Oleh: Muhamad Ramli[1]
Abstrak
Di
era modern seperti saat ini model kepemimpinan kharismatik masih begitu dominan
ditampilkan di pesantren, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dengan
perubahan zaman, tradisi tersebut tidak efektif lagi, yang pada akhirnya akan
tergerus oleh arus modernitas. Hal ini perlu direkonstruksi secara kreatif
berdasarkan nilai-nilai modernitas dan nilai Islam itu sendiri, menejemen
kharismatik itu tidak perlu dieliminasi tapi disandingkan dengan pola rasional
dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama. Melalui strategi tersebut
keterkaitan dua unsur itu akan melahirkan suatu manajemen yang modern tanpa
harus kehilangan roh nya yang bersifat moral.
Kata Kunci:
Rekontruksi, Model Kepemimpinan, Kharismatik, Pondok
Pesantren
A.
PENDAHULUAN
Sejarah
pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pesantren adalah bentuk lembaga
pendidikan pribumi tertua atau dengan kata lain sebagai “bapak” dari pendidikan
di Indonesia.[2]
Bahkan Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren tidak hanya identik dengan
makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous)
Indonesia, sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode
abad ke 13-17 M, dan di Jawa pada abad ke 15-16 M. Jauh sebelum kolonial
Belanda memperkenalkan pendidikan Barat. Pendapat ini seolah mendapat
justifikasi dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam
lainnya.[3]
Terlepas dari
berbagai perbedaan asal usul pesantren, sejak didirikan pertama kali oleh Syech
Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M, kemudian diteruskan oleh Raden Rahmat
(Sunan Ampel) di Kembang Kuning, pesantren mampu terus berkiprah hingga hari
ini.[4]
Dari zaman kolonial Belanda, orde lama, orde baru hingga reformasi, pesantren
terus eksis dan mewarnai serta memberikan sumbangsih signifikan terhadap bangsa
ini. Telah begitu banyak tokoh-tokoh kaliber dunia yang muncul dari pesantren,
Syekh Nawawi al-Bantenî, Kiai Mahfudz Tremas, Syekh Muhammad Kholil, dan
KH. Hasyim Asy’ari adalah contoh kongkrit kapabilitas alumnus pesantren.
Ciri umum yang
dapat diketahui adalah pesantren memiliki kultur khas, yang berbeda dengan
budaya disekitarnya. Karena itulah beberapa peneliti menyebutnya sebagai sebuah
sub-kultur yang bersifat idiosyncratic.[5] Tradisi
pesantren ini selalu dijaga dengan hati-hati, bahkan dari awal berdirinya
sampai hari ini. Seiring perputaran zaman, sistem yang dulu masih menjadi
sebuah yang kontemporer, sekarang telah menjelma menjadi sesuatu yang
konvensional, dari yang paling modern menjadi tradisonal dan ortodoks.[6]
Dalam hal ini,
Steenbrink mengatakan bahwa hampir semua pelapor Barat selalu memberikan
laporan pertama kepada pembaca yang belum pernah mengunjungi pesantren, atau
mengenalnya lewat tulisan. Pada umumnya mereka memberikan gambaran
dan kesan aneh dan khusus menekankan adanya perbedaan dengan sekolah-sekolah
barat.[7]
Walaupun
begitu, bukan berarti tidak ada perubahan dalam khazanah pesantren, adigium ”al-muhâfadzatu ’alâ al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîdi al-ashlah” sebuah
keniscayaan terhadap perubahan. Hanya saja perubahan-perubahan itu dulunya
menjadi tidak begitu kelihatan.
Perkembangan
dan perubahan yang dilakukan pondok pesantren, sebagai bentuk konstalasi dengan
dunia modern serta adaptasinya, menunjukkan kehidupan pondok pesantren tidak
lagi dianggap statis dan mandeg. dinamika kehidupan pondok pesantren
telah terbukti dengan keterlibatan dan partisipasi aktif memberikan pelayanan
kepada masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa menyertainya. di
antaranya, ikut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui lembaga
pendidikan pesantren. karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang
memiliki akar budaya yang kuat di masyarakat.[8]
Lebih lanjut,
dalam iklim kompetitif seperti sekarang ini, sulit bagi pesantren untuk hidup
dengan baik jika tidak memiliki kemampuan untuk mengubah diri dengan cepat dan
mampu berkembang seiring dengan berbagai tuntutan stakeholder. Kondisi
ini berlaku hampir pada keseluruhan pesantren yang bersifat profit dan
nonprofit. pesantren sebagai lembaga pendidikan yang termasuk lembaga nonprofit
juga tidak terlepas dari fenomena ini, itulah sebabnya dalam banyak hal
pesantren harus mengetahui berbagai harapan dan kebutuhan stakeholder.
Tidak perlu
disangkal, ketika banyak kalangan memandang lemah bahkan mengklaim problematika
internal pondok pesantren terletak pada manajemen. Terlepas dari
keberhasilannya selama ini, pondok pesantren diakui, mampu mendidik para santrinya
menjadi manusia yang shalih, menjadi mubaligh, serta para cendekiawan
yang kemudian menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat, baik formal maupun
informal yang kini tersebar di seluruh pelosok nusantara ini.[9]
Sudah menjadi Common sense bahwa pesantren lekat
dengan figur Kiai. Kiai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif,
dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Hal ini erat kaitannya dengan dua
faktor berikut. Pertama, kepemimpinan
yang tersentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan
yang bersifat patenalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola ”serba mono”,
mono-manajemen dan mono-administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke
unit-unit kerja yang ada di organisasi. Kedua,
kepemilikan pesantren bersifat individual (atau keluarga), bukan komunal.
Otoritas individu kiai sebagai pendiri sekaligus pengasuh sangat besar dan
tidak bisa diganggu gugat. Faktor nasab (keturunan) juga kuat sehingga kiai
bisa mewariskan kepemimpinan pesantren kepada anak yang dipercaya tanpa ada
komponen pesantren yang berani memprotes.[10]
Sehingga secara
umum pengelolaan manajemen di pesantren kurang diperhatikan secara serius,
karena pesantren sebagai lembaga tradisional, dengan wataknya yang bebas, serta
pola pembinaannya hanya tergantung pada kehendak dan kecenderungan pimpinan
saja. Padahal sesungguhnya
potensi-potensi yang ada dapat diandalkan untuk membantu penyelenggaraan pondok
pesantren tersebut. Menurut Azra keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja,
karena dengan perubahan zaman, tradisi tersebut tidak efektif lagi, yang pada
akhirnya akan tergerus oleh arus modernitas. Hal ini perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan
nilai-nilai modernitas dan nilai Islam itu sendiri, menejemen kharismatik itu
tidak perlu dieliminasi tapi disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai
dengan nilai-nilai moralitas agama.[11]
Tulisan ini berupaya mengungkapkan beberapa permasalahan yang
dihadapi oleh pesantren ketika dihadapkan dengan modernitas, terutama dari segi
kepemimpinan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Selain itu penulis juga berupaya
menampilkan beberapa solusi terhadap permasalah tersebut yang penulis ambil dari
berbagai pendapat para ahli.
B.
DINAMIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN
Pondok
pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang menempatkan sosok kiai sebagai tokoh sentral dan masjid
sebagai pusat lembaganya.[12]
Ciri khas pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan adalah: (1) adanya Kyai yang
mengajar dan mendidik,
(2) adanya santri yang belajar dari kyai, (3) adanya masjid, tempat ibadah dan pusat
kegiatan, dan (4) adanya pondok/
asrama tempat para santri bertempat tinggal. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya lembaga ini
merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dan sekaligus bagian
dari warisan budaya bangsa (indigenous culture). Maka, bukanlah
kebetulan jika pesantren masih dapat bertahan hingga saat ini.
Mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren kemudian
juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri
pada umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagai
lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut pertalian keilmuan
dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu agama Islam diberbagai
belahan dunia.[13]
Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa
pesantren masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya
dapat memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan
belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi
dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.[14]
Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai
intitusi pendidikan yang mengajarkan agama dan penekanan moral dipertanyakan.
Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap
pesantren ada dua macam. Yaitu: (1) Mereka yang menyangsikan relevansi lembaga
ini untuk menyongsong masa depan. (2) Mereka yang justru melihat pesantren
sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan.[15]
Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus
terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan
sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum
pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondok pesantren dalam hal
ini; (1) Merevisi kurikulum dengan memasukkan semakin banyak mata
pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; (2) membuka kelembagaan dan
fasilitas-fasilitas pendidikan bagi kepentingan pendidikan umum.[16]
Sistem konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen
yang baik akan memberikan peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi
lembaga yang mampu berperan melaksanakan pendidikan secara integral antara
penanaman al-akhlak al-karîmah (moral) dan intelektual.
Menurut Neong Muhajir, pendapat yang berkaitan dengan
dinamika dalam arti instrumentasi, antara lain: pendapat Durkheim yang
mengatakan perubahan evolusioner dari mekanik ke organik. Pembagian kerja dan
tata sosial yang semula kaku mendetail menjadi luwes. Sedangkan Homans
mengatakan teori tukar menukar (exchange theory), bahwa manusia
bertindak atas prinsip meminimalkan biaya dengan menjangkau keuntungan
maksimal. Kekuatan (power) dimiliki oleh orang yang mampu memberi hadiah
(keuntungan) lebih besar dalam tukar menukar dengan kesediaan menerima imbalan
yang lebih kecil.[17]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
perubahan bisa terjadi dengan evolusioner, dan dalam perubahan tersebut ada
suatu kekuatan (power) yang menjadikan sesuatu itu dapat berubah. Dalam fenomena
yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa suatu kekuatan yang ada di pesantren
adalah sosok sentral, yaitu seorang kiai. Sedangkan pendorong yang dapat berperan mempercepat
perubahan sosial menurut Neong Muhajir, setidak-tidaknya ada tiga macam: (1) penemuan
teknologi baru, (2)
wawasan baru, dan (3) perubahan
struktur atau fungsi suatu satuan sosial.[18]
Suatu perubahan mungkin berpangkal pada yang pertama, mungkin pula bermula dari
yang kedua atau yang ketiga. Tetapi ketiganya akhirnya menjadi saling
mempengaruhi.
Bila hal tersebut dikaitkan dengan dinamika pondok
pesantren, maka yang kedua banyak mewarnai perkembangan pondok pesantren yaitu
pada wawasan seorang pemangku pondok, dalam hal ini adalah kiai. Karena setiap
perubahan sosial pasti ada sosial aktornya, dan sosial aktor pada dinamika
manajemen pendidikan di pondok pesantren adalah kiai. Kiai merupakan power
(kekuatan) dalam hal kedalaman ilmu kiai dan wawasan barunya untuk menghadapi
perubahan. Seorang kiai sebagai pemangku pondok pesantren memiliki karisma.[19]
Dan pengaruhnya besar sekali dalam kehidupan masyarakat.
Kiai berperan sebagai alat penyaring arus informasi
yang masuk ke lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan
membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Namun, menurut Geertz, peranan
penyaring itu akan macet manakala arus informasi yang masuk begitu deras dan
tidak mungkin disaring oleh sang kiai. Dalam keadaan demikian, kiai akan
kehilangan peranannya. Dengan kurangnya informasi yang diperoleh, kiai menjadi
tidak kreatif, dan akan mengalami kesenjangan budaya (cultural lag)
dengan masyarakat sekitarnya.
Menurut Horikoshi,[20]
ada sebagian kiai berperanan kreatif dalam perubahan sosial. Hal ini bukan
karena sang kiai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan
justeru karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia
bukan melakukan penyaringan informsi, melainkan menawarkan agenda yang
dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Ia bukan
keraguan berperan karena menunda datangnya perubahan melalui proses penyaringan
informasi, melainkan ialah sepenuhnya berperan karena ia mengerti bahwa
perubahan sosial adalah perkembangan yang tak terelakkan lagi.
C.
CORAK KEPEMIMPINAN DI PESANTREN
Untuk lebih jelas menggambarkan miniatur atau corak
kepemimpinan kiai, berikut ini dipaparkan tentang tipe-tipe pemimpin, yaitu:[21]
a.
Tipe Otokratik,
Pemimpin yang bertipe ini akan bertindak sendiri dalam
mengambil keputusan, dan memberitahukan kepada bawahannya bahwa ia telah
mengambil keputusan tertentu dan para bawahannya itu hanya berperan sebagai
pelaksana karena mereka tidak dilibatkan sama sekali dalam proses
pengambilannya. Gaya otokratik bukanlah gaya yang didambakan oleh bawahan dalam
mengelola suatu organisasi kerena pentingnya unsur manusia sering diabaikan.
b.
Tipe Meliteristik
Tipe ini dalam menggerakkan bawahan sering menggunakan
cara mengambil keputusan sendiri dan berusaha “menjual” keputusan itu
kepada bawahannya. Dengan harapan bahwa para bawahan akan mau menjalankannya
meskipun tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
c.
Tipe Paternalistik
Orientasi kepemimpinan dengan gaya ini memang ditujukan pada
dua hal sekaligus, yaitu penyelesaian tugas dan terpeliharanya hubungan yang
baik dengan para bawahan sebagaimana seorang bapak akan selalu memelihara
hubungan yang serasi dengan anak-anaknya.
d.
Tipe Karismatik
Seorang pemimpin yang bertipe karismatik mungkin saja
bertindak otokratik dalam mengambil keputusan, dalam arti ia mengambil
keputusan sendiri tanpa melibatkan para bawahannya dan menyampaikan keputusan
itu kepada orang lain untuk dilaksanakan.
Akan tetapi adakalanya ia menggunakan gaya yang demokratik,
dalam arti mengikutsertakan para bawahan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin
yang demikian memiliki daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya
mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Sering dikatakan bahwa pemimpin
yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supranatural power),
mempunyai semacam kesaktian, dan mempunyai kemampuan yang luar biasa diluar
kemampuan orang-orang biasa.
e.
Tipe Demokratik
Pemimpin yang bertipe demokratik akan memilih model dan teknik
pengambilan keputusan tertentu yang memungkinkan para bawahannya
berpartisipasi, dan gaya ini dipandang sebagai gaya yang paling didambakan oleh
semua pihak yang terlibat dalam pencapaian tujuan organisasi yang bersangkutan.
D.
ANALISA MASALAH
Di era modern seperti saat ini model kepemimpinan
kharismatik masih begitu dominan ditampilkan di pesantren, hal ini tidak bisa
dibiarkan begitu saja, karena dengan perubahan zaman, tradisi tersebut tidak
efektif lagi, yang pada akhirnya akan tergerus oleh arus modernitas. Kenyataan
dilapangan, soksesi kepemimpinan yang ada sering tidak mampu mengimbangi kemajuan
pesantren yang di kelola oleh kiai, sehingga sering terjadi penyusutan
kewibawaan, baik karena tidak mampu memahami tuntutan yang timbul dan
perkembangan keadaan yang baru maupun karena faktor-faktor lainnya. Seperti
terhentinya kaderisasi kepemimpinan pada waktu pesantren yang dipimpin
mengalami perkembangan pesat, kesenjangan semacam itu bisa berakibat fatal bagi
kehidupan pesantren yang bersangkutan, paling tidak akan menimbulkan situasi
kritis yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan pesantren.
Dari segi kepemimpinan, banyak hal yang bisa ditunjuk
sebagai sebab mengapa belum mantapnya pola kepemimpinan di pesantren selama
ini. Sebab yang paling menonjol adalah watak karismatik yang dimiliki oleh sang
kiai, selain itu dengan adanya tuntutan perobahan manajemen kepemimpinan pada
pesantren sepertinya peran kiai di dunia pesantren telah mengalami pergeseran.
Peran kiai sebagai ulama atau sumber ilmu pengetahuan dan pengasuh tampak ada
indikasi mengalami distorsi.
Modernitas
juga membawa pengaruh terhadap kebebasan santri. Pondok tidak dapat mengekang
begitu saja santri, saat ini santri sudah sangat kritis, apalagi mereka tidak
hanya dibekali ilmu dari dalam pondok saja, mereka juga punya pengalaman di luar
pondok dimana sekolah mereka tidak terikat oleh pondok. Sesuai dengan teori
modernitas yang dikemukakan oleh Durkheim, yang dengan kebebasannya, moral
santri akan hilang, serta teori yang dikemukakan Giddens bahwa modernitas tidak
mengenal waktu dan ruang.
Pengaruh modernitas telah memasuki berbagai macam ruang, tak
terkecuali pondok pesantren, apalagi lokasi pondok yang terdapat di pertengahan
kota yang tidak bisa terlepas dari hiruk pikuk suasana yang penuh dengan
glamouritas. Pondok pesantren yang berada di tengah-tengah perkotaan, serta
santri yang banyak mempunyai aktifitas di luar pondok, tak bisa dipungkiri arus
modernitas dan glamouritas perkotaan sangat gampang masuk ke dunia pesantren
sehingga perlu sebuah siasat yang relevan sepanjang zaman tanpa mengeliminasi
tradisi lama dan berusaha menerima dan menfilter hal terbaru tanpa curiga meski
tak mengurangi daya kritisnya.
Melihat kenyataan bahwa modernitas membawa pengaruh terhadap
kebebasan santri. Jika pondok masih menggunakan gaya kepemimpinan berpusat pada
pengasuh saja, tanpa menejemen yang baik, ketika kiai yang dielu-elukan dan
dihormati bahkan ditakutkan oleh kebanyakan para santri telah tiada, dan bertambah
parah pula apabila sistem pengkaderan tidak berjalan dengan baik, makan akan
muncul masalah-masalah seperti halnya hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap
pondok karena pengasuh baru yang tidak sesuai dengan masyarakat, serta
hilangnya kontrol dan kedisiplinan para santri, bukan tidak mungkin akan
berakibat pada kebebasan santri yang tiada batas bahkan bisa jadi kebebasan yang
sebebas-bebasnya.
Kebebasan santri tanpa control yang benar akan mengakibatkan
kerugian bagi diri santri dan juga pondok pesantren, santri bisa melakukan
percakapan tanpa batas ruang dan waktu, sekarang banyak HP dan internet, mereka
bisa melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan olehnya dan lain sebagainya.
Jika ini dibiarkan dan tidak diarahkan pada arah yang sesuai, maka ini akan
merusak pada diri santri sendiri dan juga pondok pesantren, padahal sebenarnya
jika modernitas dimanfaatkan sebaik-baiknya, hal ini akan sangat mendukung
wawasan santri sendiri yang akan berpengaruh terhadap lingkungan pondok saat
ini bahkan untuk kehidupan selanjutnya.
E.
SOLUSI MASALAH
Modernitas sendiri tidak hanya memberi pengaruh negatif
terhadap pondok, akan tetapi juga banyak memberi pengaruh positif, antara lain
pernah dikemukakan oleh para teoritisi sosiologi :
- Weber
(1864 - 1920), menyebutkan bahwa kehidupan modern yang paling menentukan
adalah perkembangan rasionalitas formal dan mengakibatkan munculnya
kerangkeng besi rasionalitas. Akibatnya manusia semakin tak mampu
mengungkapkan ciri kemanusiaan yang paling mendasar. Disamping itu, weber
juga menghargai keuntungan dari kemajuan rasionalisasi misal birokrasi
yang kuat dari pada bentuk organisasi sebelumnya.
- Durkheim
(1858 – 1917), menyebutkan bahwa modernitas ditentukan oleh solidaritas
organic yang menghasilkan kebebasan yang lebih besar dan pelemahan
kesadarn kolektif yang mengakibatkan melemahkan moralitas bersama.
- Giddens
(1938 - ….), salah satu ciri modernitas adalah pemisahan waktu dan ruang.
Dalam masyarakat pra modern waktu selalu dikaitkan dengan ruang. Ruang
ditentukan oleh kehadiran secara fisik dan karena itu ditentukan oleh
ruang yang dilokalisir, dengan datangnya modernitas, ruang makin lama
makin dilepaskan oleh waktu. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak
fisik makin lama makin besar peluang.
Melihat dari beberapa pendapat para tokoh sosiologi tersebut
di atas, bahwa modernitas menyatakan sedemikian rupa pengaruhnya terhadap
lingkungan pesantren, jika pesantren masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi
lama yang tidak relevan lagi dan tidak menyerap hal-hal baru yang dapat
mendukung keberadaan pondok, secara otomatis pondok akan berangsur-angsur tergerus
oleh arus modernitas.
Seperti halnya pondok yang mengikuti gaya kepemimpinan yang
terpusat pada kiai serta gaya pemilihan pemimpin secara turun-temurun yang
telah mentradisi di lingkungan pesantren, di era modernitas seperti saat ini,
tidak salah juga hal itu masih tetap dilakukan, akan tetapi dengan menggunakan
birokrasi yang rasional sesuai dengan teori modernitas nya weber, yakni dengan
sistem menejemen yang terstruktur dimana kepemimpinan tertinggi adalah kiai,
namun tetap menghiraukan menejemen organisasi yang tepat.
Hal ini perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan
nilai-nilai modernitas dan nilai Islam itu sendiri, manajemen kharismatik itu
tidak perlu dieliminasi tapi disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai
dengan nilai-nilai moralitas agama. Melalui strategi tersebut keterkaitan dua
unsur itu akan melahirkan suatu menejemen yang modern tanpa harus kehilangan
roh nya yang bersifat moral.[22]
kepemimpinan kharismatik dapat dikatakan bernuansa moral karena charisma tersebut pada umumnya bermuara
pada otoritas keulamaan dalam masalah kedalaman ilmu, ketinggian pribadi,
pengelolaan yang hati-hati dalam hubungan-hubungan personal dengan anggota
masyarakat muslim, serta pembinaan reputasi individual. Hal ini menunjukan
bahwa charisma ulama berdasar pada
keteladanan moralitas yang mereka miliki.
Dalam ungkapan lain, pada satu sisi, moralitas diharapkan
tetap memiliki ruang cukup luas sebagai bingkai keseluruhan proses penanganan
dan pengelolaan pendidikan pesantren, pada sisi lain, unsur-unsur menejemen
dikembangkan secara intens tanpa harus terperangkap pada pola-pola mekanistik
yang sangat kaku.[23]
Dengan demikian, jika pola menejemen pondok di atur
sedemikian rupa, yaitu dengan mengembangkan menejemen yang tepat sesuai situasi
kondisi zaman saat ini tanpa harus menghilangkan roh pesantren (gaya
kepemimpinan yang kharismatik dan pemilihan pengasuh yang turun-temurun),
masalah-masalah seperti halnya hilangnya kepercayaan masyatakat terhadap pondok
karena pengasuh baru yang tidak sesuai dengan masyarakat, serta hilangnya
control dan kedisiplinan para santri dapat diminimalisir.
Sehubungan dengan hal tersebut, pondok pesantren perlu
merubah sistem pemilihan pimpinan ke arah sistem yang lebih ideal yang disertai
dengan kaderisasi yang memadai. Selain itu, seorang kiai sebagai pemimpin di
pondok pesantren jelas memerlukan suatu respon yang tepat untuk dapat
menumbuhkan dan membangun pesantren menjadi lembaga pendidikan yang dapat
memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Jika birokrasi pondok terstruktur dengan baik, ketika kiai
tiada, pondok tersebut tidak akan kehilangan esensinya sebagai pondok, dan
kepercayaan masyarakat pun akan tetap utuh, serta santrinyapun akan tetap terus
bertambah dengan output yang tetap berkualitas. Karena itulah untuk menyikapi
hal ini perlu kiranya mengoptimalisasi prilaku kepemimpinan, karena efektivitas
kepemimpinan setidaknya harus dapat menjalankan fungsinya dalam hal merencanakan,
mengorganisasi, mendelegasikan tugas, dan memberikan motivasi. Karena kemajuan
suatu pesantren tidak akan terlepas dari pengelolaan manajemen pondok pesantren
itu sendiri dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk itulah pondok
pesantren perlu konsisten untuk menerapkan model kepemimpinan kolektif, dalam
artian mengurangi ekslusifitas peran kiai yang bergitu dominan.
Model kepemimpinan kolektif pada dasarnya adalah
kepemimpinan bersama, diamana antara satu dengan yang lain saling melengkapi.
Selain itu agar berjalan evektif, pesantren juga perlu merekontruksi manajemen
yang selama ini telah diterapkan. Secara internal, agar kepemimpinan di
pesantren dapat mengaktualisasikan menajemen yang berbasis pesantren dengan
memperkuat tiga hal berikut: (1) pesantren pelu berbenah diri yaitu dengan
berupaya memajukan pondok di berbagai bidang, (2) memberikan pecerahan kepada
civitas yang ada di pesantren agar bersikap kreatif-produktif, dengan tidak
melupakan orisinilitas ajaran Islam, dan (3) membangun budaya, sehingga budaya
yang ada dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Hal ini hanya bisa dilakukan
apabila memahami arus globalisasi, informasi secara benar, dan tidak bersikap
eksklusif.
Sedangkan secara eksternal, pemimpin di pesantren dapat
mengaktualisasikan peran kepemimpinannya sebagai penghubung dengan masyarakat. Karena
pesantren selain berperan sebagai lembaga pendidikan juga berperan sebagai
lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat,
dan sekaligus sebagai simpul budaya. Fungsi ini menjadikan kiai sebagai figur
publik senantiasa berhubungan dengan pihak luar yang menghubungkan antara
pesantren dengan masyarakat. Biasanya kiai dipercaya untuk memberikan siraman
rohani secara rutin bagi masyarakat sekitar. Kegiatan tersebut dapat bebentuk
pengajian, majlis taklim, peringatan hari besar keagamaan, haulan dan
lain-lain. Kegiatan ini akhirnya akan membina hubungan yang harmonis antara
kiai, pesantren dan masyarakat. Pesantren dapat berkembang menjadi sebuah
lembaga pendidikan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat antara lain karena
dapat menjaga hubungan yang harmonis dari masyarakat sekitar dari kalangan
manapun.
F.
PENUTUP
Dengan manajemen pondok yang terorganisir baik, kontrol dan
kedisiplinan yang tepat, serta arahan terhadap gaya hidup modern yang islami, kebebasan
santri tetap pada batas-batas tertentu. Walaupun lokasi terdapat di perkotaan
dengan aktifitas para santri yang banyak di luar. Nilai-nilai modernitas tetap
diterapkan, akan tetapi tanpa menghilangkan roh dari pondok pesantren itu
sendiri. Akhirnya pesantren akan mampu memperbaiki pola kepemimpinan yang
selama ini melekat dalam budaya pesantren. Sehingga kepemimpinan kiai di
pesantren akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai pengguna
layanan pendidikan pondok pesantren.
DAFTAR PUSTAKA
Abd A’la. Pembaruan Pesantren. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
2006).
Azra,
Azyumardi. “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru”, (Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu, 1999).
Azra, Azyumardi. Kontek Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam.
(Jakarta: Paramadina. 1999).
Hadari,
Amin & M. Ishom El-Saha, Peningkatan
Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2008).
Horikoshi,
Hiroko. “Kiai dan Perubahan Sosial”, (Jakarta: P3M, 1987).
Karyadi,
M. “Kepemimpinan (Leadership)”, (Bandung: Karya Nusantara, 1989).
Mahpuddin,
Noor. “Potret Dunia Pesantren”, (Bandung: Humaniora, 2006).
Masyhud,
M. Sulthon, dkk. Manajamen Pondok
Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2008).
Mulkhan, Abdul Munir. “Rekonstruksi Pendidikan
dan Pustaka Tradisi Pesantren (Relegiusitas Iptek)”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).
Muchtar,
Affandi, Kitab Kuning dan Tradisi
Akademik Pesantren, (Bekasi: Pustaka Isfahan, 2009).
Nafi’,
M. Dian. Praksis Pembelajaran Pesantren,
(Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007).
Nasir, Ridlwan, “Mencari Tipologi Format
Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005).
Raharjo,
Dawam. “Pesantren dan Pembaharuan”, cet.V, (Jakarta: LP3ES, 1995).
Raharjo,
M. Dawan. “Pergulatan Dunia Pesantren”, (Jakarta: P3M, 1985).
Siraj,
Sa’id Aqiel. “Pesantren Masa Depan”, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).
Steenbring, Karel A. ”Pesantren
Madrasah Sekolah”, (Jakarta: LP3ES, 2002).
Yusuf,
Syaifullah. “Melahirkan Ilmuwan-Ulama: Tanggungjawab Ganda Pesantren di Era
Kesejagatan”, pengantar dalam Babun Suharto, “Dari Pesantren untuk Umat”, (Surabaya: IMTIYAZ, 2011).
Zada, Khamami dkk. ”Intelektualisme Pesantren”,
(Jakarta: Diva Pustaka. 2003).
[1] Dosen Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan
Agama Islam STAI Al Falah Banjarbaru
dengan keahlian Ilmu Manajemen Pendidikan.
[2] Affandi Mochtar, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik
Pesantren, Bekasi: Pustaka Isfahan, 2009, hlm. 13
[3] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 1999, hlm. 40. Lihat juga Amin Hadari & M. Isom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan
Madrasah Diniyah, Jakarta: Diva Pustaka, 2008, hlm. 1
[4] Khamami Zada dkk, ”Intelektualisme Pesantren”,
Jakarta: Diva Pustaka. 2003, hlm. 13
[5] M. Suthon Masyhud, dkk. Manajemen
Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2008, hlm. 3
[6] Syaifullah
Yusuf, “Melahirkan Ilmuwan-Ulama: Tanggungjawab Ganda Pesantren di Era
Kesejagatan”, pengantar dalam Babun Suharto, “Dari Pesantren untuk Umat”, Surabaya:
IMTIYAZ, 2011, hlm. xi
[7] Karel A. Steenbring, ”Pesantren
Madrasah Sekolah”, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm. 8
[8] Sa’id Aqiel Siraj, “Pesantren Masa Depan”, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999, hlm. 181
[9] Noor Mahpuddin, “Potret Dunia Pesantren”, Bandung:
Humaniora, 2006, hlm. 112
[10] M. Sulthon Masyhud, dkk., Op. Cit. hlm. 15
[11] Azyumardi Azra,
Kontek Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina. 1999.
Hlm. 166
[12] Dawam Raharjo, “Pesantren dan Pembaharuan”, cet.V,
Jakarta: LP3ES, 1995, hlm. 87
[13] M. Dian Nafi’ dkk., Praksis Pembelajaran Pesantren, Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007, hlm.
1
[14] Ibid.
[15] Muhammad Busyro, “Problem Pengembangan Tradisi Pesantren”,
dalam Abdul Munir Mulkhan, “Rekonstruksi Pendidikan dan Pustaka Tradisi
Pesantren (Relegiusitas Iptek)”, Yogyakarta: Fak Tarbiyah IAIN Sunan
Kalijaga & Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 186-199. Lihat juga dalam M. Dian
Nafi’ dkk. Mensinyalir bahwa mereka yang optimis memandang bahwa pesantren
tetap dapat berkembang secara memadai dengan melakukan berbagai pembenahan
internal dan pergerakan untuk memperluas ruang hidupnya diantara sekian banyak
jenis lembaga pendidikan yang tumbuh pesat di tanah air dan belum dapat
menggantikan peran pondok pesantren. Yang pesimis melihat bahwa melemahnya
peran pesantren sebagai lembaga pendidikan tejadi karena peran politik lebih
menonjol, sehingga pesantren terbagi-bagi sesuai dengan kotak-kotak partai
politik yang bermaksud mewakili umat Islam di Indonesia. Kesibukan sebagian
kecil pemimpin pesantren dalam kegiatan politik, oleh kalangan ini, ditempatkan
sebagai bukti bahwa pergumulan untuk kekuasaan merupakan potensi yang
melemahkan karir pesantren sebagai lembaga pendidikan. Namun mereka yang kritis
berusaha memahami bahwa dalam masa transisi ini pesantren terlihat memberikan
pelajaran yang berharga tentang perkembangan lembaga pendidikan yang mengakar
di masyarakat. Kegagalan dalam satu hal dan keberhasilannya dalam hal lain
diakui. Kesemuanya dipahami sebagai sesuatu yang menarik untuk ditelaah karena
terbukti bahwa pesantren sendiri memperlakukannya sebagai sumber belajar untuk
tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan sambil membangun pengetahuan bersama
masyarakatnya. Op.Cit. hlm. 3
[16] Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi
menuju Milenium Baru”, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 102
[17] Neong Muhajir, “Teori
Perubahan Sosial”, dalam Ridlwan
Nasir, “Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah
Arus Perubahan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005,
hlm. 12
[18] Ibid.
[19] M. Dawan Raharjo, “Pergulatan Dunia Pesantren”,
Jakarta: P3M, 1985, hlm. 50-51
[20]
Hiroko Horikoshi, “Kiai dan Perubahan Sosial”,
Jakarta: P3M, 1987, hlm. xvi-xvii
[21]
M. Karyadi,
“Kepemimpinan (Leadership)”, Bandung: Karya Nusantara, 1989, hlm. 7-8
[22] Azyumardi Azra,
Kontek Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina. 1999.
hlm. 166
[23] Abd A’la. Pembaruan
Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2006. hlm. 24
Tidak ada komentar:
Posting Komentar