Photo: http://www.islamsantri.com/2017/03/awas-kitab-kuning-rawan-di-palsukan.html |
Istilah Kitab Kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar beberapa dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan. Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan zaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berfikir umat Islam (Mochtar, 2009: 32).
"Kitab Kuning" awalnya digunakan sebagai istilah untuk melecehkan dan menghinakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan ulama. Mereka mengejek dengan mengatakan, "Apa yang diketahui oleh ulama tentang urusan Negara, sementara mereka tidak membaca kecuali kitab kuning saja" (Ali Mustafa Yaqub, 2016: 23).
Awalnya sangat menyakitkan memang, tetapi kemudian nama Kitab Kuning diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan. Sekarang justru istilah Kitab Kuning menjadi bentuk kemuliaan. Ketika ada yang berfatwa dalam masalah agama, masyarakat langsung berkomentar, "Bagaimana mungkin orang ini berfatwa, sementara membaca kitab kuning saja ia tidak bisa.
Karena itulah ketika pelaksanaan Simposium Nasional I di Bogor 25 - 27 Januari 1994 KH. Masyhuri Syahid, MA mengusulkan agar simposium ini dapat membuat rekomendasi untuk mengganti istilah kitab kuning dengan istilah yang lebih baik, misalnya dengan istilah al-kutub al-qadimah.
Sementara itu, pengertian yang lebih umum beredar dikalangan pemerhati masalah kepesantrenan, bahwa Kitab Kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M.
Secara lebih terperinci bahwa yang termasuk kitab kuning adalah kitab-kitab yang 1) ditulis oleh ulama 'asing', tapi secara turun temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia, 2) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis 'independen', dan 3) di tulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing (Mochtar, 2009: 33), yang jumlahnya sekitar 900 judul. Kebayakan ditulis dalam bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura dan Aceh (Bruinessen, 2015: 151).
Di wilayah Timur Tengah, Kitab Kuning ini disebut dengan al-kutub al-qadimah, sebagai kebalikan dari al-kutub al-'ashriyyah.
Di kalangan pesantren Kitab Kuning, karena tidak dilengkapi dengan sandangan; fathah, dlammah, kasrah, kerap disebut dengan "Kitab Gundul", dan karena rentang waktu sejarah yang jauh dari kemunculannya sekarang, Kitab Kuning itu pun tidak luput dari sebutan "Kitab Kuno" (Mochtar, 2009: 34).
Kitab Kuning ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) penyusunannya dari yang lebih besar terinci ke yang lebih kecil, seperti kitabun, babun, fashlun, far'un, dan seterusnya; 2) tidak menggunakan tanda baca yang lazim, tidak memakai titik koma, tanda seru, tanda tanya dan lain sebagainya; dan 3) selalu digunakan istilah dan rumus-rumus tertentu seperti untuk menyatakan pendapat yang kuat dengan memakai istilah al-madzhab, al-ashlah, al-shahih, al-arjah, al-rajih dan seterusnya, untuk menyatakan kesepakatan antar ulama beberapa madzhab digunakan istilah ijtima'an, sedang untuk menyatakan kesepakatan antar ulama satu madzhab digunakan istilah ittifaqan (Qomar, 2004: 172). Pergeseran dari satu sub topik ke sub topik yang lain, tidak dengan menggunakan alinea baru, tetapi dengan pasal-pasal atau kode sejenis seperti: tatimmah, muhimmah, tanbih, par' dan lain sebagainya (Mas'udi, 1979).
Kitab-kitab kuning di pesantren secara umum terdiri dari tiga jenis yaitu kitab matn, kitab syarah (komentar) dan kitab hasyiyah (komentar atas kitab komentar). Tiga jenis kitab ini juga menunjukkan tingkat kedalaman dan kesulitan tertentu. Kitab matn paling mudah dikuasai, kitab hasyiyah paling rumit, sedang kitab syarh berada di antara keduanya. Tampaknya kitab syarh ini yang paling banyak dipelajari di pesantren (Qomar, 2004: 127).
Spesfikasi Kitab Kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang terdiri dari dua bagian, matn selalu diletakkan dibagian pinggir (margin, baik sebelah kanan mupun kiri), sementara syarh di letakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan pada umumnya kira-kira 26 cm ukuran quarto.
Ciri khas lainnya terletak pada pejilidannya yang tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat setiap kelompok halaman, misalnya 20 halaman, yang dikenal dengan istilah korasan. Tujuannya mungkin agar mudah dibawa secara terpisah, karena setiap berangkat ke pengajian santri biasanya hanya membawa korasan tertentu saja sebagai bagian yang akan dipelajari bersama sang kiai (Mochtar, 2009: 34). Selain itu juga lebih memudahkan pembaca untuk menelaahnya sambil santai atau tiduran, tanpa harus menghotong semua 'tubuh' kitab yang kadang mencapai ratusan halaman.
Surat kabar adalah satu-satunya jenis bacaan populer pada masa kini yang masih menganut sistem korasan yang panatik. (Masdar F. Masudi dalam Raharjo, 1985: 56). Beda dengan surat kabar, Kitab Kuning saat ini sudah merubah wajahnya, ia tidak lagi menggunakan sistem korasan. Kitab Kuning cetakan baru sudah memakai kertas putih, sebagian sudah diberi syakl (tidak gundul lagi), terkadang dibubuhi dengan tanda baca serta diberi alinea, untuk memudahkan membacanya, dan sebagian besar telah dijilid rapi. Bahkan lantaran respon dunia Islam terhadap kebudayaan modern, maka muncul berbagai kitab modern, kitab-kitab akademis yang banyak menggunakan metode penulisan dan analisis Barat, sehingga berbeda dengan kitab-kitab klasik.
Suatu saat Kitab Kuning bisa saja tinggal namanya saja, tidak menunjukkan kepada makna yang sebenarnya, bahwa Kitab Kuning adalah kitab klasik yang dicetak menggunakan kertas berwarna kuning. Anak cucu kita yang belajar di pesantren bisa saja kebingungan kenapa kitab-kitab yang dipelajarinya di sebut dengan Kitab Kuning, padahal kitab-kitab itu dicetak dengan kertas berwarna putih. Atau bisa juga nama Kitab Kuning menjadi redup dan menghilang di telan zaman sehingga tidak disebut sebagai Kitab Kuning lagi.
Wallahu'alam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar