Dulu, sekitar tahun 60-han terdapat sebuah garis yang sangat jelas memisahkan komunitas Muslim ke dalam kelompok "tradisionalis" dan "modernis" (baca: NU dan Muhammadiyah).
Kelompok pertama biasanya mempelajari agama secara ekslusif melalui kitab kuning. Sedangkan kelompok kedua membaca dan menulis "buku butih", yang ditulis dalam bahasa Indonesia berhuruf latin. Buku-buku yang ditulis dengan tulisan Arab di sebut "kitab", sedangkan yang ditulis dengan huruf Latin disebut "buku".
Di kalangan Muslim Tradisionalis muncul sikap negatif terhadap buku putih. Di beberapa pesantren tradisional buku semacam ini masih dilarang. Para ulama tradisionalis menulis buku-buku atau risalah-risalah singkat, baik yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah, selalu menggunakan bahasa Arab, dan kebanyakan mereka tetap menggunakannya sampai sekarang.
Sementara di kalangan muslim modernis, juga muncul sikap demikian. Para pengarang buku putih berpijak pada upaya untuk kembali kepada sumber-sumber asli Al-Qur'an dan Hadits. Kitab-kitab klasik warisan ulama abad pertengahan dianggap kolot dan ketinggalan jaman.
Namun, sekarang ini garis pembeda itu sudah menipis dan mulai memudar. Kelompok modernis umumnya menjadi kurang radikal dalam hal penolakan mereka terhadap tradisi kitab kuning. Sekarang terdapat beberapa pesantren Muhammadiyah yang menawarkan suatu kombinasi kurikulum tradisional (kitab kuning) dan kurikulum modern.
Demikian pula kaum tradisional, para kiai sudah menjadi semakin universal, atau meluas bacaan mereka. Banyak diantara mereka yang sekarang menulis dalam bahasa Indonesia di samping bahasa Arab, Melayu atau Jawa. Huruf Arab, walaupun masih merupakan tanda yang paling jelas dari orientasi tradisionalis, bukan lagi prasyarat utama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar