Banyak para orang
tua yang masih berpandangan keliru tentang pesantren. Mereka beranggapan bahwa
pesantren layaknya sebuah bengkel. Sehingga ketika anak-anak mereka bermasalah
maka, pesantren adalah tempat yang tepat untuk mendidik anak-anaknya.
Tugas bengkel
adalah memperbaiki kerusakan. Tidak
semua pesantren dapat melakukan hal ini.
Ibarat sebuah motor yang sudah rusak, orang tua menyerahkan sepenuhnya
kepada bengkel, selanjutnya permasalahan
selesai. Begitukah? Itulah anggapan yang keliru yang saya maksud di atas. Ada
memang beberapa pesantren, yang berkhusus bidangnya di sini, bisa menangani orang-orang yang (maaf)
‘sudah rusak' seperti itu,
yang kita kenal sebagai pesantren
rehabilitasi. Tetapi
itu tidak sembarang pesantren, sebagian besar pesantren justru menolak keras
dengan melakukan tes yang ketat saat penerimaan santri baru.
Disamping
itu, ada pula para orang tua yang ingin memasukkan anaknya karena terdesak oleh
lingkungan, --baik lingkungan
dalam keluarga maupun
lingkungan luar (sekitar)-- dan khawatir anaknya terpengaruh
terhadap lingkungan yang rusak (tidak kondusif) itu. Bahkan, ada juga orang tua yang memasukkan anaknya karena
tren saja. Misalnya saat ini yang tren di masyarakat, terutama di media
televisi atau media sosial dan lainnya. Fenomena ini kita kenal dengan tren
berhijrah yang marak dipromosikan oleh para ustadz atau ustadzah selebritis.
Alasan-alasan di
atas tidak sepenuhnya salah. Namun, mestinya orang tua yang bijak tidak
memasukkan anak-anak mereka ke pesantren dengan sekonyong-konyong atau secara
tiba-tiba. Harusnya orang tua,
paling tidak, mengenalkan kepada anak-anak mereka sejak dini tentang pesantren.
Kalau misalnya orang tuanya tidak berlatar belakang pendidikan pesantren, bisa
mengajak anak-anak mereka berkunjung ke pesantren. Dengan demikian di dalam
diri anak ditumbuhkan sejak dini kecintaan terhadap pesantren dan kehidupan
yang ada di dalamnya. Dengan pengenalan ini membuat anak tidak merasa begitu
asing lagi dengan dunia dimana nantinya ia akan dididik.
Persiapan waktu
yang panjang, ditambah dengan pengenalan tentang kehidupan sebagai seorang santri,
akan membantu anak untuk mengenal lebih jauh lingkungan dan kegiatan dimana ia
belajar nantinya. Persiapan itu tidak hanya dari segi materi dan fisik saja,
tetapi yang teramat penting adalah persiapan mental untuk mau belajar dan
tinggal di pesantren. Dengan demikian, anak tidak merasa terkejut dan terasing
begitu jauh, karena mereka sudah memiliki mental juang dan semangat yang tinggi
untuk mengecap kehidupan sebagai seorang santri.
Di pesantren
hidup tidaklah mudah, dengan seabrek kegiatan dari mulai bangun tidur sampai
akan tidur lagi. Para santri diajarkan dengan kemandirian. Mereka dididik
supaya hidup berdisiplin, dengan sederet peraturan plus dengan sangsi terhadap
pelanggarnya. Hanya mereka yg bermental baja sajalah yg mampu melaluinya.
Bagi mereka yg
bermental 'kerupuk,' karena terpaksa atau dipaksa oleh orang tuanya, lantaran
tidak sanggup lagi mendidiknya, tidak akan dapat bertahan lama. Mereka inilah
yang berpeluang melanggar peraturan-peraturan yg ditetapkan pesantren. Karena
itulah para orang tua yang mendapatkan anaknya bermasalah dan tidak sanggup
lagi mendidiknya agar memikirkan kembali untuk memasukkan anaknya ke pesantren.
Oleh Sebab itu, hal pertama yang ditanyakan kepada santri, setiap kali penerimaan santri baru adalah
berkenaan dengan motivasi masuk ke pesantren. Kalau ada anak yang merasa
terpaksa atau dipaksa oleh orang tuanya, maka besar kemungkian anak ini tidak akan bakalan lulus saat tes masuk.
Kalaupun ada, 'kebohongan' ini nantinya akan terbongkar juga, karena ketika
bermasalah atau disengaja bikin masalah, mereka mengakui bahwa masuk ke
pesantren karena dipaksa atau takut pada orang tua.
Pengalaman saya
selama mengajar di pesantren, rata-rata santri yang bermasalah dan melanggar
peraturan adalah mereka yang memang tidak betul-betul ingin belajar di
pesantren dengan
berbagai macam alasannya. Ya,
mungkin ada beberapa santri yang mulanya tidak ingin ke pesantren tetapi betah
dan mampu bertahan sampai selesai. Saya rasa mereka tidak banyak.
Rata-rata mereka banyak yang berhenti di pertengahan jalan atau, malah hanya
mampu beberapa hari bertahan di pesantren.
Walhasil, perlu
adanya kerjasama antara orang tua dan pihak pesantren untuk mensukseskan
pendidikan anak-anak mereka. Tanpa adanya kerjasama yang baik diantara keduanya,
maka tujuan yang ingin dicapai baik oleh orang tua, anak dan pesantren itu
sendiri akan sulit untuk diraih.[]