Muhamad
Ramli[1]
Abdussamad[2]
Abstrak
Tulisan
ini mengkaji pemikiran Nurcholish Madjid tentang pendidikan pesantren dan
posisi pesantren dalam menghadapi modernitas, serta solusi yang ditawarkannya.
Dalam pandangan Nurcholis Madjid pendidikan pesantren harus diarahkan pada weltanschuung
Islam, yaitu: Tuhan, manusia, dan alam. Pada zaman modern ini pesantren
dituntut untuk dapat menyesuaikan diri bagi perkembangan zaman, karena
modernisasi merupakan sebuah keniscayaan. Untuk itu pesantren pada zaman modern
ini mempunyai misi ganda (double missions) sekaligus, yaitu sebagai
lembaga pendidikan keagamaan dan lembaga pengembangan ilmu pengetahuan (center
of excellence). Sebagai lembaga pendidikan keagamaan, pesantren harus lebih
menekankan pada rasa keagamaan. Sedangkan sebagai lembaga pengembangan ilmu
pengetahuan, pesantren perlu penanganan secara serius, dengan membuat program
yang jelas.
Kata
Kunci : Pendidikan, Pesantren, Modernitas, Nurcholish Madjid.
A.
PENDAHULUAN
Dilihat
dari sejarah pendidikan Islam di Indonesia, maka pesantren merupakan lembaga
pendidikan Islam tetua di Indonesia. Pesantren dengan sistem pendidikan Islam
tradisional, telah memainkan peran yang sangat penting dalam meningkatkan
sumber daya manusia Indonesia. Pada perkembangannya pesantren mencetak
tokoh-tokoh agama dan sebagai pemelihara tradisi-tradisi keislaman. Selain itu
pesantren juga berkembang sebagai lembaga sosial yang terlibat dalam proses
perubahan sosial politik di Indonesia. Dalam peta politik, pesantren sering
kali digambarkan sebagai kekuatan penekan (pressure force) dan dalam
situasi lain pesantren diposisikan sebagai kekuatan (integrating force)
ketika Negara dihadapkan pada kesulitan-kesulitan yang dilematis, doktrin “hub
al-wathon min al-iman” mengorbankan semangat patriotik ke dada setiap anak
bangsa.
Pesantren
dalam kaitannya sebagai pemelihara tradisi-tradisi kebudayaan Islam tradisional
khususnya ala Sunni, peran pesantren mencakup tiga aspek, yaitu: (1) Sebagai
pusat berlangsungya transmisi ilmu-ilmu keislaman tradisional (transmission
of Islamic knowledge). (2) Sebagai penjaga dan pemelihara berlangsungnya
Islam tradisional (maintenance of Islamic traditional). (3) Sebagai
pusat repruduksi ulama (reproduction of ulama).[3]
Dalam
proses pembelajaran di pesantren, ilmu-ilmu keislaman menjadi prioritas utama,
hal ini nampak dari kurikulum yang berlaku di mana karya-karya keislaman yang
ditulis oleh ulama di masa klasik Islam (istilah pesantrin “Kitab Kuning)
menjadi bahan kajian pokok para santri yang belajar di pesantren. sebagaimana
diketahui, kitab kuning berisi pembahasan tentang ilmu-ilmu keislaman, yang
dalam banyak aspek tidak memiliki hubungan dengan ilmu-ilmu modern.
Menghadapi
era globalisasi dan informasi, pesantren dalam kapasitasnya sebagai lembaga
pendidikan Islam yang memiliki akar tradisi yang kuat di masyarakat menarik
untuk kita cermati kembali. Dalam persepektif Islam, pendidikan memainkan
peranan yang sangat penting dalam meningkatkan sumber daya manusia dan
menunjang tugasnya sebagai khalifat di muka bumi. Dengan adanya sumber daya
manusia yang berkualitas, yaitu yang memiliki iman dan taqwa, kemampuan
(skill), ilmu pengetahuan, menguasai teknologi dan keterampilan yang diharapkan
mampu menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera di bawah lindungan
keridhaan-Nya.
Adanya
sumber daya manusia yang berwawasan Iptek dan Imtaq akan melahirkan masyarakat
religius, dimana nilai-nilai moral agama menjadi motivator dan inovator dalam
berkarya (amal shalih). Menurut Nurcholish Madjid, akhir-akhir ini telah mulai
disadari bahwa peradaban modern dengan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata
miskin dari segi moral dan etika. Nurcholish Madjid mengatakan:
Kini muncul
banyak kritikan kepada peradaban modern dengan teknologi dan ilmu pengetahuan
itu. Dari sudut pandang Islam, hanya segi metode dan empirisisme ilmu
pengetahuan modernlah yang nampaknya abash (valid). Sedangkan dalam moral dan
etika, ilmu pengetahuan modern amat miskin. Hal ini menjadi ancaman lebih
lanjut umat manusia. Disinilah letak sumbangan Islam dengan berdasarkan pada
tauhid itu, kaum muslimin diharapkan mampu menawarkan penyelesaian atas masalah
moral dan etika ilmu pengetahuan modern. Manusia harus disadarkan kembali akan
fungsinya sebagai ciptaan Tuhan, yang dipilih untuk menjadi khalifah-Nya, dan
harus mampu mempertanggungjawabkan seluruh tindakannya di muka bumi ini
kepada-Nya. Ilmu pengetahuan berasal dari Tuhan, dan harus digunakan dengan
semangat mengabdi kepada-Nya.[4]
Sepertinya
Nurcholish Madjid ingin mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi
tanpa dibarengi moral dan etika hanya akan mendatangnya bencana bagi kehidupan
umat manusia. Oleh karena itu, hanya manusia yang memiliki semangat iman dan
ilmu, serta memiliki etika relejius yang dapat memainkan tugasnya sebagai
pengganti (khalifah) Tuhan di muka bumi untuk membawa kemaslahatan bagi umat
manusia.
Tujuan
utama dan sasaran pendidikan Islam adalah pendidikan akhlak (moral) dan
pengembangan kecakapan atau keahlian (skill). Mengenai akhlak, prinsip dan
permasalahannya adalah sama untuk semua umat manusia sepanjang masa. Tetapi
mengenai keahlian, terdapat perbedaan keperluan manusia dari satu tempat dengan
tempat yang lain dan dari satu zaman ke zaman yang lain. Maka sudah tentu jenis
keahlian yang diperlukan di zaman modern ini berbeda dengan zaman sebelumnya.
Pendidikan
dalam perspektif Nurcholish Madjid, dengan mengutip pendapat Alan Semson,
seorang ahli pendidikan, “Apapun jenisnya dan bentuk pendidikan harus
berorientasi pada pendidikan yang dapat membentuk manusia terpelajar dan
bersifat liberal”.[5]
Pendidikan dapat dikatakan baik atau kurang baik sejauh mana aspek leberalisasi
diterapkan dalam mewujudkan suatu masyarakat yang berperadaban berdasarkan
nilai-nilai moral dan etika agama. Untuk itu diperlukan pendidikan yang dapat
menanamkan nilai-nilai keagamaan sekaligus pengembangan potensi sumber daya
manusia.
Nurcholish
Madjid melihat ada dua misi yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan
pesantren. Pertama, bagaimana pesantren menyuguhkan kembali isi pesan moral
yang diembannya kepada masyarakat abad ini begitu rupa sehingga tetap relevan
dan mempunyai daya tarik. Tanpa relevansi dan daya tarik itu, kemampuan dan
keampuhan atau efektivitas tidak dapat diharapkan. Kedua, problem yang
berkaitan dengan ilmu pengetahuan modern, yaitu bagaimana menguasai sesuatu
yang kini berada di tangan orang lain.[6]
Oleh karena itu, lembaga pendidikan pesantren
dituntut untuk merumuskan kembali sistem pendidikan yang diselenggarakan. Di
sini, pesantren tengah menghadapi proses pergumulan antara “identitas” dan
“keterbukaan” sebagai imbas dari modernisasi dan informasi. Di satu sisi,
pesantren dituntut untuk menemukan identitasnya kembali sebagai lembaga
pendidikan Islam, sedangkan di sisi lain pesantren harus terbuka terhadap
sistem pendidikan modern.
B.
PENDIDIKAN
PESANTREN MENURUT NURCHOLISH MADJID
Mengenai
pendidikan, apapun jenis pendidikannya (baik yang bersifat keagamaan maupun
sekolah umum) Nurcholish Madjid menggaris bawahi bahwa pendidikan itu harus
dapat membentuk manusia terpelajar dan bersifat liberal.[7]
Libral dalam pandangan Nurcholish Madjid mengandung pengertian “kebebasan
berpikir” (intellectual freedom),
dari sini diharapkan dapat melahirkan generasi yang mempunyai kriativitas
tinggi dan merupakan modal untuk membangun sebuah peradaban.
Pesantren
dianggap Nurcholish Madjid sebagai khazanah budaya asli Indonesia (indigenous) mempunyai potensi dalam
membentuk manusia Indonesia yang mempunyai komposisi intelektual dan spiritual
yang seimbang.
Secara
umum, pendidikan pesantren hendaknya didasarkan pada tujuan hidup manusia.
Untuk itu, pendidikan pesantren menurut Nurcholish Madjid harus diarahkan
kepada persoalan makna hidup dan weltanschuung
Islam yang meliputi; Tuhan, manusia dan alam. Dari sini diharapkan pendidikan
pesantren dapat memberikan solusi terhadap segala permasalahan yang timbul pada
saat ini dengan mengedepankan nilai moral yang bersumber dari semangat
keagamaan.
Keadaan
pesantren yang lebih memposisikan diri sebagai lembaga keagamaan semata, karena
pesantren sebagai akibat politik etis, dengan mengambil sikap non-kooperatif terhadap
segala yang datang dari kolonial belanda, tidak terkecuali dalam bidang
pendidikan. Akhirnya pesantren memposisikan diri sebagai lembaga keagamaan,
pesantren dianggap sebagai benteng pertahanan umat Islam khususnya menyangkut
ide-ide dan pemikiran yang dibawa kolonial belanda melalui sistem pendidikan
modern. Dengan sikap menolak segala unsur-unsur pendidikan modern, akhirnya
pesantren tidak mampu bersaing dengan sekolah modern.[8]
Semenjak
kedatangan Portugis, Spanyol, Inggris dan terakhir Belanda, peran pesantren
seakan ingin dipinggirkan terutama di sektor pendidikan dengan politik
etis-nya. Niat awal Belanda adalah untuk membantu Hindia Belanda (daerah
jajahan) khususnya dalam pendidikan modern namun mereka (Belanda) tetap
mempertahankan pertimbangan diskriminatif dengan tidak diakuinya pesantren
sebagai lembaga pendidikan dalam pemerintah kolonial Belanda.
Salah
satu tujuan pendidikan modern kolonial Belanda sebagaimana yang dijelaskan
Nurcholish Madjid adalah untuk memojokkan dan menyingkirkan “fanatisme” Islam,
hal ini dapat dilihat dengan adanya pembagian golongan terhadap daerah Hindia
Belanda, yaitu; Eropa, timur asing, priyayi dan rakyat, sebagai golongan paling
rendah, dan umat Islam berada pada posisi ini, sekaligus sebagai golongan yang
paling terakhir (diskriminatif) pada bidang pendidikan.
Untuk
merekonstruksi pendidikan pesantren, kalangan pesantren harus melakukan langkah
enovatif dan terencana secara matang. Hal yang pertama yang harus
dilakukan adalah penanganan kelembagaan. Pesantren yang pada awal berdirinya
merupakan pancaran jiwa dari pendirinya dan hanya bertumpu pada figur kiainya,
sudah saatnya kalangan pesantren dalam mengelola pendidikan dalam hal ini
kelembagaaan, harus ditangani secara profesional dan institusional. Sehingga
dalam mengambil suatu keputusan didasarkan pada suatu kompetensi yang dimiliki
dan dapat mempertanggung jawabkan terhadap apa yang telah dilakukan. Kedua,
menyangkut orientasi pendidikan pesantren, tidak hanya pada bidang ukhrawi,
tetapi juga keduniawian, dengan tidak meninggalkan ciri khas, yaitu
keislamannya. Syed Sajjad Husain Ali Asraf menilai, pendidikan Islam yang
dinamis, memiliki dua ciri pokok:
(1)
Dia mempunyai
ciri-ciri dasar yang tidak berubah, yang membedakannya dengan sistem-sistem
lain, jika ciri dasar ini hilang, maka hilang pula sistem tersebut. (2) Dia
mempunyai satu mekanisme untuk berubah ciri-ciri yang tidak mendasar, jika
mekanisme pengubah itu tidak terdapat, maka sistem itu tidak akan dapat
menyesuaikan dirinya dengan perubahan waktu dan ruang. Jika demikian, sistem
akan mandeg dan kemudia mengekangnya.[9]
Perubahan
orientasi tadi, harus diikuti dengan langkah inovatif dalam bidang strategis,
penyediaan sarana pendukung, yaitu penyediaan sumber belajar dan penguatan
serta pembaharuan metodologi belajar. Lembaga pendidikan pesantren, harus mau
dan mampu menentukan strategi yang tepat. Perubahan strategi akan memberikan
efek besar bagi out put pesantren ke
depan. Tetapi ini harus dipersiapkan dengan penyediaan sumber belajar yang
lengkap serta perubahan dalam metodologi pendidikan dan pembelajaran, guna
menyediakan out put yang senantiasa
“siap menyesuaikan diri” dengan lingkungan di mana dia berada.
Dalam
merumuskan tujuan pendidikan pesantren, maka pendidikan pesantren perlu
melakukan rekontruksi dalam penyelenggaraan pendidikannya. Hal ini sangat
penting mengingat tujuan pendidikan pesantren di masa yang akan datang menurut
Nurcholish Madjid adalah membentuk manusia (para santri) yang mempunyai
kesadaran yang tinggi bahwa weltanschauung bersifat menyeluruh. Selain
itu out put (produk) pesantren
diharapkan mempunyai kemampuan merespon terhadap segala perubahan dalam konteks
ruang dan waktu.[10]
C.
PESANTREN
DAN TANTANGAN MODERNITAS
Peran
pesantren yang begitu besar terhadap masyarakat kini mendapat tantangan yang
begitu berat, terutama di zaman modern pada saat sekarang ini, dimana posisi
pesantren yang menurut Nurcholish Madjid berada di persimpangan meneruskan
fungsinya sebagai lembaga pendidikan keagamaan saja atau ikut serta dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan ciri utama abad ini
(modern).[11]
Pesantren
berhasil membangun imej sebagai lembaga yang secara khusus dan intensif
mempelajari (mendalami) agama Islam (tafaqquh fi al-din). Di sini
terjadi pergeseran paradigma yang memaksa kalangan pesantren merumuskan kembali
visi dan misi mereka. Mungkin kalangan pesantren bisa berkelit dengan
berargumen bahwa pesantren khusus mencetak ulama, sementara masalah lain (ilmu pengetahuan, misalnya) biarlah lembaga
lain yang mengurusinya. Pemahaman seperti ini dimaksudkan secara fungsional,
artinya, bukan tugas pesantren mencetak ilmuan. Imej ini menjadi beban bagi
kalangan pesantren sekaligus tuntutan bagi mereka untuk mengabulkannya.
Kalangan
pesantren merespon Barat secara negatif. Kemodernan dianggap westernisasi yang dianggap
sebagai kebudayaan yang dapat menghancurkan Islam, dan dalam pandangan mereka,
itulah strategi Barat untuk merusak generasi bangsa ini yang mayoritasnya
adalah umat Islam. Dengan rusaknya generasi muslim, maka secara otomatis
menyebabkan kehancuran Islam.
Dalam
konteks pesantren vis a vis modernitas, sikap terbuka mutlak diperlukan
jika memang kalangan pesantren punya i’itikat untuk maju. Modernitas yang sudah
terlanjur memasuki semua wilayah, disukai atau tidak, dihadapkan dengan
berbagai kondisi, termasuk kondisi pesantren. Nucholish Madjid sendiri
mengartikan modern sebagai suatu penilaian tertentu yang cenderung positif,
bernilai netral, maju dan baik, dan merupakan sistesis akhir. Karena itu, zaman
sekarang kebenarannya lebih pas disebut zaman teknik (technical age).[12]
Tuntunan
yang diarahkan kepada pesantren, pada satu sisi, dapat dipahami sebagai
tantangan sekaligus kritik. Nurcholish Madjid kemudian melegitimasi
pandangannya di atas dengan mengutif sejarah klasik. Islam dipahami Nurcholish
Madjid sebagai agama terbuka, menciptakan masyarakat terbuka. Semangat
keterbukaan inilah yang menyebabkan kejayaan Islam. Bagaimana, misalanya, sikap
umat Islam klasik yang bersedia mengadopsi kebudayaan Yunani kuno, khususnya di
bidang ilmu pengetahuan.[13] Sikap
seperti ini pula hendaknya dimiliki oleh pesantren, tetapi dalam realitanya
masih adanya (pada sebagian pesantren) dikotomi antara ilmu agama dengan umum.
Sebenarnya
kalangan pesantren telah melakukan banyak perubahan setahap demi setahap. Tidak
semua pesantren melakukan perubahan yang sama. Masing-masing pesantren punya
strategi dalam menyikapi perubahan dan gelombang modernitas. Secara umum,
pesantren mengambil sikap lapang dan menuju modernisasi sistem dan lembaganya
seiring dengan perubahan masyarakat dan arus tuntunan zamannya “tanpa
meninggalkan aspek-aspek positif dari sistem pendidikan Islam tradisional”.[14]
Memasuki
zaman modern Azyumardi Azra melihat, sebagian pesantren dalam memberikan respon
terhadap modernisasi pendidikan Islam dan adanya perubahan sosial ekonomi
masyarakat dengan melakukan beberapa perubahan; pertama, pembaharuan
subtansi atau isi pendidikan pesantren dengan memasukkan subjek-subjek umum dan
keterampilan (vocational). Kedua, pembaharuan metodologi, seperti
sistem klasikal, perjenjangan. Ketiga, pembaharuan kelembagaan, seperti
kepemimpinan, deversifikasi lembaga pendidikan. Keempat, pembaruan
fungsi, dari fungsi kependidikan tetapi juga memainkan fungsi sosial ekonomi.[15] Dengan
demikian diharapkan pesantren menjadi alternatif bagi pembangunan yang berpusat
pada masyarakat sendiri (people-centered development) dan pusat
pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (value-orented
development).
Pada
masa modern ini, kalangan pesantren dituntut tidak hanya berperan sebagai public
figure, tetapi juga harus mempunyai keterampilan tertentu. Modernitas yang nota
bene merupakan produk Barat memberikan warna yang lumayan kelihatan.
Modernitas telah memberikan perubahan di berbagai sektor. Modernitas secara tak
terbendung telah memasuki lorong-lorong kehidupan masyarakat bangsa ini, tak
terkecuali dunia pesantren.
D.
SOLUSI
YANG DITAWARKAN NURCHOLIS MADJID
Sebagaimana
disebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa pesantren dalam pandangan
Nurcholish Madjid, harus mampu memenuhi dua peran sekaligus, yaitu mengambil
sebuah kreativitas dalam menyampaikan pesan moral kepada masyarakat. Pada sisi
lain, pesantren juga dituntut untuk menguasai ilmu pengetahuan modern.
Dalam
pandangan Nurcholish Madjid dunia pendidkan pesantren (tradisional) terjadi
kesenjangan waktu atau time lage yaitu, suatu bentuk ketertinggalan oleh
zaman modern.[16]
Untuk itu, menurut beliau perlu diadakan rekontruksi pada pendidikan pesantren
berupa merumuskan kembali visi dan tujuan pendidikan pesantren.
Visi
dan tujuan pendidikan pesantren di masa yang akan datang menurut Nurcholish
Madjid mempunyai dua misi (double missions) sekaligus, yaitu; sebagai
lembaga pendidikan keagamaan, bagaimana pesantren menyuguhkan kembali isi pesan
moral agar tetap relevan sehingga tetap mempunyai daya tarik, dan lembaga
pengembangan ilmu pengetahuan (center of excellence).[17] Dengan
demikian Nurcholish Madjid menjadikan pesantren sebagai agen perubahan sosial (agen
of social change). Untuk menjalankan kedua misi ini, pesantren harus
terbuka terhadap perubahan dan mengikuti perkembangan di luar, mampu menerima
dan menyeleksi budaya luar.
Merujuk
kepada uraian di atas, kita akan menemukan titik temu dua misi pesantren yang
dicanangkan Nurcholish Madjid. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
berada pada level sosial (grass root) dan punya pengaruh yang kuat
terhadap masyarakat sekitarnya. Dengan posisinya yang demikian, pesantren punya
kedudukan yang strategis dalam menyampaikan pesan moral kepada masyarakatnya.
Hal ini tampaknya tidak diingkari Nurcholis Madjid, yang dipersoalkannya adalah
strategi penyampaian pesan itu agar lebih efektif dan mengena, yaitu dengan
menggunakan bahasa yang relevan serta menggunakan fasilitas yang lebih canggih.
Pandangan
Nurcholish Madjid ini hanya merupakan landasan konseptual bagi dinamika
pesantren. Pandangan ini juga dapat dikatakan sebagai idealisasi; pendidikan
pesantren yang selama ini dipandang Nurcholish Madjid masih kurang peka
terhadap perkembangan zaman, khususnya perkembangan ilmu pengetahuan, padahal
pergeseran waktu menyebabkan pergeseran segalanya. Apa jadinya jika pesantren
terus mempertahankan posisinya hanya sebagai lembaga pendidikan keagamaan
saja?.
