Beberapa tahun dahulu beredar di tengah-tengah masyarakat sebuah
ungkapan "Banyak anak banyak rezeki." Ungkapan itu sedikit banyaknya
mempengaruhi pandangan masyarakat awam perihal ‘memproduksi’ keturunan. Dalam
konteks dahulu, pandangan seperti itu mungkin sah-sah saja. Karena pada masa
itu tenaga manusia memang sangat diperlukan untuk membuka lahan yang masih luas
dan tidak terbatas.
Mereka yang mempunyai anak yang banyak, apa lagi laki-laki,
tentu akan sangat membantu orang tuanya, ikut membuka lahan, menanami, makin
banyak lahan yang ditanami, makin banyak rezeki yang di dapat. Di sini berlaku,
banyak anak, banyak rezeki.
Lain dulu, lain sekarang. Kalau dulu orang punya anak banyak,
akan berkelimpahan rezeki. Zaman sekarang itu mungkin tidak begitu relevan
lagi. Bisa saja banyak anak, bukannya rezeki yang didapat tetapi malah bencana,
atau malah bisa membikin bangkrut, apabila anak-anaknya tidak mendapatkan
pendidikan yang mamadai.
Saat ini di pedesaan, apalagi perkotaan, tanah dan lahan yang
dimiliki oleh masyarakat tidak seluas dulu lagi. Tanah dan lahan yang dahulu
subur kini sudah beralihfungsi menjadi tempat pemukiman yang padat. Kalaupun
masih dalam bentuk lahan, itupun tidak dimiliki sepenuhnya oleh para petani.
Kebanyakan lahan sudah dikuasai oleh korporasi. Jadilah masyarakat hanya
sebagai buruh dari lahan-lahan yang dahulunya kepunyaannya itu.
Pekerjaan makin sulit didapat. Lahan makin sempit. Itulah yang
dirasakan masyarakat kelas bawah saat ini. Mereka yang punya tanggungan
keluarga lebih banyak tentu harus berpikir keras untuk dapat menghidupi
keluarganya. Itu baru untuk menghidupi lho, belum lagi kalau berbicara masalah
pendidikannya. Dapat dibayangkan bagaimana susahnya.
Pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat. Umat
manusia sudah sangat banyak, bumi ini sudah semakin sesak. Manusia yang dilahirkan
lebih banyak dari manusia meninggal. Jadilah bumi yang satu-satunya ini sebagai
tempat kehidupan menjadi rebutan. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya
menindas yang miskin, jadilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin,
karena ketiadaan pemerataan. Bukan karena bumi dan alam ini tidak mampu
menyediakan kebutuhan penghuninya, masalahnya adalah, kekayaan yang dimilikinya
hanya dikuasai oleh segelintir manusia rakus yang tidak pernah puas kecuali
bumi (baca tanah) itu sendiri yang diciumkan ke hidung mereka.
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat itu ternyata hanya sebuah
selogan belaka. Dulu di masa orde baru, ketika kami masih sekolah SD, sambil
berdiri tegak dan bersuara lantang, kalimat inilah yang kami dengungkan setiap
pagi sebelum belajar dimulai. Namun, justeru rezim itulah yang menggasak
kekayaan alam ini selama lebih dari 3 dasawarsa. Keadilan itu bukan bagi
seluruh rakyatnya, tapi bagi antek-anteknya.
Setelah cengkraman rezim itu berlalu, asa untuk mendapatkan
kedilan itu kembali bertunas. Namun harapan tinggal harapan, kenyataannya
keadilan tak kunjung tiba. Dulu saja, ketika semua orang mulai dari para elit
sampai rakyat jelata, hapal di luar kepala sila-sila itu hingga sila ke lima,
itupun, mereka tak perduli kepada rakyat. Apalagi kini, mereka, para elit
penyelenggara negara itu justeru tak hapal dasar negara. Ah, kita ragu semua
itu. Jangan-jangan keadilan itu hanya sebagai alat pemanis kata untuk
meninabobokan kita.
Hutan-hutan digunduli, isi bumi di kuras habis-habisan. Tambang
batu bara, minyak bumi, batu besi, timah, emas, dan lain-lain, siapa
penikmatnya? Segelintir orang. Lalu rakyat dapat apa? Dari dulu rakyat hanya
dapat asap polusi dari pembakaran hutan. Rakyat harus puas dengan menghirup
asap dan debu batu bara. Rakyat harus menanggung derita karena ancaman banjir
di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sekali lagi di mana letak
keadilan.
Sudah berapa kali berganti kepala negara, adakah yang berubah
dari rakyat jelata? Sudah berapa kali berganti pemimpin adakah yang berubah
dari kita? Dari pemilu ke pemilu, kita merangkai asa di dalam bilik keramat itu
untuk mendapatkan pemimpin yang adil. Dari pemilu ke pemilu juga kita ditipu
mentah-mentah oleh mereka.
Kini hajatan akbar itu hampir tiba, seperti biasa rakyat kembali
di elu-elukan. Tiba-tiba saja mereka seolah dekat dengan rakyat. Segala cara di
tempuh hanya untuk mendapatkan suara rakyat. Semua daya dan upaya dikerahkan,
tak perduli hukum dan tatak rama, semuanya di langgar, asal dapat mendulang
suara. Berita-berita hoax dihembuskan. Isu dan fitnah disebarkan. Ketenangan
rakyat diobok-obok. Mereka yang dulunya hampir tak kenal agama, tiba-tiba
bersuara lantang tentang agama. Ah, begitukan pemimpin yang akan kita pilih dan
memimpin kita lima tahun kedepan?
Tiba-tiba saja simbol-simbol keislaman bermunculan, lihatlah;
Kiai, santri, tauhid, ulama, masjid, dan lain-lain menjadi ramai
diperbincangkan. Kalau perlu orang yang di dalam kuburan pun mereka bangunkan
demi syahwat berkuasa. Simbol-simbol agama yang harusnya sakral itu
dipolitisasi sedemikian rupa.
Sudahlah, kita jangan lagi terperdaya oleh latah musiman itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar