Sumber Photo: NU Online
Wiridan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
santri di pesanren. Bahkan wirid bisa dikatakan sebagai ruh nya pesantren.
Dimanapun santri berada, mesti tidak lepas dari wiridan. Kumpulan wiridan ini
disebut dengan awrad. Makna wirid sendiri berarti sesuatu yang di ulang-ulang.
Dalam pengertian yang lebih luas, wirid adalah amalan yang dikerjakan secara
tetap dan tertib. Wirid juga dapat berupa ibadah secara tertib termasuk zikir
yang dikerjakan terus menerus, tidak pernah ditinggalkan.
Beberapa wirid dibaca sebelum dan sesudah sholat lima waktu.
Beberapa lagi berdasarkan waktu, misalnya dibaca di pagi hari atau di sore
hari. Di pesantren kami, wirid biasanya dibaca bersama-sama dan sebagian lagi
dibaca sendiri.
Pada santri pemula pembacaan wirid dijaga dan kontrol dengan
ketat. Mereka diwajibkan memegang buku kecil kumpulan wirid yang sudah disusun
terlebih dahulu, yakni amalan harian. Pengontrolan ini dimaksudkan agar para
santri betul-betul fokus membaca dan melafalkan secara benar untuk kemudian
menghafalkannya. Pada kegiatan tertentu sejumlah wirid diperlombakan untuk memotivasi
para santri agar lebih bersemangat menghafalkannya.
Jamaknya, wirid berisi ayat-ayat Aquran, shalawat, zikir,
nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), do'a-do'a dan lain-lain. Tetapi di
pesantren, kitab-kitab, seperti matan Jurumiyyah, Alfiyah dan kitab matan
lainnya bisa menjadi wiridan. Wirid dijadikan sebagai teknik untuk menghapal
kitab-kitab matan. Atau, bisa juga, difungsikan untuk mendaras sebelum atau
sesudah menghafalkan.
Begitu pentingnya wirid, di pesantren beredar sebuah ungkapan yang
berbunyi: "man laisa lahu al-wirdu fahua al-qirdu" (barang siapa
yang tidak mau berwirid maka dia sama dengan binatang kera). Entah bagaimana
caranya menghubungkan antara orang yang tidak suka berwirid dengan binatang
kera, sampai sekarang bagi saya masih belum jelas. Mungkin saja, orang yang
tidak berwirid, prilakunya dianggap seperti binatang kera yang culas, rakus dan
tetap jail, sekalipun telah diberi makan banyak oleh pemiliknya.
Setelah selesai sholat lima waktu, orang harus berwirid terlebih
dulu, yang sebagian isinya adalah ayat-ayat Alquran, zikir dan puji-pujian
kepada Allah. Mereka yang langsung berdo'a setelah sholat dianggap sebagai
orang yang kurang beradab. Dan sebagai seorang santri, adab harus dipegang di
atas segalanya, sebuah ungkapan berbunya; "man laisa lahu al-adab fahua
al-dhab" (orang yang tidak punya adab maka dia seperti binatang dhab
--sejenis biawak).
Sebagai seorang yang sejak kecil hidup di lingkungan yang kental
dengan kultur NU kemudian bersekolah di pesantren, ketika suatu saat dihadapkan
dengan kultur yang berbeda, tentu ada semacam keanehan yang
menghinggapi dipikiran dan perasaan. Setidaknya perasaan itu muncul saat
pertama kali. Misalnya dilingkungan Muhammadiyah setelah selesai sholat orang
tidak berwirid secara berjamaah, tapi masing-masing. Atau hal-hal lainnya yang
berbeda seperti qunut pada sholat subuh, rakaat dan ritual
sholat Tarawih dan lain-lain.
Sebagian kaum santri yang agak fanatik, mungkin
akan memilih dulu masjid sebelum melaksanakan sholat jum'at atau tarawih karena
permasalahan wirid ini. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar