Minggu, 03 Februari 2019

Jangan Terperdaya oleh Latah Musiman


Beberapa tahun dahulu beredar di tengah-tengah masyarakat sebuah ungkapan "Banyak anak banyak rezeki." Ungkapan itu sedikit banyaknya mempengaruhi pandangan masyarakat awam perihal ‘memproduksi’ keturunan. Dalam konteks dahulu, pandangan seperti itu mungkin sah-sah saja. Karena pada masa itu tenaga manusia memang sangat diperlukan untuk membuka lahan yang masih luas dan tidak terbatas.

Mereka yang mempunyai anak yang banyak, apa lagi laki-laki, tentu akan sangat membantu orang tuanya, ikut membuka lahan, menanami, makin banyak lahan yang ditanami, makin banyak rezeki yang di dapat. Di sini berlaku, banyak anak, banyak rezeki.

Lain dulu, lain sekarang. Kalau dulu orang punya anak banyak, akan berkelimpahan rezeki. Zaman sekarang itu mungkin tidak begitu relevan lagi. Bisa saja banyak anak, bukannya rezeki yang didapat tetapi malah bencana, atau malah bisa membikin bangkrut, apabila anak-anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang mamadai.

Saat ini di pedesaan, apalagi perkotaan, tanah dan lahan yang dimiliki oleh masyarakat tidak seluas dulu lagi. Tanah dan lahan yang dahulu subur kini sudah beralihfungsi menjadi tempat pemukiman yang padat. Kalaupun masih dalam bentuk lahan, itupun tidak dimiliki sepenuhnya oleh para petani. Kebanyakan lahan sudah dikuasai oleh korporasi. Jadilah masyarakat hanya sebagai buruh dari lahan-lahan yang dahulunya kepunyaannya itu.

Pekerjaan makin sulit didapat. Lahan makin sempit. Itulah yang dirasakan masyarakat kelas bawah saat ini. Mereka yang punya tanggungan keluarga lebih banyak tentu harus berpikir keras untuk dapat menghidupi keluarganya. Itu baru untuk menghidupi lho, belum lagi kalau berbicara masalah pendidikannya. Dapat dibayangkan bagaimana susahnya.

Pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat. Umat manusia sudah sangat banyak, bumi ini sudah semakin sesak. Manusia yang dilahirkan lebih banyak dari manusia meninggal. Jadilah bumi yang satu-satunya ini sebagai tempat kehidupan menjadi rebutan. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, jadilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, karena ketiadaan pemerataan. Bukan karena bumi dan alam ini tidak mampu menyediakan kebutuhan penghuninya, masalahnya adalah, kekayaan yang dimilikinya hanya dikuasai oleh segelintir manusia rakus yang tidak pernah puas kecuali bumi (baca tanah) itu sendiri yang diciumkan ke hidung mereka.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat itu ternyata hanya sebuah selogan belaka. Dulu di masa orde baru, ketika kami masih sekolah SD, sambil berdiri tegak dan bersuara lantang, kalimat inilah yang kami dengungkan setiap pagi sebelum belajar dimulai. Namun, justeru rezim itulah yang menggasak kekayaan alam ini selama lebih dari 3 dasawarsa. Keadilan itu bukan bagi seluruh rakyatnya, tapi bagi antek-anteknya.

Setelah cengkraman rezim itu berlalu, asa untuk mendapatkan kedilan itu kembali bertunas. Namun harapan tinggal harapan, kenyataannya keadilan tak kunjung tiba. Dulu saja, ketika semua orang mulai dari para elit sampai rakyat jelata, hapal di luar kepala sila-sila itu hingga sila ke lima, itupun, mereka tak perduli kepada rakyat. Apalagi kini, mereka, para elit penyelenggara negara itu justeru tak hapal dasar negara. Ah, kita ragu semua itu. Jangan-jangan keadilan itu hanya sebagai alat pemanis kata untuk meninabobokan kita.

Hutan-hutan digunduli, isi bumi di kuras habis-habisan. Tambang batu bara, minyak bumi, batu besi, timah, emas, dan lain-lain, siapa penikmatnya? Segelintir orang. Lalu rakyat dapat apa? Dari dulu rakyat hanya dapat asap polusi dari pembakaran hutan. Rakyat harus puas dengan menghirup asap dan debu batu bara. Rakyat harus menanggung derita karena ancaman banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sekali lagi di mana letak keadilan.

Sudah berapa kali berganti kepala negara, adakah yang berubah dari rakyat jelata? Sudah berapa kali berganti pemimpin adakah yang berubah dari kita? Dari pemilu ke pemilu, kita merangkai asa di dalam bilik keramat itu untuk mendapatkan pemimpin yang adil. Dari pemilu ke pemilu juga kita ditipu mentah-mentah oleh mereka.

Kini hajatan akbar itu hampir tiba, seperti biasa rakyat kembali di elu-elukan. Tiba-tiba saja mereka seolah dekat dengan rakyat. Segala cara di tempuh hanya untuk mendapatkan suara rakyat. Semua daya dan upaya dikerahkan, tak perduli hukum dan tatak rama, semuanya di langgar, asal dapat mendulang suara. Berita-berita hoax dihembuskan. Isu dan fitnah disebarkan. Ketenangan rakyat diobok-obok. Mereka yang dulunya hampir tak kenal agama, tiba-tiba bersuara lantang tentang agama. Ah, begitukan pemimpin yang akan kita pilih dan memimpin kita lima tahun kedepan?

Tiba-tiba saja simbol-simbol keislaman bermunculan, lihatlah; Kiai, santri, tauhid, ulama, masjid, dan lain-lain menjadi ramai diperbincangkan. Kalau perlu orang yang di dalam kuburan pun mereka bangunkan demi syahwat berkuasa. Simbol-simbol agama yang harusnya sakral itu dipolitisasi sedemikian rupa.

Sudahlah, kita jangan lagi terperdaya oleh latah musiman itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar