Beginilah keadaan jalan menuju ke kampung saya kalau musim hujan tiba. Ini adalah
satu-satunya jalan yang dapat diakses melalui jalur darat atau kalaupun ada
jalan, ini masih jauh lebih baik. Ada memang beberapa jalur lain yang dapat
ditempuh untuk menuju ke sana, namun hanya bisa ditempuh dengan menggunakan Jukung (sampan) atau Kalutuk (perahu bermesin) dan tidak bisa dilewati oleh
kapal yang tergolong besar, karena keterbatasan luas Handil (sungai) serta
adanya pendangkalan yang terjadi.
Kalau ditarik kebelakang, jalan ini sudah jauh lebih baik
dibanding 20 tahun yang lalu sejak saya dikirim ke pesantren oleh orang tua
saya. Dulu, dibagian hilir jalan ini, menuju kemuara setiap hari saya berjalan
kaki pulang pergi ke sekolah yang jaraknya sekitar 3 km dari rumah. Kalau
ditotal saya berjalan kaki setiap harinya sejauh 6 km, karena tidak ada pilihan
lain, satu-satunya sekolah Madrasah Tsanawiyah Swasta yang ada di kampung yang paling dekat.
Dengan kondisi jalan setapak yang sangat buruk, berlumpur dan
kadang tergenang air serta dikiri kanan ditumbuhi
pepohonan dan semak tidak mematahkan semangat saya untuk terus tetap sekolah. Setiap
rerumputan, rimbunnya pepohonan, lebatnya semak belukar yang saya lewati dalam
setiap langkah, saya jadikan motivasi bahwa mereka turut berdo’a untuk
kesuksesan saya di masa depan.
Tidak sekali dua ketika terjepit waktu saya berlari menuju ke
sekolah sambil menenteng sandal atau sepatu dengan kondisi jalan yang licin dan
berlumpur setinggi mata kaki, tiba-tiba di tengah jalan melintang seekor ular
yang sendang mencegat mangsanya. Dengan kondisi jalan yang licin tidak mungkin
saya dapat mengerem lajunya lari saya, kalupun bisa ada kemungkinan saya akan
tergelincir dan jatuh menimpa ular, saya tidak berani mengambil resiko ini.
Kalau sudah begini tidak ada jalan lagi bagi saya, selain melompat
setinggi-tingginya lalu lari sekencang-kencangnya tanpa sempat menoleh
kebelakang.
Walaupun saya tidak pernah di kejar anjing atau babi hutan,
namun karena yang dilewati hutan belantara, sesekali juga bertemu dengan anjing
atau babi hutan yang kebetulan lewat melintas di tepi jalan. Kenangan yang
menggelikan adalah ketika saya dikejar oleh segerombolan Warik (kera hutan) atau
ketika pagi-pagi bertemu dengan sekelompok Berang-Berang yang terkejut dengan
kedatangan saya, tiba-tiba mengejar. Kontan saja saya lari terbirit-birit
sambil ngakak sendiri sambil mengeluarkan sumpah serapah.
Suatu ketika ayah saya membelikan saya sepeda, maksud beliau
ingin mempermudah saya pulang pergi ke sekolah. Namun dengan mengendarai sepeda
bukannya mempermudah saya, bahkan menambah beban saya menjadi berlipat. Dengan
kondisi jalan yang sangat buruk serta jembatan yang haya dibuat dari batang
kayu gelondongan sebesar paha orang dewasa atau dari batang pohon kelapa tidak
mungkin dilewati dengan mengendarai sepeda. Jadilah saya bergantian, kalau
tadinya saya yang naik sepeda tetapi kalau ada jembatan atau jalan yang
berlubang dan berlumpur sepedalah yang naik ke saya.
Sepedapun saya tinggalkan, saya lebih memilih berjalan kaki,
kecuali di saat kemarau jalan menjadi kering, walaupun kalau bertemu jembatan
tetap saja sepeda yang naik ke saya. Alternatif lain kalau sudah merasa bosan
dan letih berjalan kaki, saya mengayuh Jukung (sampan kecil) melalui sungai
kecil, kami menyebutnya Handil. Dengan mengayuh jukung setidaknya saya tidak
berbecek-becek dan setiap sampai di sekolah harus mencuci celana sampai
selutut.
Karena terlalu pagi berangkat ke sekolah terkadang saya tidak
sempat untuk sarapan dan karena keterbatasan ekonomi saya jarang-jarang
mendapatkan uang jajan. Kebiasaan buruk ini ternyata berakibat pada lambung
saya, sehingga rasa perih dan mual sering saya rasakan ketika pulang dari
sekolah. Uniknya ketika saya sudah berada di pesantren keluhan perih dan mual
saya berangsur-angsur menghilang. Mungkin ketika hidup di pesantren pola makan
saya menjadi teratur walaupun dengan menu seadannya, tetapi bagi saya itu sudah
istemewa karena apabila dibandingkan dengan menu di rumah itu sudah lebih baik.
Saya merasa bersyukur, disaat orang lain bermasalah dengan menu yang ada di
pesantren, saya justru menikmatinya. Pesantren bagi saya adalah sebuah
kemewahan bila dibanding dengan kehidupan dan sekolah saya sebelumnya. Di saat
orang lain merasa terpenjara dan dimarjinalkan saya justru menikmati.
Begitupun pula ketika beberapa hari yang lalu, untuk kesekian
kalinya saya berkunjung ke rumah orang tua saya. Kembali menjenguk handai
taulan dengan keadaan jalan seperti yang saya ambil gambarnya. Saya masih tetap bersyukur, bahwa saat ini masih lebih baik dari ketika 20 tahun yang
lalu saat saya masih bersekolah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar