya adalah tumbuhnya rasionalisme yang secara kritis mempermasalahkan
dasar-dasar pikiran yang bersifat mitos. Menurut Popper, tahapan ini adalah
penting dalam sejarah berpikir manusia yang menyebabkan ditinggalkannya tradisi
yang bersifat dogmatik yang hanya memperkenankan hidupnya satu doktrin dan
digantikan dengan doktrin yang bersifat majemuk yang masing-masing mencoba
menemukan kebenaran secara analisis yang bersifat kritis.
Dengan demikian
berkembanglah metode eksperimen yang merupakan jembatan antara penjelasan
teoritis yang hidup di alam rasional dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris.
Metode ini dikembangkan lebih lanjut oleh sarjana-sarjana Muslim pada abad
keemasan Islam. Semangat untuk mencari kebenaran yang dimulai oleh para pemikir
Yunani dihidupkan kembali dalam kebudayaan Islam. Dalam perjalanan sejarah,
lewat orang-orang Muslimlah, dunia modern sekarang ini mendapatkan cahaya dan
kekuatannya. Pengembangan metode eksperimen yang berasal dari Timur ini
mempunyai pengaruh penting terhadap cara berpikir manusia, sebab dengan
demikian berbagai penjelasan teoritis dapat diuji, apakah sesuai dengan
kenyataan empiris atau tidak. Dengan demikian berkembanglah metode ilmiah yang
menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif.
D. Metode Ilmiah
Kata
metode berasal dari kata Yunani methodos,
sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti) dan kata benda hodos
(jalan, cara, arah). Kata methodos berarti: penelitian, metode ilmiah, uraian
ilmiah, yaitu cara bertindak menurut sistem aturan tertentu. Sementara itu,
metodologi berasal dari kata metode dan logos, yang berarti ilmu yang
membicarakan tentang metode-metode. Melihat dari pengertiannya, metode bisa
dirumuskan suatu proses atau prosedur yang sistematik berdasarkan prinsip dan
teknik ilmiah yang dipakai oleh disiplin (ilmu) untuk mencapai suatu tujuan.
Sementara
itu metodologi disebut juga science of
methods, yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis
dalam penelitian atau membahas konsep teoritis berbagai metode atau dapat
dikatakan sebagai cara untuk membahas tentang dasar-dasar filsafat ilmu dari
metode penelitian. Bagi ilmu seperti sosiologi, antropologi, politik,
komunikasi, ekonomi, hukum serta ilmu alam, metodologi merupakan dasar-dasar
filsafat ilmu dari suatu metode atau langkah praktis penelitian.
Metode
ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu,
dimana ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat metode ilmiah. Metode
ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja pikiran yang diharapkan
mempunyai karakteristik tertentu berupa sifat rasional dan teruji sehingga ilmu
yang dihasilkan bisa diandalkan. Dalam hal ini metode ilmiah mencoba
menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun pengetahuan.
Teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasionil yang berkesuaian dengan objek
yang dijelaskannya, dengan didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan
benar. Pendekatan rasional yang digabungkan dengan pendekatan empiris dalam
langkah menuju dan dapat menghasilkan pengetahuan inilah yang disebut metode
ilmiah. Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah. Kerangka
berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypothetico-verifikasi
ini pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah berikut:
1.
Perumusan masalah
Merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batasannya dan faktor yang terkait dapat diidentifikasi.
2.
Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis
Merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan, yang disusun secara rasionil berdasarkan premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya.
Merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin terdapat antara berbagai faktor yang saling terkait dan membentuk konstelasi permasalahan, yang disusun secara rasionil berdasarkan premis ilmiah yang telah teruji kebenarannya.
3.
Perumusan hipotesis
Merupakan jawaban sementara terhadap
pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan kesimpulan dari kerangka
berpikir yang dikembangkan.
4.
Pengujian hipotesis
Merupakan pengumpulan fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan adanya fakta
pendukung hipotesis.
5.
Penarikan kesimpulan
Merupakan penilaian diterima atau
tidaknya sebuat hipotesis. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi
bagian dari pengetahuan ilmiah karena telah memenuhi persyaratan keilmuan,
yaitu mempunyai kerangka kejelasan yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah
sebelumnya dan telah teruji kebenarannya.
Keseluruhan langkah tersebut harus
ditempuh agar suatu penelaahan dapat disebut ilmiah. Hubungan antara langkah
yang satu dengan lainnya tidak terikat secara statis melainkan bersifat dinamis
dengan proses pengkajian ilmiah yang tidak semata mengandalkan penalaran
melainkan juga imajinasi dan kreativitas. Pentingnya metode ilmiah bukan saja
dalam proses penemuah ilmu pengetahuan, namun terlebih lagi dalam
mengkomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan.
E.
Kebenaran
Pengetahuan
Jika seseorang
mempermasalahkan dan ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar,
menurut para ahli estimologi dan para ahli filsafat, pada umumnya, untuk dapat
membuktikan bahwa pengetahuan bernilai benar, seseorang harus menganalisa
terlebih dahulu cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu
pengetahuan. Seseorang yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indera
akan berbeda cara pembuktiannya dengan seseorang yang bertitik tumpu pada akal
atau rasio, intuisi, otoritas, keyakinan dan atau wahyu atau bahkan semua alat
tidak dipercayainya sehingga semua harus diragukan seperti yang dilakukan oleh
faham skeptisme.
Ada beberapa teori yang menjelaskan tentang
kebenaran, antara lain sebagai berikut:
1.
The correspondence theory of truth.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian antara
arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya
atau faktanya.
2.
The consistence
theory of truth. Menurut teori
ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang
lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan
itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara
yang baru itu dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita
akui benarnya terlebih dahulu.
3.
The pragmatic
theory of truth. Yang dimaksud
dengan teori ini ialah bahwa benar tidaknya sesuatu ucapan, dalil, atau teori
semata-mata bergantung kepada berfaedah tidaknya ucapan, dalil, atau teori
tersebut bagi manusia untuk bertindak dalam kehidupannya.
Dari tiga teori
tersebut dapat disimpulkan bahwa kebenaran adalah kesesuaian arti dengan fakta
yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui kebenarannya dan
tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia.
Sedangkan nilai
kebenaran itu bertingkat-tingkat, sebagai mana yang telah diuraikan oleh Andi
Hakim Nasution dalam bukunya Pengantar ke Filsafat Sains, bahwa kebenaran mempunyai
tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin, ‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin. Adapun
kebenaran menurut Anshari mempunyai empat tingkatan, yaitu:
1.
Kebenaran
wahyu
2.
Kebenaran
spekulatif filsafat
3.
Kebenaran
positif ilmu pengetahuan
4.
Kebenaran
pengetahuan biasa.
Pengetahuan
yang dibawa wahyu diyakini bersifat absolut dan mutlak benar, sedang
pengetahuan yang diperoleh melalui akal bersifat relatif, mungkin benar dan
mungkin salah. Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak
benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang
kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin
saja mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada Tuhan.
Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-rubah dan berkembang.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Epistemologi
adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan salah satu
cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan,
asal mula pengetahuan, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan
kebenaran pengetahuan.
2.
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan
pengetahuan yang disebut ilmu, dimana ilmu merupakan pengetahuan yang diperoleh
lewat metode ilmiah. Metode ilmiah merupakan ekspresi tentang cara bekerja
pikiran yang diharapkan mempunyai karakteristik tertentu berupa sifat rasional
dan teruji sehingga ilmu yang dihasilkan bisa diandalkan.
3. Kebenaran adalah kesesuaian arti
dengan fakta yang ada dengan putusan-putusan lain yang telah kita akui
kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi
kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bakhtiar,
Amsal, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004)
2. Abdullah, Haji
Abdul Rahman, Wacana Filsafat Ilmu: Analisis Konsep-konsep Asas dan Falsafah
Pendidikan Negara, (Kuala Lumpur: Sanon Printing Corporation SDN BHD, 2005)
3.
Surajiwo, Filsafat
Ilmu; Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007)
4.
Suriasumantri,
Jujun S., Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar
Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar