Selasa, 23 Oktober 2018

Buku Riwajat Manusia: Djiwa Jang Besar M. Arsjad Bandjar Surgi Hadji Besar Kalampajan


Photo: Ekslusif

Buku ini berjudul "Riwajat Manusia: Djiwa Jang Besar M. Arsjad Bandjar Surgi Hadji Besar Kalampajan", di tulis oleh H. Achmad Basuni 4 tahun sebelum Indonesia merdeka yakni pada tahun 1941 di Barabai Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan. Ditulis masih menggunakan ejaan lama, diterbitkan oleh P.B. Musjawaratutthalibin Kandangan. Tidak ada informasi yang detil tentang penulis kecuali bahwa beliau menyebutkan bahwa buku ini telah selesai ditulis ketika beliau masih menjabat sebagai Redaktur "Warta Mingguan" dan peladjar (mungkin mahasiswa) dari "Persatuan Perguruan Islam" di Pantai Hambawang Barabai.

Lazimnya seorang sejarawan dalam menulis tentang sejarah mesti terjadi penafsiran-penafsiran atau interpretasi-interpretasi dari penulis yang berhubungan dengan tokoh yang diceritakannya. Ada beberapa hal yang saya tangkap ketika beliau menguraikan tentang beografi tokoh Syekh Muhammad Arsyad Albanjari ini.

Pertama, ketika beliau mengisahkan tentang kemumpunian ilmu Syekh Arsyad Albanjari sepulang beliau dari menuntut ilmu di Mekkah selama 30 tahun dengan menguasai tidak kurang dari 35 disiplin ilmu. Bukan hanya ilmu agama yang beliau tekuni tapi juga ilmu-ilmu keduniaan, seperti falak, handasah, hisab, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.

Beliau mengulas ini dengan mengatakan bahwa pandangan Albanjari tentang ilmu jauh kedepan, bahwa seorang alim dalam Islam itu, bukan hanya penuh batinnya dengan pengetahun agama, tetapi juga harus menguasai ilmu pengetahuan umum yang dapat berguna untuk masyarakat diberbagai lapisan.

Penulis mengkritik ulama-ulama di zamanya yang mengabaikan pengetahun umum; "...sebagian ulama kita jang sampai sekarang seakan-akan masih mengabaikan pengetahuan umum itu, bahkan ada jang berkata, bahwa pengetahuan umum itu tak disuruh oleh agama Islam untuk mempeladjarinya".

Kedua, bahwa Albanjari digambarkan sebagai seorang yang pandai bergaul dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Albanjari tidak pernah segan dan kikuk ketika berhadapan dengan pembesar-pembesar Belanda dan pendeta-pendeta Nasrani ketika beliau datang pertama kali ke Jakarta. Sebagaimana yang dikatakan penulis: "Beliau tak ada mempunjai perasaan: "minderwaardigheids gevoel" alias perasaan lebih rendah.

Dimasa penjajahan, sebagai bangsa yang sekian lama terjajah tentu saja perasaan minder, tidak percaya diri dihadapan kekuatan penjajah menjadikan mental anak bangsa ini berada pada titik terlemah, terlebih ketika berhadapan dengan tuan-tuan pembesar Belanda ketika itu. Hal inilah yang ditekankan oleh penulis bahwa para ulama tidak hanya bergulat di desa-desa mengerjakan rukun-merukun, bahkan seharusnya juga berjuang dilapangan yang lebih luas, yang lebih menekankan kemampuan akal pikiran.

Ketiga, kritik terhadap budaya masyarakat, terutama budaya masyarakat Banjar yang merasa malu meminta laki-laki untuk menjadikan menantu atau suami dari anaknya. Beliau membandingkan Albanjari yang meminta kepada temannya sendiri Abdul Wahab Bugis untuk menjadi mantunya dengan mengawini anaknya Syarifah. Padahal ini penting dilakukan untuk kepentingan agama yang menghajatkan pertalian batin yang teguh, sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw kepada dua orang sahabatnya Utsman dan Ali.

Beliau juga menyebutkan bahwa orang Kalimantan lebih terbuka dalam hal ikatan tali perkawinan dengan bangsa apapun, asal saja sama-sama seagama. Ini tidak berlaku buat orang Minangkabau waktu itu. Dimana masih terdapat adat yang keras bagi anak laki-laki atau perempuan mereka menikah dengan orang luar Minangkabau. Menurutnya jika saat ini bangsa Indonesia menginginkan persatuan orang Kalimantan sudah melakukan itu sejak ratusan tahun yang lalu.

Keempat, bahwa Albanjari menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki terutama dalam hal ilmu pengetahuan. Beliau menginginkan bukan hanya kaum laki-laki yang perlu dipenuhi otaknya dengan pengetahun, tetapi kaum perempuan pun juga harus medapatkan forsi yang sama. Sayang menurut beliau contoh dan teladan yang diberikan Albanjari ini dalam beberapa waktu lamanya telah hilang, larut dibawa oleh arus sungai Tabalong, Martapura dan Barito.

Dan kini, menurut penulis, kita mestilah harus bersyukur bahwa awan kekolotan itu telah makin menipis. Orang-orang tua kita sudah bayak yang mau membukakan pintu bagi anak-anak perempuan mereka untuk keluar rumah menuntut ilmu. Maka bagi tuan-tuan, dan ibu-ibu yang telah mengakui kealiman Albanjari, marilah meniru apa yang telah dicontohkan. Marilah menyerahkan putra dan putri tuan-tuan keperguruan, ketempat pengajian, baik perguruan agama maupun keperguruan umum.

Membaca karya H. Ahmad Basuni ini mengingatkan saya ketika membaca karya-karya Buya Hamka atau karya K.H. Saifuddin Zuhri.