Beberapa kurun dahulu, kaum santri terkenal ndeso, lugu,
jorok, serta seabrek predikat miring yang ditujukan kepada mereka. Santri juga
identik dengan kaum Islam tradisional atau kaum sarungan, dan pemakai sandal
jepit. Wajar, karena banyak santri yang memiliki latar belakang ekonomi
menengah ke bawah, meskipun para santri juga ada yang berasal dari kalangan
menengah ke atas.
Tetapi di balik anggapan miring yang ditujukan kepada kaum
sarungan ini, banyak nilai-nilai positif yang bisa diteladani, seperti: kehidupannya
yang sederhana, keimanan yang kokoh, serta cintanya terhadap tanah air yang tak
pernah lekang.
Suatu ketika K.H. Hasyim Muzadi pernah berujar tentang
santri dan perihal kebiasaan bersarung mereka. Begini: “Ini lomba selawatan di
Surabaya. Yang menang ternyata anak-anak Muhammadiyah. Mereka pakai piano,
pakai jas, dasi. Lah, anak-anak NU pakai sarung; gak tahu, pakai celana dalam
apa tidak!?.”
Terlepas dari pakai celana dalam atau tidak, sarung memang
lekat dengan kaum yang satu ini. Bahkan salah satu gelar yang diberikan kepada
mereka adalah 'kaum sarungan.' Kalau masih penasaran, Anda bisa melakukan
survei kepada beberapa santri apakah pakai dalaman atau tidak. Yang penting
pakai sarung itu bikin sejuk, adem dan tidak gerah...hahaha..
Pertama-tama masuk ke pesantren mengenakan sarung memang
susah-susah gampang. Selain susah rapinya, bundelannya juga besar-besar.
Jadinya malah tidak praktis, susah kalau mau berkegiatan. Namun itu tidak
berjalan lama. Tidak sampai satu bulan memondok para santri sudah mahir
menggunakan pakaian khas masyarakat muslim Indonesia ini.
Selagi masih di pesantren atau pun ketika sudah pulang ke
rumah, mereka tetap betah menggunaakan sarung. Santri tidak canggung lomba lari
hingga main sepak bola menggunakan sarung. Kalau pertama kali menggunakan
sarung dikatakan tidak praktis, ribet dan sebagainya, justeru lama kelamaan
menjadi ketagihan dan dianggap lebih praktis daripada pakai celana. Soalnnya kalau mau cepet-cepet dan tergesa-gesa mau buang
air atau yang lainnya tinggal buka saja, urusan selesai.
Pada masa penjajahan sarung identik dengan perjuangan
melawan kolonial serta budaya yang mereka bawa. Busana ini melekat sebagai
identitas kaum santri yang pada waktu itu menjadi simpul gerakan rakyat di akar
rumput. Bagi para santri, sarung adalah identitas diri yang membedakan mereka
dari kaum abangan yang komitmennya terhadap kemerdekaan cenderung tidak stabil.
Tidak sedikit dari kaum abangan ini yang begitu mengagumi dan meniru budaya
kolonial, sehinggan nasionalisme mereka diragukan.
Setelah kemerdekaan, kesetiaan para santri terhadap sarung
tidak pernah lekang, malah sarung dijadikan sebagai symbol kebudayaan bangsa
yang otentik. Tidak sulit untuk mendapatkan contoh tentang ini. Adalah seorang
tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Abdul Wahab Chasbullah suatu ketika pernah
diundang oleh presiden Soekarno. Protokol kepresidenan meminta beliau untuk
berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara resmi
kenegaraan itu, beliau malah datang dengan menggunakan sarung. Padalah pada
acara-acara resmi seperti itu, biasanya orang datang memakai jas lengkap dan
memakai celana.
Sebagai seorang pejuang yang sering berperang melawan
penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Wahab tetap konsisten menggunakan sarung
sebagai simbol oposisi terhadap budaya Barat. Beliau ingin menunjukkan martabat
bangsanya di hadapan siapa saja, termasuk di hadapan penguasa negerinya, dan
generasi penerus selanjutnya.
Sekarang, setelah jauh berlalu, sarung sudah menjadi busana
nasional yang marak dekenakan oleh hampir semua kalangan, mulai dari presiden
hingga rakyat jelata. Karena sarung yang telah menjadi busana khas Nusantara
ini benar-benar sangat simple, praktis.
Seorang santri sangat bangga memakainya. Kelak setelah
menjadi orang ternama seperti; presiden, menteri, dubes, gubernur, walikota,
bupati, hakim, tentara, polisi, dokter, dosen, atau yang lainnya, sarung tetap
setia menemani mereka, dan menjadi busana yang menyenangkan dan tidak akan
ditinggalkan.
Saat ini banyak para santri yang melanjutkan menuntut ilmu
ke luar negeri, terutama negara-negara Arab (Timur Tangah), seperti di Mekah, Madinah, Yaman,
Syiria, Lebanon yang selalu memakai pakaian khas Arab; gamis atau jubbah.
Tetapi mereka tidak pernah meninggalkan sarung, malah justeru mengawinkannya.
Mereka memakai gamis dan jubbah, tetapi dalamannya memakai sarung.[]