Sabtu, 02 Juni 2018

Tuan Guru K.H. Muhammad Sani

TUAN GURU KH. MUHAMMAD SANI




Guru Sani, pendiri pondok pesantren Al Falah terkenal sebagai seorang figur yang sangat dipercaya oleh masyarakat di zamanya, karena kejujuran dan itegritas serta kepribadian yang terpuji yang dimiliknya. Beliau sering, dan bahkan secara rutin meminta bantuan sumbangan dari para pedagang di pasar-pasar di dekat kediaman beliau. Konon Guru Sani sempat diberi gelar sebagai tukang tagih pajak (penadah pajak) disebabkan ketegasan beliau dalam melaksanakan penagihan, Guru Sani bahkan menentukan sediri besaran yang harus disumbangkan oleh para dermawan. Karen itulah Guru Sani sangat dikenal oleh para pedagang, khususnya masyarakat Alabio, dan dianggap sebagai tuan guru mereka. 

Pada bulan puasa Guru Sani juga suka menjamu berbuka puasa masyarakat di sekitar langgar beliau. Sepanjang hidup beliau tercatat sebanyak 22 kali berhaji baik sendiri maupun membawa rombongan. Pada tahun 1980 Raja Arab Saudi memberikan sumbangan sebesar Rp. 63.704.110 dari dana ini kemudian dibangunkan asrama di pondok pesantren Al Falah Putra oleh beliau.

Konon K.H. Muhammad Sani berteman karib dengan Dr.K.H. Idham Chalid seorang tokoh NU asal Kalimantan Selatan. Suatu saat Guru Sani, begitu ia sering disapa, dipercayakan oleh Idham Khalid untuk membangun sebuah Madrasah di Jakarta yang diberi nama Darul Ma’arif. Setelah pembangunan madrasah selesai, Guru Sani ditawari oleh Idham Chalid untuk memimpin madrasah tersebut. Namun tawaran Idham Chalid ditolak dengan halus. 

Beliau mengatakan bahwa masyarakat Kalimantan Selatan masih perlu perhatian dalam hal pendidikan. Menurut pandangan Guru Sani masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan masih sangat tertinggal jauh jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara ini.
HUBUNGAN KIAI SANTRI

Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) mengisahkan tentang hubungan yang luar biasa antara kiai dan santri di pesantren-pesantresn salaf. Menurut Gus Mus di pesantren, kiai-kiai yang mukhlis mereka memang betul-betul ikhlas dalam segala tindakannya lillah, hanya karena Allah. Bahkan banyak kiai yang menganggap tabu beramal lighairillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati oleh orang lain.

Gus Mus mencontohkan, misalnya pesantrin salaf pada umumnya adalah benar-benar milik kiai. Santri hanya datang dengan bekal hidupnya sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak santri yang hanya untuk hidupnya pun menumpang’ dari kiai.
Kiai semacam ini menurutnya ibarat mewakafkan diri dan seluruh miliknya untuk para santri. Dia memikirkan, mendidik, mengajar dan mendo’akan santrinya tanpa pamrih. Bukan saja saat santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.

Contoh lain adalah ayahanda Gus Mus sendiri, Kiai Bisri Musofa, beliau sering diundang pengajian ke luar kota dan tidak jarang panitia memaksanya untuk mengisi pengajian pada hari-hari dimana pesantren tidak libur. Bila harus melakukan hal yang seperti itu, beliau selalu bermunajat kepada Allah sebelum naik mimbar, “Ya Allah, Engaku tahu hamba datang ke sini karena diminta saudara-saudara hamba untuk menyampaikan firman-firman-Mu dan sabda-sabda Rasul-Mu; namun sementara hamba di sini, santri-santri hamba yang hamba tinggal di pesantren prei tidak hamba ajar. Oleh karena itu, ya Allah, apabila amal hamba di sini ada pahalanya, hamba mohon tidak usah Engkau berikan kepada hamba; ganti saja pahala itu dengan kefutuhan hati santri-santri hamba tersebut.” 

Gus Mus juga menyebutkan beberapa kiai lain yang dengan penuh keikhlasan berkhidmat demi kebaikan santrinya. Seorang kiai di Solo, pernah meminta kepada lurah pondok pesantrenya untuk menuliskan daftar santri yang ternakal agar ketika bertahajut mendo’akan para santri beliau bisa mengkhususkan nama-nama santri ternakal tersebut. 

Kiai Maksum, di Lasem, menurut Gus Mus, bukan hanya setiap waktu membangunkan santri-santrinya untuk sholat dan belajar, mendo’akan mereka setiap kali berdo’a, dan kemanapun beliau pergi selalu menyempatkan berkunjung ke rumah beliau yang beliau lewati, sekedar untuk melihat keadaannya.