Pandangan
Madjid ini menjadi kritik atas realita dunia pendidikan pesantren yang
cenderung tertutup dan terkesan anti perubahan. Jika merujuk kepada Islam, ada
dua prinsip yang harus diperpegangi. Pertama, prinsip keotentikan (authenticity),
dan kedua, prinsip pengembangan. Yang pertama menekankan keharusan
berpegang teguh pada al-kitab dan as-sunnah. Sementara yang kedua
lebih kepada pemahaman terhadap teks yang tidak secara tegas disebutkan, ini
yang disebut ijtihad.[18]
Mengenai misi ganda pesantren termasuk kedalam dua kriteria itu. Madjid
menyebut sikap terbuka itu dengan “ah-hanifiyah as-sumhah” (semangat
pencarian kebenaran yang lapang).
Sekarang
kita mencoba melihat lebih dalam mengenai landasan yang dibangun oleh
Nurcholish Madjid, yaitu dengan melihat a will, a hope, or a nostalgia, (keinginan,
harapan, dan masa lalu).[19]
Suatu kerangka yang khas neo-modernis yang berangkat dari konsep al-muhafazhah
dan al-akhdzu, yaitu mempertahankan yang layak dipertahankan dan
mengambil konsep baru yang tidak kalah bagusnya.[20]
Gagasan
Nurcholish Madjid di atas tampaknya terkait erat dengan gagasan tentang
“islamisasi” dan “sekularisasi”. Islamisasi merupakan upaya menemukan titik
temu agama yang ada hanya pada Islam yang murni yang terbebas dari segala
bentuk takhayyul, bid’ah, dan khurafat.[21]
Sementara gagasan sekularisasi dimaksudkan agar agama tidak ditunggangi
kepentingan politik dan agar agama mampu mengapresiasi semua ajaran agama dan
mewujudkannya dalam lingkup individual dan sosial dengan segala keragamannya.
Agama diposisikan Nurcholish Madjid sebagai kontrol moral.[22]
Gagasan
Madjid ini mengharuskannya untuk menghargai segala perbedaan dalam kapasitas
apapun, termasuk “penyimpangan” ajaran agama. Dengan isu sekularisasi berarti
Negara tidak berhak mencampuri masalah keagamaan (kebebasan mengekspresikan
cara beragama). Namun perlu digarisbawahi, bahwa sekularisasi tidak sama dengan
menghilangkan peran sosial agama, justru sekularisasi memaksimalkan peran agama
dalam lingkup sosial dengan membebaskannya dari kepentinga-kepentingan politis.
Lebih
lanjut Nucholish Madjid mengemukakan analisa mengenai kemungkinan menciptakan
masyarkat Islami:
Kepremeran
aspek keagamaan pribadi terhadap aspek kemasyarakatannya membuat tidak
mungkinnya terwujud masyarakat Islam (Ummah Muslimin) tanpa pribadi-pribadi
yang muslim, tetapi masih dimungkinkannya terdapat pribadi-pribadi muslim hidup
dalam satu masyarakat bukan islam, sebagai perorangan, atau bahkan sebagai
kelompok minoritas kecil…[23]
Untuk
memperkuat analisa ini, penulis akan menunjukkan titik tolak pemikiran
Nurcholish Madjid yang berakar pada pemaknaan dan semangat tauhid. Bagi
Nucholish Madjid, ateisme bukanlah problem yang serius. Problem yang sebenarnya
adalah kemusyrikan. “…yaitu kepercayaan yang sekalipun berpusat kepada Tuhan
Yang Maha Esa, namun masih membuka peluang bagi adanya kepercayaan kepada
wujud-wujud lain yang dianggap bersifat ketuhanan atau ilahi, meskipun lebih
rendah dari pada Allah sendiri…”[24] Di
dalam kalimat tauhid terdapat dua pesan inti yaitu an-nafy (negasi) dan al-itsbat
(penegasan), peniadaan atas tuhan palsu yang diikuti dengan penetapan Tuhan
yang sebenarnya.
Dengan negasi
ini dimulai proses pembebasan, yaitu pembebasan dari belenggu keperyaan kepada
hal-hal yang palsu. Tetapi demi kesempurnaan kebebasan itu, manusia harus
mempunyai kepercayaan kepada sesuatu yang benar. Sebab hidup tanpa kepercayaan
sama sekali adalah hal yang mustahil…, seseorang dapat memulai dengan tidak
percaya sama sekali, namun kekosongan dari kepercayaan itu memberi tempat bagi
timbulnya kepercyaan baru yang justru lebih mencekam dan membelenggu…[25]
Lebih
lanjut Nurcholish Madjid menjelaskan:
Kualitas-kualitas
pribadi selalu melandasi kualitas-kualitas masyarakat, semata-mata karena
masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi. Oleh karena itu dapat diharap bahwa
kualitas-kualitas pribadi yang tertanam melalui Tauhid itu terwujud pula dalam
kualitas-kualitas masyarakat yang keanggotaannya terdiri dari pribadi-pribadi
serupa itu. Maka efek pembebasan semangat Tauhid pada tingkat kemasyarakatan
dapat dilihat sebagai kelanjutan efek pembebasan pada tingkat pribadi.[26]
Di
sini terlihat sekali bagaimana semangat tauhid diposisikan Madjid sebagai
landasan moral individu-individu yang berimplikasi pada masyarakat. Sekali lagi
penulis katakan bahwa gagasan semacam ini merupakan idealisasi realitas. Hal
ini dapat dilihat pada kutipan berikut:
…dan karena
iman mengimplikasikan pemutlakan hanya kepada Tuhan, serta penisbian segala
sesuatu selain daripada-Nya, maka salah satu wujud nyata iman adalah sikap
tidak memutlakkan sesama manusia ataupun sesama makhluk (yang justru membawa
syirik), sehingga tidak ada alasan untuk takut kepada sesame manusia sesame
makhluk itu… Korelasi pandangan hidup seperti itu ialah sikap terbuka kepada
sesama manusia, dalam bentuk kesediaan yang tulus untuk menghargai pikiran dan
pendapat mereka yang otentik, kemudian mengambil dan mengikuti mana yang
terbaik…[27]
Jika
ditelusuri lebih jauh, dengan mengemukakan dua agenda bagi pesantren, itu
sekaligus menjadi solusi. Akan tetapi, permasalahannya tidak terhenti sampai di
situ. Permasalahannya yang sebenarnya terletak pada sikap mental kalangan
pesantren sebagai subjek (pelaksana) sistem pendidikan pesantren. Dan apabila
kita rujukkan kepada konsep tauhid Nurcholish Madjid, akan terjadi
pertentangan. Atau dengan bahasa yang lebih vulgas, kalangan pesantren tidak
memperpegangi prinsip tauhid, yaitu sikap terbuka.
Namun
tidak semudah dan secepat itu mengambil kesimpulan. Kalangan pesantren punya
pemahaman tersendiri terhadap makna tauhid. Jadi tidak bisa dikatakan bahwa
kalangan pesantren tidak berpegang kepada prinsip tauhid. Sebab jika demikian,
sama saja dengan mengatakan bahwa Nurcholish Madjid mengklaim kebenaran sendiri,
yang artinya, dia terjebak pada konsepnya sendiri. Konsep tauhid Nurcholish
Madjid lebih pas dikatakan perluasan atas konsep tauhid yang sudah ada.
Anggapan
seperti itu tentu sangat dilematis. Ilmu pengetahuan modern, tidak terelakkan
lagi terus mendesak semua pihak untuk mengkonsumsi produk mereka. Maka, jika
anggapan seperti itu terus dipertahankan, umat Islam secara umum, dan pesantren
khususnya, hanya bisa berperan sebagai konsumen. Posisi ini, secara tidak
disadari, menyebabkan mereka terjajah (secara pengetahuan dan ekonomi), yang
dapat berimbas kepada yang lain yang lebih luas (politik, sosial, dan
kebudayaan).
Tantangan
ini akan dijawab pesantren jika mereka bersedia membuka diri dan merubah
paradigma tradisionalnya. Namun penulis katakan lagi, bahwa permasalahannya
terletak pada sikap mental. Untuk merubah paradigma tradisi pesantren, kalangan
pesantren harus merubah sikap mentalnya. Ini merupakan permasalahan kompleks
yang justru tidak mendapat sorotan dari Nurcholish Madjid. Madjid terjebak pada
idealisasi konsepnya sendiri. Misi ganda pesantren yang dicanangkannya lebih
bersifat konseptual daripada praktis.
E.
PENUTUP
Sebagai
komentar penutup, penulis ingin meruntut konsep Nurcholish Madjid mengenai misi
ganda pesantren. Misi ganda yang dimaksudkan adalah bagaimana pesantren
menyuguhkan kembali pesan moral yang diembannya kepada masyarakat sehingga
tetap relevan dan mempunyai daya tarik. Misi yang kedua adalah berkaitan dengan
problem ilmu pengetahuan modern. Kedua misi ini akan terpenuhi jika kalangan
pesantren lebih memperluas makna tauhid. Dengan pengakuan otoritas tunggal
Tuhan, maka tidak ada alasan untuk menutup diri dari kebenaran orang lain dan
perubahan.
Melihat
realitas dunia pendidikan pesantren, sebagai lembaga pendidikan yang telah
teruji keberadaannya dan tetap eksis. Ada semangat yang terdapat dalam kita
suci (Al-Qur’an), yaitu: Faammazzabadu fayadzhabu jufaa, wa amma yanfa
‘unnas fayankutsu fil ardhi, kadha lika… (Apa yang masih manfaat, yang
masih dipakai orang, itu saja).
DAFTAR PUSTAKA
Akkas,
M. Amin dan Hasan M. Noer (peny.) Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern,
Jakarta: Mediacita, 2002.
Azra,
Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2002.
Dhofir,
Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
Jakarta: LP3ES, 1983.
Fadjar,
A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999.
Husain,
Syed Sajjad dan Syed Ali Asraf. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam,
Bandung: Gema Risalah Pres, 1993.
Madjid,
Nurcholish. (ed.), Khazanah Intelektual
Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1985.
Madjid,
Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban;
Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan,
Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992.
Madjid,
Nurcholish. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1995.
Madjid,
Nurcholish. Islam Kerakyatan dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993.
Madjid,
Nurcholish. Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang
Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadiana, 1992
Madjid, Nurcholish. Bilik-bilik
Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997.
Muchtar,
Affandi. Arah Baru Pendidkan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001.
.
[1]
Dosen Fakultas Tarbiyah
Jurusan Pendidikan Agama Islam STAI Al
Falah Banjarbaru dengan keahlian Ilmu Manajemen Pendidikan.
[2] Alumni STAI Al Falah Banjarbaru
tahun 2006.
[3] Affandi
Muchtar, Arah Baru Pendidkan Islam di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2001, hlm. 147.
[4] Nurcholish
Madjid, Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1995, hlm.
276.
[5] Nurcholish
Madjid, Islam Kerakyatan dan
Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993 hlm. 30.
[6] Ibid., hlm. 228
[7] Nurcholish
Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993, hlm.
30
[8] Nurcholish
Madjid, Tantangan Mengatasi Warisan Kolonial, dalam A. Malik Fadjar, Reorientasi
Pendidikan Islam, Jakarta: Fajar Dunia, 1999, hlm. 20.
[9] Syed Sajjad
Husain dan Syed Ali Asraf, Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam,
Bandung: Gema Risalah Pres, 1993, hlm., 65.
[10] Nurcholish
Madjidi, Bilik-bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1997, hlm. 18
[11] Nurcholish
Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Op Cit, hlm. 266.
[12] Nurcholish
Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta: Paramadiana, 1992, hlm.,
451-452.
[13] Ibid.,
hlm. 133
[14] Zamakhsyari
Dhofir, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta:
LP3ES, 1983, hlm. 174
[15]
Azyumardi Azra,
Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2002, hlm. 105.
[16] Nurcholish
Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Op Cit, hlm. 5
[17] Nurcholish
Madjid, Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan, Op Cit., hlm., 228
[18] Nurcholish
Madjid, Kontinuitas dan Kreativitas dalam Memahami Pesan Agama dalam “Kehampaan
Spiritual Masyarakat Modern” Respon dan Transformasi Nilai-nilai Islam Menuju
Masyarakat Madani, M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer (peny.) Jakarta:
Mediacita, 2002, hlm., 296-297.
[19] Istilah ini
dikutip oleh Ahmad Baso dari Althusser dalam rangka menganalisa “islamisasi”
Madjid. Lihat Ahmad Baso, NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara
Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal, Jakarta: Erlangga,
2006, hlm., 267
[20]
Konsep ini
berasal dari kaedah ushul fiqih yang berbunyi:
المحافظة
على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
[21] Pembahasan
lengkap mengenai permasalahan ini. Lihat Ahmad Baso, Op Cit., hlm., 269-281.
[22] Hal ini secara
tersirat digambarkan oleh Thohari. Lihat Hajriyanto Y. Thohari, Antara Cak Nur
dan Amien Rais; Suatu Pilihan Masa Depan, dalam M. Amin Akkas dan Hasan M. Noer
(peny.) Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, Op Cit., hlm., 56-57.
[23] Nurcholish Madjid, (ed.), Khazanah Intelektual Islam, Jakarta:
Bulan Bintang, 1985, hlm., 73-74
[24] Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban; Sebuah Telaah
Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta:
Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, hlm.
78-79.
[25] Ibid., hlm. 79
[26] Ibid.,
hlm. 85
[27] Ibid.,
hlm. 117
terima kasih,telah menyegarkan dan menyuguhkan kembali tulisan ini..
BalasHapusHo oh... Semoga bermanfaat.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus