Minggu, 09 Oktober 2016

MEREKONTRUKSI MODEL KEPEMIMPINAN KHARISMATIK DI LEMBAGA PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN



Oleh: Muhamad Ramli[1]

Abstrak
Di era modern seperti saat ini model kepemimpinan kharismatik masih begitu dominan ditampilkan di pesantren, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dengan perubahan zaman, tradisi tersebut tidak efektif lagi, yang pada akhirnya akan tergerus oleh arus modernitas. Hal ini perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai modernitas dan nilai Islam itu sendiri, menejemen kharismatik itu tidak perlu dieliminasi tapi disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama. Melalui strategi tersebut keterkaitan dua unsur itu akan melahirkan suatu manajemen yang modern tanpa harus kehilangan roh nya yang bersifat moral.

Kata Kunci: Rekontruksi, Model Kepemimpinan, Kharismatik, Pondok
                     Pesantren

A.    PENDAHULUAN
Sejarah pendidikan di Indonesia mencatat, bahwa pesantren adalah bentuk lembaga pendidikan pribumi tertua atau dengan kata lain sebagai “bapak” dari pendidikan di Indonesia.[2] Bahkan Nurcholis Madjid berpendapat bahwa pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi juga mengandung makna keaslian (indigenous) Indonesia, sebab keberadaannya mulai dikenal di bumi Nusantara pada periode abad ke 13-17 M, dan di Jawa pada abad ke 15-16 M. Jauh sebelum kolonial Belanda memperkenalkan pendidikan Barat. Pendapat ini seolah mendapat justifikasi dengan tidak ditemukannya lembaga pesantren di negara-negara Islam lainnya.[3]
Terlepas dari berbagai perbedaan asal usul pesantren, sejak didirikan pertama kali oleh Syech Maulana Malik Ibrahim pada tahun 1399 M, kemudian diteruskan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Kembang Kuning, pesantren mampu terus berkiprah hingga hari ini.[4] Dari zaman kolonial Belanda, orde lama, orde baru hingga reformasi, pesantren terus eksis dan mewarnai serta memberikan sumbangsih signifikan terhadap bangsa ini. Telah begitu banyak tokoh-tokoh kaliber dunia yang muncul dari pesantren, Syekh Nawawi al-Bantenî, Kiai Mahfudz Tremas, Syekh Muhammad Kholil, dan KH. Hasyim Asy’ari adalah contoh kongkrit kapabilitas alumnus pesantren.
Ciri umum yang dapat diketahui adalah pesantren memiliki kultur khas, yang berbeda dengan budaya disekitarnya. Karena itulah beberapa peneliti menyebutnya sebagai sebuah sub-kultur yang bersifat idiosyncratic.[5] Tradisi pesantren ini selalu dijaga dengan hati-hati, bahkan dari awal berdirinya sampai hari ini. Seiring perputaran zaman, sistem yang dulu masih menjadi sebuah yang kontemporer, sekarang telah menjelma menjadi sesuatu yang konvensional, dari yang paling modern menjadi tradisonal dan ortodoks.[6]  
Dalam hal ini, Steenbrink mengatakan bahwa hampir semua pelapor Barat selalu memberikan laporan pertama kepada pembaca yang belum pernah mengunjungi pesantren, atau mengenalnya lewat tulisan. Pada umumnya mereka memberikan gambaran dan kesan aneh dan khusus menekankan adanya perbedaan dengan sekolah-sekolah barat.[7]
Walaupun begitu, bukan berarti tidak ada perubahan dalam khazanah pesantren, adigium ”al-muhâfadzatu ’alâ al-qadîmi al-shâlih wa al-akhdu bi al-jadîdi al-ashlah” sebuah keniscayaan terhadap perubahan. Hanya saja perubahan-perubahan itu dulunya menjadi tidak begitu kelihatan.
Perkembangan dan perubahan yang dilakukan pondok pesantren, sebagai bentuk konstalasi dengan dunia modern serta adaptasinya, menunjukkan kehidupan pondok pesantren tidak lagi dianggap statis dan mandeg. dinamika kehidupan pondok pesantren telah terbukti dengan keterlibatan dan partisipasi aktif memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam banyak aspek kehidupan yang senantiasa menyertainya. di antaranya, ikut serta dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa melalui lembaga pendidikan pesantren. karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang memiliki akar budaya yang kuat di masyarakat.[8]  
Lebih lanjut, dalam iklim kompetitif seperti sekarang ini, sulit bagi pesantren untuk hidup dengan baik jika tidak memiliki kemampuan untuk mengubah diri dengan cepat dan mampu berkembang seiring dengan berbagai tuntutan stakeholder. Kondisi ini berlaku hampir pada keseluruhan pesantren yang bersifat profit dan nonprofit. pesantren sebagai lembaga pendidikan yang termasuk lembaga nonprofit juga  tidak terlepas dari fenomena ini, itulah sebabnya dalam banyak hal pesantren harus mengetahui berbagai harapan dan kebutuhan stakeholder.
Tidak perlu disangkal, ketika banyak kalangan memandang lemah bahkan mengklaim problematika internal pondok pesantren terletak pada manajemen. Terlepas dari keberhasilannya selama ini, pondok pesantren diakui, mampu mendidik para santrinya menjadi manusia yang shalih, menjadi mubaligh, serta para cendekiawan yang kemudian menjadi pemimpin di tengah-tengah masyarakat, baik formal maupun informal yang kini tersebar di seluruh pelosok nusantara ini.[9]
Sudah menjadi Common sense bahwa pesantren lekat dengan figur Kiai. Kiai dalam pesantren merupakan figur sentral, otoritatif, dan pusat seluruh kebijakan dan perubahan. Hal ini erat kaitannya dengan dua faktor berikut. Pertama, kepemimpinan yang tersentralisasi pada individu yang bersandar pada kharisma serta hubungan yang bersifat patenalistik. Kebanyakan pesantren menganut pola ”serba mono”, mono-manajemen dan mono-administrasi sehingga tidak ada delegasi kewenangan ke unit-unit kerja yang ada di organisasi. Kedua, kepemilikan pesantren bersifat individual (atau keluarga), bukan komunal. Otoritas individu kiai sebagai pendiri sekaligus pengasuh sangat besar dan tidak bisa diganggu gugat. Faktor nasab (keturunan) juga kuat sehingga kiai bisa mewariskan kepemimpinan pesantren kepada anak yang dipercaya tanpa ada komponen pesantren yang berani memprotes.[10]  
Sehingga secara umum pengelolaan manajemen di pesantren kurang diperhatikan secara serius, karena pesantren sebagai lembaga tradisional, dengan wataknya yang bebas, serta pola pembinaannya hanya tergantung pada kehendak dan kecenderungan pimpinan saja. Padahal  sesungguhnya potensi-potensi yang ada dapat diandalkan untuk membantu penyelenggaraan pondok pesantren tersebut. Menurut Azra keadaan ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dengan perubahan zaman, tradisi tersebut tidak efektif lagi, yang pada akhirnya akan tergerus oleh arus modernitas. Hal ini perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai modernitas dan nilai Islam itu sendiri, menejemen kharismatik itu tidak perlu dieliminasi tapi disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama.[11]
Tulisan ini berupaya mengungkapkan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh pesantren ketika dihadapkan dengan modernitas, terutama dari segi kepemimpinan sebagaimana telah dijelaskan di atas. Selain itu penulis juga berupaya menampilkan beberapa solusi terhadap permasalah tersebut yang penulis ambil dari berbagai pendapat para ahli.

B.     DINAMIKA MANAJEMEN PENDIDIKAN PESANTREN
Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang menempatkan sosok kiai sebagai tokoh sentral dan masjid sebagai pusat lembaganya.[12] Ciri khas pondok pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan adalah: (1) adanya Kyai yang mengajar dan mendidik, (2) adanya santri yang belajar dari kyai, (3) adanya masjid, tempat ibadah dan pusat kegiatan, dan (4) adanya pondok/ asrama tempat para santri bertempat tinggal. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya lembaga ini merupakan institusi pendidikan Islam tertua di Indonesia dan sekaligus bagian dari warisan budaya bangsa (indigenous culture). Maka, bukanlah kebetulan jika pesantren masih dapat bertahan hingga saat ini.
Mereka yang pernah mengenyam pendidikan pesantren kemudian juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di luar negeri pada umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat terhormat sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut pertalian keilmuan dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu agama Islam diberbagai belahan dunia.[13]
Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa pesantren masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya dapat memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.[14]
Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai intitusi pendidikan yang mengajarkan agama dan penekanan moral dipertanyakan. Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum terhadap pesantren ada dua macam. Yaitu: (1) Mereka yang menyangsikan relevansi lembaga ini untuk menyongsong masa depan. (2) Mereka yang justru melihat pesantren sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan.[15]  
Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondok pesantren dalam hal ini; (1) Merevisi kurikulum  dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran umum atau bahkan keterampilan umum; (2) membuka kelembagaan dan fasilitas-fasilitas pendidikan bagi kepentingan pendidikan umum.[16]
Sistem konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen yang baik akan memberikan peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi lembaga yang mampu berperan melaksanakan pendidikan secara integral antara penanaman al-akhlak al-karîmah (moral) dan intelektual.
Menurut Neong Muhajir, pendapat yang berkaitan dengan dinamika dalam arti instrumentasi, antara lain: pendapat Durkheim yang mengatakan perubahan evolusioner dari mekanik ke organik. Pembagian kerja dan tata sosial yang semula kaku mendetail menjadi luwes. Sedangkan Homans mengatakan teori tukar menukar (exchange theory), bahwa manusia bertindak atas prinsip meminimalkan biaya dengan menjangkau keuntungan maksimal. Kekuatan (power) dimiliki oleh orang yang mampu memberi hadiah (keuntungan) lebih besar dalam tukar menukar dengan kesediaan menerima imbalan yang lebih kecil.[17]
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan bisa terjadi dengan evolusioner, dan dalam perubahan tersebut ada suatu kekuatan (power) yang menjadikan sesuatu itu dapat berubah. Dalam fenomena yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa suatu kekuatan yang ada di pesantren adalah sosok sentral, yaitu seorang kiai. Sedangkan pendorong yang dapat berperan mempercepat perubahan sosial menurut Neong Muhajir, setidak-tidaknya ada tiga macam: (1) penemuan teknologi baru, (2) wawasan baru, dan (3) perubahan struktur atau fungsi suatu satuan sosial.[18] Suatu perubahan mungkin berpangkal pada yang pertama, mungkin pula bermula dari yang kedua atau yang ketiga. Tetapi ketiganya akhirnya menjadi saling mempengaruhi.
Bila hal tersebut dikaitkan dengan dinamika pondok pesantren, maka yang kedua banyak mewarnai perkembangan pondok pesantren yaitu pada wawasan seorang pemangku pondok, dalam hal ini adalah kiai. Karena setiap perubahan sosial pasti ada sosial aktornya, dan sosial aktor pada dinamika manajemen pendidikan di pondok pesantren adalah kiai. Kiai merupakan power (kekuatan) dalam hal kedalaman ilmu kiai dan wawasan barunya untuk menghadapi perubahan. Seorang kiai sebagai pemangku pondok pesantren memiliki karisma.[19] Dan pengaruhnya besar sekali dalam kehidupan masyarakat.
Kiai berperan sebagai  alat penyaring arus informasi yang masuk ke lingkungan kaum santri, menularkan apa yang dianggap berguna dan membuang apa yang dianggap merusak bagi mereka. Namun, menurut Geertz, peranan penyaring itu akan macet manakala arus informasi yang masuk begitu deras dan tidak mungkin disaring oleh sang kiai. Dalam keadaan demikian, kiai akan kehilangan peranannya. Dengan kurangnya informasi yang diperoleh, kiai menjadi tidak kreatif, dan akan mengalami kesenjangan budaya (cultural lag) dengan masyarakat sekitarnya.
Menurut Horikoshi,[20] ada sebagian kiai berperanan kreatif dalam perubahan sosial. Hal ini bukan karena sang kiai mencoba meredam akibat perubahan yang terjadi, melainkan justeru  karena mempelopori perubahan sosial dengan caranya sendiri. Ia bukan melakukan penyaringan informsi, melainkan menawarkan agenda yang dianggapnya sesuai dengan kebutuhan nyata masyarakat yang dipimpinnya. Ia bukan keraguan berperan karena menunda datangnya perubahan melalui proses penyaringan informasi, melainkan ialah sepenuhnya berperan karena ia mengerti bahwa perubahan sosial adalah perkembangan yang tak terelakkan lagi.

C.    CORAK KEPEMIMPINAN DI PESANTREN
Untuk lebih jelas menggambarkan miniatur atau corak kepemimpinan kiai, berikut ini dipaparkan tentang tipe-tipe pemimpin, yaitu:[21]
a.         Tipe Otokratik,
Pemimpin yang bertipe ini akan bertindak sendiri dalam mengambil keputusan, dan memberitahukan kepada bawahannya bahwa ia telah mengambil keputusan tertentu dan para bawahannya itu hanya berperan sebagai pelaksana karena mereka tidak dilibatkan sama sekali dalam proses pengambilannya. Gaya otokratik bukanlah gaya yang didambakan oleh bawahan dalam mengelola suatu organisasi kerena pentingnya unsur manusia sering diabaikan.
b.        Tipe Meliteristik
Tipe ini dalam menggerakkan bawahan sering menggunakan cara  mengambil keputusan sendiri dan berusaha “menjual” keputusan itu kepada bawahannya. Dengan harapan bahwa para bawahan akan mau menjalankannya meskipun tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
c.         Tipe Paternalistik
Orientasi kepemimpinan dengan gaya ini memang ditujukan pada dua hal sekaligus, yaitu penyelesaian tugas dan terpeliharanya hubungan yang baik dengan para bawahan sebagaimana seorang bapak akan selalu memelihara hubungan yang serasi dengan anak-anaknya.
d.        Tipe Karismatik
Seorang pemimpin yang bertipe karismatik mungkin saja bertindak otokratik dalam mengambil keputusan, dalam arti ia mengambil keputusan sendiri tanpa melibatkan para bawahannya dan menyampaikan keputusan itu kepada orang lain untuk dilaksanakan.
Akan tetapi adakalanya ia menggunakan gaya yang demokratik, dalam arti mengikutsertakan para bawahan dalam pengambilan keputusan. Pemimpin yang demikian memiliki daya tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar. Sering dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supranatural power), mempunyai semacam kesaktian, dan mempunyai kemampuan yang luar biasa diluar kemampuan orang-orang biasa.
e.         Tipe Demokratik
Pemimpin yang bertipe demokratik akan memilih model dan teknik pengambilan keputusan tertentu yang memungkinkan para bawahannya berpartisipasi, dan gaya ini dipandang sebagai gaya yang paling didambakan oleh semua pihak yang terlibat dalam pencapaian tujuan organisasi yang bersangkutan.

D.    ANALISA MASALAH
Di era modern seperti saat ini model kepemimpinan kharismatik masih begitu dominan ditampilkan di pesantren, hal ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, karena dengan perubahan zaman, tradisi tersebut tidak efektif lagi, yang pada akhirnya akan tergerus oleh arus modernitas. Kenyataan dilapangan, soksesi kepemimpinan yang ada sering tidak mampu mengimbangi kemajuan pesantren yang di kelola oleh kiai, sehingga sering terjadi penyusutan kewibawaan, baik karena tidak mampu memahami tuntutan yang timbul dan perkembangan keadaan yang baru maupun karena faktor-faktor lainnya. Seperti terhentinya kaderisasi kepemimpinan pada waktu pesantren yang dipimpin mengalami perkembangan pesat, kesenjangan semacam itu bisa berakibat fatal bagi kehidupan pesantren yang bersangkutan, paling tidak akan menimbulkan situasi kritis yang dapat mengganggu stabilitas kehidupan pesantren.
Dari segi kepemimpinan, banyak hal yang bisa ditunjuk sebagai sebab mengapa belum mantapnya pola kepemimpinan di pesantren selama ini. Sebab yang paling menonjol adalah watak karismatik yang dimiliki oleh sang kiai, selain itu dengan adanya tuntutan perobahan manajemen kepemimpinan pada pesantren sepertinya peran kiai di dunia pesantren telah mengalami pergeseran. Peran kiai sebagai ulama atau sumber ilmu pengetahuan dan pengasuh tampak ada indikasi mengalami distorsi.
Modernitas juga membawa pengaruh terhadap kebebasan santri. Pondok tidak dapat mengekang begitu saja santri, saat ini santri sudah sangat kritis, apalagi mereka tidak hanya dibekali ilmu dari dalam pondok saja, mereka juga punya pengalaman di luar pondok dimana sekolah mereka tidak terikat oleh pondok. Sesuai dengan teori modernitas yang dikemukakan oleh Durkheim, yang dengan kebebasannya, moral santri akan hilang, serta teori yang dikemukakan Giddens bahwa modernitas tidak mengenal waktu dan ruang.
Pengaruh modernitas telah memasuki berbagai macam ruang, tak terkecuali pondok pesantren, apalagi lokasi pondok yang terdapat di pertengahan kota yang tidak bisa terlepas dari hiruk pikuk suasana yang penuh dengan glamouritas. Pondok pesantren yang berada di tengah-tengah perkotaan, serta santri yang banyak mempunyai aktifitas di luar pondok, tak bisa dipungkiri arus modernitas dan glamouritas perkotaan sangat gampang masuk ke dunia pesantren sehingga perlu sebuah siasat yang relevan sepanjang zaman tanpa mengeliminasi tradisi lama dan berusaha menerima dan menfilter hal terbaru tanpa curiga meski tak mengurangi daya kritisnya.
Melihat kenyataan bahwa modernitas membawa pengaruh terhadap kebebasan santri. Jika pondok masih menggunakan gaya kepemimpinan berpusat pada pengasuh saja, tanpa menejemen yang baik, ketika kiai yang dielu-elukan dan dihormati bahkan ditakutkan oleh kebanyakan para santri telah tiada, dan bertambah parah pula apabila sistem pengkaderan tidak berjalan dengan baik, makan akan muncul masalah-masalah seperti halnya hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pondok karena pengasuh baru yang tidak sesuai dengan masyarakat, serta hilangnya kontrol dan kedisiplinan para santri, bukan tidak mungkin akan berakibat pada kebebasan santri yang  tiada batas bahkan bisa jadi kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Kebebasan santri tanpa control yang benar akan mengakibatkan kerugian bagi diri santri dan juga pondok pesantren, santri bisa melakukan percakapan tanpa batas ruang dan waktu, sekarang banyak HP dan internet, mereka bisa melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan olehnya dan lain sebagainya. Jika ini dibiarkan dan tidak diarahkan pada arah yang sesuai, maka ini akan merusak pada diri santri sendiri dan juga pondok pesantren, padahal sebenarnya jika modernitas dimanfaatkan sebaik-baiknya, hal ini akan sangat mendukung wawasan santri sendiri yang akan berpengaruh terhadap lingkungan pondok saat ini bahkan untuk kehidupan selanjutnya.

E.     SOLUSI MASALAH
Modernitas sendiri tidak hanya memberi pengaruh negatif terhadap pondok, akan tetapi juga banyak memberi pengaruh positif, antara lain pernah dikemukakan oleh para teoritisi sosiologi :
  1. Weber (1864 - 1920), menyebutkan bahwa kehidupan modern yang paling menentukan adalah perkembangan rasionalitas formal dan mengakibatkan munculnya kerangkeng besi rasionalitas. Akibatnya manusia semakin tak mampu mengungkapkan ciri kemanusiaan yang paling mendasar. Disamping itu, weber juga menghargai keuntungan dari kemajuan rasionalisasi misal birokrasi yang kuat dari pada bentuk organisasi sebelumnya.
  2. Durkheim (1858 – 1917), menyebutkan bahwa modernitas ditentukan oleh solidaritas organic yang menghasilkan kebebasan yang lebih besar dan pelemahan kesadarn kolektif yang mengakibatkan melemahkan moralitas bersama.
  3. Giddens (1938 - ….), salah satu ciri modernitas adalah pemisahan waktu dan ruang. Dalam masyarakat pra modern waktu selalu dikaitkan dengan ruang. Ruang ditentukan oleh kehadiran secara fisik dan karena itu ditentukan oleh ruang yang dilokalisir, dengan datangnya modernitas, ruang makin lama makin dilepaskan oleh waktu. Berhubungan dengan orang yang berjauhan jarak fisik makin lama makin besar peluang.
Melihat dari beberapa pendapat para tokoh sosiologi tersebut di atas, bahwa modernitas menyatakan sedemikian rupa pengaruhnya terhadap lingkungan pesantren, jika pesantren masih tetap mempertahankan tradisi-tradisi lama yang tidak relevan lagi dan tidak menyerap hal-hal baru yang dapat mendukung keberadaan pondok, secara otomatis pondok akan berangsur-angsur tergerus oleh arus modernitas.
Seperti halnya pondok yang mengikuti gaya kepemimpinan yang terpusat pada kiai serta gaya pemilihan pemimpin secara turun-temurun yang telah mentradisi di lingkungan pesantren, di era modernitas seperti saat ini, tidak salah juga hal itu masih tetap dilakukan, akan tetapi dengan menggunakan birokrasi yang rasional sesuai dengan teori modernitas nya weber, yakni dengan sistem menejemen yang terstruktur dimana kepemimpinan tertinggi adalah kiai, namun tetap menghiraukan menejemen organisasi yang tepat.
Hal ini perlu direkonstruksi secara kreatif berdasarkan nilai-nilai modernitas dan nilai Islam itu sendiri, manajemen kharismatik itu tidak perlu dieliminasi tapi disandingkan dengan pola rasional dan dibingkai dengan nilai-nilai moralitas agama. Melalui strategi tersebut keterkaitan dua unsur itu akan melahirkan suatu menejemen yang modern tanpa harus kehilangan roh nya yang bersifat moral.[22] kepemimpinan kharismatik dapat dikatakan bernuansa moral karena charisma tersebut pada umumnya bermuara pada otoritas keulamaan dalam masalah kedalaman ilmu, ketinggian pribadi, pengelolaan yang hati-hati dalam hubungan-hubungan personal dengan anggota masyarakat muslim, serta pembinaan reputasi individual. Hal ini menunjukan bahwa charisma ulama berdasar pada keteladanan moralitas yang mereka miliki.
Dalam ungkapan lain, pada satu sisi, moralitas diharapkan tetap memiliki ruang cukup luas sebagai bingkai keseluruhan proses penanganan dan pengelolaan pendidikan pesantren, pada sisi lain, unsur-unsur menejemen dikembangkan secara intens tanpa harus terperangkap pada pola-pola mekanistik yang sangat kaku.[23]
Dengan demikian, jika pola menejemen pondok di atur sedemikian rupa, yaitu dengan mengembangkan menejemen yang tepat sesuai situasi kondisi zaman saat ini tanpa harus menghilangkan roh pesantren (gaya kepemimpinan yang kharismatik dan pemilihan pengasuh yang turun-temurun), masalah-masalah seperti halnya hilangnya kepercayaan masyatakat terhadap pondok karena pengasuh baru yang tidak sesuai dengan masyarakat, serta hilangnya control dan kedisiplinan para santri dapat diminimalisir.
Sehubungan dengan hal tersebut, pondok pesantren perlu merubah sistem pemilihan pimpinan ke arah sistem yang lebih ideal yang disertai dengan kaderisasi yang memadai. Selain itu, seorang kiai sebagai pemimpin di pondok pesantren jelas memerlukan suatu respon yang tepat untuk dapat menumbuhkan dan membangun pesantren menjadi lembaga pendidikan yang dapat memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Jika birokrasi pondok terstruktur dengan baik, ketika kiai tiada, pondok tersebut tidak akan kehilangan esensinya sebagai pondok, dan kepercayaan masyarakat pun akan tetap utuh, serta santrinyapun akan tetap terus bertambah dengan output yang tetap berkualitas. Karena itulah untuk menyikapi hal ini perlu kiranya mengoptimalisasi prilaku kepemimpinan, karena efektivitas kepemimpinan setidaknya harus dapat menjalankan fungsinya dalam hal merencanakan, mengorganisasi, mendelegasikan tugas, dan memberikan motivasi. Karena kemajuan suatu pesantren tidak akan terlepas dari pengelolaan manajemen pondok pesantren itu sendiri dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk itulah pondok pesantren perlu konsisten untuk menerapkan model kepemimpinan kolektif, dalam artian mengurangi ekslusifitas peran kiai yang bergitu dominan.
Model kepemimpinan kolektif pada dasarnya adalah kepemimpinan bersama, diamana antara satu dengan yang lain saling melengkapi. Selain  itu agar berjalan evektif,  pesantren juga perlu merekontruksi manajemen yang selama ini telah diterapkan. Secara internal, agar kepemimpinan di pesantren dapat mengaktualisasikan menajemen yang berbasis pesantren dengan memperkuat tiga hal berikut: (1) pesantren pelu berbenah diri yaitu dengan berupaya memajukan pondok di berbagai bidang, (2) memberikan pecerahan kepada civitas yang ada di pesantren agar bersikap kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinilitas ajaran Islam, dan (3) membangun budaya, sehingga budaya yang ada dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Hal ini hanya bisa dilakukan apabila memahami arus globalisasi, informasi secara benar, dan tidak bersikap eksklusif.
Sedangkan secara eksternal, pemimpin di pesantren dapat mengaktualisasikan peran kepemimpinannya sebagai penghubung dengan masyarakat. Karena pesantren selain berperan sebagai lembaga pendidikan juga berperan sebagai lembaga bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan sekaligus sebagai simpul budaya. Fungsi ini menjadikan kiai sebagai figur publik senantiasa berhubungan dengan pihak luar yang menghubungkan antara pesantren dengan masyarakat. Biasanya kiai dipercaya untuk memberikan siraman rohani secara rutin bagi masyarakat sekitar. Kegiatan tersebut dapat bebentuk pengajian, majlis taklim, peringatan hari besar keagamaan, haulan dan lain-lain. Kegiatan ini akhirnya akan membina hubungan yang harmonis antara kiai, pesantren dan masyarakat. Pesantren dapat berkembang menjadi sebuah lembaga pendidikan yang mengakar di tengah-tengah masyarakat antara lain karena dapat menjaga hubungan yang harmonis dari masyarakat sekitar dari kalangan manapun.

F.   PENUTUP
Dengan manajemen pondok yang terorganisir baik, kontrol dan kedisiplinan yang tepat, serta arahan terhadap gaya hidup modern yang islami, kebebasan santri tetap pada batas-batas tertentu. Walaupun lokasi terdapat di perkotaan dengan aktifitas para santri yang banyak di luar. Nilai-nilai modernitas tetap diterapkan, akan tetapi tanpa menghilangkan roh dari pondok pesantren itu sendiri. Akhirnya pesantren akan mampu memperbaiki pola kepemimpinan yang selama ini melekat dalam budaya pesantren. Sehingga kepemimpinan kiai di pesantren akan dapat memberikan kepuasan kepada masyarakat sebagai pengguna layanan pendidikan pondok pesantren.

DAFTAR PUSTAKA
Abd A’la. Pembaruan Pesantren. (Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2006).

Azra, Azyumardi. “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru”, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999).

Azra, Azyumardi. Kontek Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. (Jakarta: Paramadina. 1999).

Hadari, Amin & M. Ishom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, (Jakarta: Diva Pustaka, 2008).

Horikoshi, Hiroko. “Kiai dan Perubahan Sosial”, (Jakarta: P3M, 1987).

Karyadi, M. “Kepemimpinan (Leadership)”, (Bandung: Karya Nusantara, 1989).

Mahpuddin, Noor. “Potret Dunia Pesantren”, (Bandung: Humaniora, 2006).

Masyhud, M. Sulthon, dkk. Manajamen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2008).

Mulkhan, Abdul Munir. “Rekonstruksi Pendidikan dan Pustaka Tradisi Pesantren (Relegiusitas Iptek)”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998).

Muchtar, Affandi, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren, (Bekasi: Pustaka Isfahan, 2009).

Nafi’, M. Dian. Praksis Pembelajaran Pesantren, (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara, 2007).

Nasir, Ridlwan, “Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan”, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005).

Raharjo, Dawam. “Pesantren dan Pembaharuan”, cet.V, (Jakarta: LP3ES, 1995).

Raharjo, M. Dawan. “Pergulatan Dunia Pesantren”, (Jakarta: P3M, 1985).

Siraj, Sa’id Aqiel. “Pesantren Masa Depan”, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999).

Steenbring, Karel A. ”Pesantren Madrasah Sekolah”, (Jakarta: LP3ES, 2002).

Yusuf, Syaifullah. “Melahirkan Ilmuwan-Ulama: Tanggungjawab Ganda Pesantren di Era Kesejagatan”, pengantar dalam Babun Suharto, “Dari Pesantren untuk Umat”, (Surabaya: IMTIYAZ, 2011).

Zada, Khamami dkk. ”Intelektualisme Pesantren”, (Jakarta: Diva Pustaka. 2003).






[1]  Dosen Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam  STAI Al Falah Banjarbaru dengan keahlian Ilmu Manajemen Pendidikan.
[2] Affandi Mochtar, Kitab Kuning dan Tradisi Akademik Pesantren, Bekasi: Pustaka Isfahan, 2009, hlm. 13
[3] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999, hlm. 40. Lihat juga Amin Hadari & M. Isom El-Saha, Peningkatan Mutu Terpadu Pesantren dan Madrasah Diniyah, Jakarta: Diva Pustaka, 2008, hlm. 1
[4] Khamami  Zada dkk, ”Intelektualisme Pesantren”, Jakarta: Diva Pustaka. 2003, hlm. 13
[5] M. Suthon Masyhud, dkk.  Manajemen Pondok Pesantren, Jakarta: Diva Pustaka, 2008, hlm. 3
[6] Syaifullah Yusuf, “Melahirkan Ilmuwan-Ulama: Tanggungjawab Ganda Pesantren di Era Kesejagatan”, pengantar dalam Babun Suharto, “Dari Pesantren untuk Umat”, Surabaya: IMTIYAZ, 2011, hlm. xi
[7] Karel A. Steenbring, ”Pesantren Madrasah Sekolah”, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm. 8
[8] Sa’id Aqiel Siraj, “Pesantren Masa Depan”, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, hlm. 181

[9] Noor Mahpuddin, “Potret Dunia Pesantren”, Bandung: Humaniora, 2006, hlm. 112
[10]  M. Sulthon Masyhud, dkk., Op. Cit. hlm. 15
[11] Azyumardi Azra, Kontek Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina. 1999. Hlm. 166
[12] Dawam Raharjo, “Pesantren dan Pembaharuan”, cet.V, Jakarta: LP3ES, 1995, hlm. 87

[13] M. Dian Nafi’ dkk., Praksis Pembelajaran Pesantren,  Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2007, hlm. 1
[14]  Ibid.
[15] Muhammad Busyro, “Problem Pengembangan Tradisi Pesantren”, dalam Abdul Munir Mulkhan, “Rekonstruksi Pendidikan dan Pustaka Tradisi Pesantren (Relegiusitas Iptek)”, Yogyakarta: Fak Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga & Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 186-199. Lihat juga dalam M. Dian Nafi’ dkk. Mensinyalir bahwa mereka yang optimis memandang bahwa pesantren tetap dapat berkembang secara memadai dengan melakukan berbagai pembenahan internal dan pergerakan untuk memperluas ruang hidupnya diantara sekian banyak jenis lembaga pendidikan yang tumbuh pesat di tanah air dan belum dapat menggantikan peran pondok pesantren. Yang pesimis melihat bahwa melemahnya peran pesantren sebagai lembaga pendidikan tejadi karena peran politik lebih menonjol, sehingga pesantren terbagi-bagi sesuai dengan kotak-kotak partai politik yang bermaksud mewakili umat Islam di Indonesia. Kesibukan sebagian kecil pemimpin pesantren dalam kegiatan politik, oleh kalangan ini, ditempatkan sebagai bukti bahwa pergumulan untuk kekuasaan merupakan potensi yang melemahkan karir pesantren sebagai lembaga pendidikan. Namun mereka yang kritis berusaha memahami bahwa dalam masa transisi ini pesantren terlihat memberikan pelajaran yang berharga tentang perkembangan lembaga pendidikan yang mengakar di masyarakat. Kegagalan dalam satu hal dan keberhasilannya dalam hal lain diakui. Kesemuanya dipahami sebagai sesuatu yang menarik untuk ditelaah karena terbukti bahwa pesantren sendiri memperlakukannya sebagai sumber belajar untuk tetap berfungsi sebagai lembaga pendidikan sambil membangun pengetahuan bersama masyarakatnya. Op.Cit. hlm. 3
[16] Azyumardi Azra, “Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru”, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999, hlm. 102
[17] Neong Muhajir, “Teori Perubahan Sosial”, dalam Ridlwan Nasir, “Mencari Tipologi Format Pendidikan Ideal; Pondok Pesantren di Tengah Arus Perubahan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2005, hlm. 12
[18] Ibid.
[19] M. Dawan Raharjo, “Pergulatan Dunia Pesantren”, Jakarta: P3M, 1985, hlm. 50-51
[20]  Hiroko Horikoshi, “Kiai dan Perubahan Sosial”, Jakarta: P3M, 1987, hlm. xvi-xvii
[21] M. Karyadi, “Kepemimpinan (Leadership)”, Bandung: Karya Nusantara, 1989,  hlm. 7-8
[22] Azyumardi Azra, Kontek Berteologi di Indonesia: Pengalaman Islam. Jakarta: Paramadina. 1999. hlm. 166
[23] Abd A’la. Pembaruan Pesantren. Yogyakarta: Pustaka Pesantren. 2006. hlm. 24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar