Sabtu, 23 Desember 2017

BELAJAR SEPANJANG HAYAT


Photo: Eksklusif

Mungkin sebagian kita berpandangan bahwa belajar hanya ketika berada di bangku sekolah, ketika sudah tidak bersekolah lagi atau ketika libur sekolah, maka aktifitas belajar juga berhenti. Sebagai contoh, ketika akan libur sekolah atau libur kuliah, semua kita merasa senang dan bergembira, karena aktifitas belajar untuk sementara berhenti.

Ya, hal semacam itu mungkin sah-sah saja, karena ketika bersekolah atau berkuliah kita mendapat beban yang berat disebabkan oleh tugas-tugas sekolah dan kuliah yang banyak, dan kita untuk sementara meninggalkan aktifitas itu, rehat sejenak untuk merefres otak kita. Namun apakah kita juga harus menghentikan aktifitas kita untuk belajar? Benarkan bahwa belajar itu hanya ketika berada sekolah saja atau di perkuliahan saja?

Belajar itu sebenarnya tidak hanya di lembaga formal saja, artinya belajar itu tidak hanya di bangku sekolah atau di kuliah saja, namun belajar itu bisa dilakuan di lembaga-lembaga pendidikan non formal yang diadakan oleh masyarakat ataupun lembaga-lembaga masyarakat. Belajar tidak terbatas hanya di suatu institusi tapi bisa saja berada di dalam perkumpulan orang-orang, kelompok diskusi atau malah belajar sendiri dari sumber informasi, berupa terbitan buku, majalah atau media massa baik itu berupa media cetak ataupun elektronik atau yang lagi ngetren saat ini, internet.

Belajar juga bisa kita lakukan dengan mendatangi pengajian-pengajian atau majlis-majlis taklim, karena di pengajian atau di majlis taklim kita dapat menambah pengetahuan dan keyakinan agama. Selain itu kita dapat bersilaturrahmi dengan sesama untuk meningkatkan ikatan persaudaraan (ukhuwah islamiyah).

BELAJAR SEPANJANG HAYAT

Marilah kita lihat misalnya Suyono dan Hariyanto dalam bukunya Belajar dan Pembelajaran menyebutkan bahwa teori sains terakhir mengungkapkan bahwa calon manusia telah mulai belajar saat jutaan sperma berjuang mencapai ovum dalam uterus. Jutaan sperma itu seolah saling berebut, berlomba mencapai ovum, banyak diantaranya yang gugur di tengah jalan. Uniknya, satu atau dua sperma (pada kasus kembar tidak identik) mencapai ovum dan terjadi konsepsi, sisa ribuan sperma yang lain mati dan menjadi nutrisi bagi ovum yang telah dibuahi. Demikianlah calon manusia ini telah belajar berjuang, beradaptasi, bersaing, tetapi juga bekerja sama dan berkurban untuk kepentingan sesama.

Selanjutnya dalam ajaran Islam sendiri telah digambarkan dengan jelas, bahwa belajar itu adalah sepanjang hayat; artinya bahwa manusia ini belajar sejak ia berada di dalam kandungan, buaian, tumbuh dan bekembang dari anak-anak menjadi remaja, menjadi dewasa, hingga sampai ke liang lahat.

Belajar memang seharusnya dari buaian hingga ke liang lahat; minal mahdi ilaal lahdi, from cradle to the grave. Kata bijak dari Cina misalnya, juga mengatakan; “jika kamu ingin berinvestasi sepanjang hayat, tanamlah manusia.” Hal ini mungkin bisa dikaitkan lagi dengan hadits nabi Muhammad Saw yang berbunyi: Jika seorang anak Adam meninggal, maka seluruh amalannya terputus kecuali dari tiga hal; Sedekah Jariah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh yang senantiasa mendo’akannya (HR.Muslim).

Belajar sepanjang hayat adalah belajar terus menerus dan berkesinambungan dari buaian sampai akhir hayat. Dengan terus menerus belajar manusia akan mendapatkan ilmu pengetahuan, dengan ilmu pula manusia bisa lebih bijaksana dalam menjalani hidup dan dengan ilmu pula manusia ditinggikan derajatnya; “Allah meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu pengetahuan beberapa derajat” (Q.S. Al-Mujadalah; 11).

Jadi, sejatinya belajar adalah sepanjang hayat, belajar untuk terus-menerus memperbaiki prilaku kita, dan terus menerus meningkatkan kualitas hidup agar menjadi lebih baik. Kebaikan yang kita dapatkan melalui belajar itu tentunya tidak hanya yang berhubungan dengan Tuhan saja, tetapi juga bagaimana kebaikan yang kita dapatkan itu bisa menyebar di lingkungan dimana kita berada.

Selamat berlibur, dan teruslah belajar, semoga kita dapat menebarkan kebaikan dimanapun kita berada.

Leasure without study is death (waktu luang yang tidak digunakan untuk belajar sama dengan kematian) –Lucius Annaeus Seneca (4 SM-65 M)

Jumat, 22 Desember 2017

PENGAJIAN DI KAMPUNG

Siang kemaren saya berkesempatan mengikuti pengajian di kampung. Jama'ahnya sebagian besar dihadiri oleh ibu-ibu dan beberapa diantaranya adalah bapak-bapak. Pengajian ini membahas bab tentang Taubat. 

Tuan Guru menjelaskan bahwa syarat2 taubat itu ada tiga, yaitu: 
1. Menyesali terhadap dosa yg pernah dilakukan. 
2. Berhenti dari mengerjakan dosa yg dilakukan. 
3. Bertekad tidak akan mengulangi memperbuat dosa yg pernah dilakukan. 
Jika dosa yg dikerjakan bersangkutan dengan hak sesama manusia maka syaratnya ditambah satu lagi, yaitu meminta maaf atau meminta halal kepada orang yg pernah diperbuat dosa kepadanya.

Setelah selesai tuan guru menjelaskan, seorang ibu dengan lantang bertanya tentang boleh tidaknya megambil Kalakai (sejenis tumbuhan paku-pakuan yg hidup liar di lahan warga) biasanya dijadikan sayur untuk dimakan atau untuk dijual. Dijawab oleh tuan guru bahwa kita hendaknya sebelum mengambil minta ijin dulu kepada sang empunya lahan. Sekalipun tumbuhan itu hidup liar tidak ditanam karena tumbuh dengan sendiriya di lahan-lahan warga.

Seorang ibu lainnya bertanya bagaimana kalau mengambil jeruk tetangga yg sebelumnya sudah mempersilahkan untuk mengambil, sekalipun tidak minta izin lagi kalau ingin mengambil lagi setelahnya.

Di kampung kami, di daerah Kuala Kapuas Kalimantan Tengah, banyak tumbuhan liar yg dijadikan sebagai sayuran. Tidak di pelihara, dan membutuhkan modal tapi punya nilai ekonomis. Tumbuhan ini tumbuh dengan sedirinya di lahan-lahan warga yg sudah tidak terurus. Kalakai dan Piyai adalah jenis tumbuhan paku-pakuan yg pucuk mudanya sering dijadikan sebagai sayuran yg enak rasanya kalau dimasak. Selain itu ada juga tumbuhan lain yg tumbuh liar di sawah-sawah seperti Genjer dan Talipok (sejenis teratai).

Mendengar pertanyaan ibu-ibu pengajian itu saya membatin. Alangkah mulianya hati para ibu-ibu lugu ini. Mereka sangat takut jika makan makanan yg tidak halal. Mereka sangat takut kalau mengambil sesuatu yg bukan haknya. Padahal tumbuhan yg diambil itu tidak ditanam dan seandainya diambil tidak akan merugikan empunya lahan. Dan saya tahu persis bahwa ibu yg bertanya itu adalah seorang janda yg telah meninggal suaminya. Hidupnya jauh dari berkecukupan. Pekerjaan adalah menjual sayur-sayuran dan buah-buahan dengan mengayuh Jukung (sampan/perahu kecil) mengelilingi kampung di sepanjang bantaran sungai untuk bertahan hidup. 

Lihatlah orang-orang yg terlibat korupsi di negri ini. Mereka hidup berkecukupan, bahkan lebih dari cukup. Mereka juga berpendidikan tinggi S1, S2, S3 bahkan profesor. Namun masih tidak bisa membedakan yg mana haknya dan yg mana hak orang lain. Mereka buta hatinya tetapi terang benderang matanya ketika dihadapkan dengan yg namanya fulus. Sungguh eronis.

TUHAN, SIAPAKAH AKU?

Aku terperanjat.. 
mataku melotot seolah mau keluar.. 
Darahku bergejolak.. 
Otakku seolah-olah mau keluar..
meletus melalui ubun-ubun ku. 
Segenap persendianku seakan mau lepas, tercerai berai.

Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya..
biar seluruh makhluk di alam ini mendengar suara ku.. membahana menembus angkasa. 

Aku seolah menciut sekecil-kecilnya.. 
hingga tak tampak oleh pandangan mata..
namun, aku masih ada terperangkap diantara takdir-Mu.

Aku sangat takut.. 
sehabis-habis takut.. 
Aku terseok-seok dalam ketidakpastian dan ketidakmenentuan. 

Aku dibelenggu oleh takdirku. 
Aku seolah-olah terlempar dan tercampak ke dalam kehinaan  yang sehina-hinanya. 
Aku lemah terkulai tidak berdaya, pasrah sepasrah-pasrahnya.

Oh Tuhaaan…
Mengapa Engkau ciptakan aku sebagai manusia. 
Mengapa Engkau ciptakan aku sebagai seorang yang lemah yang tidak dapat berbuat apa-apa. 
Kenapa aku harus tunduk dan patuh dengan ketentuan-Mu. 
Aku terperangkap dalam takdirku yang menjadi ketentuan-Mu. 
Kenapa tidak Kau ciptakan saja aku seperti diri-Mu. 
Kau takut tersaingi ya. 
Kalau kau tidak takut, ciptakan saja aku seperti-Mu.. 
jadikan saja aku kekal abadi sepertimu.

Tapi biarlah..
mungkin Engkau tak mau. 
Siapalah aku ini.. 
hanya sebutir pasir di tengah sahara..
Engkau ciptakan tanpa ada yang istemewa.

WAHAI PESANTREN

Wahai pesantren..

Walaupun keberadaanmu tidak diperhitungkan, tetapi kontribusimu nyata buat kehidupan.

Berabad usiamu, laksana sang tua renta yang tertatih dipersimpangan zaman.

Eksismu hari ini adalah bukti sebuah perjuangan untuk tetap hidup, menentang, menebas dan melintas roda zaman.

Tetaplah waspada memandang hiruk pikuk dan hingar bingarnya dunia.

Teruslah kau melangkah, berjalan, tak peduli sampai batas mana, sampai kelak tuhan sendiri yang menentukan.

Kami para santri yang lahir dan telah dibesarkan dari rahimmu, selalu siap dan setia merawatmu dan melestarikan tradisimu. Sebagaimana kami merawat dan mengawal 4 pilar bangsa ini; Pancasila,  UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhineka Tunggal Ika.

Kami siap berdiri di garis depan berjuang mengisi kemerdekaan dengan tetap berpegang teguh pada akidah, ajaran, nilai dan tradisi Islam, Ahlussunnah wal Jama'ah.

IBU

Ibu, Di usia senjamu tidak jua pernah pudar kasih sayangmu kepadaku.
Ibu, betapa beruntung aku masih bisa merasakan hangatnya dekapanmu.
Ibu, tangamu yang sudah keriput dan tak lagi lembut seperti dulu, ku rasa tak berubah sedikitpun hangatnya saat kau usap dan kau elus kepalaku.


Ibu, ketika ku pulang jauh dari perantauan, ketika ku pejamkan mataku, merebahkan kepalaku di pangkuanmu, dalam pejam mataku, anganku menerawang jauh kebelakang.

Betapa engkau adalah pahlawanku, merawat, membimbing, guru sejati yang mengajari benar-benar tentang arti hidup.

Walau, tak terhitung lagi berapa banyak kekecewaan yang engkau dapat karena olah anakmu ini, tiada jua memudar kasih sayangmu.

Ibu, engkau adalah pejuang sejati, apapun rela kau lakukan demi anakmu ini, tetapi apa jua yang bisa ku balas untuk semua itu, tidak ada…

Diusia senjamu, apa yang dapat aku lakukan untukmu, tidak banyak….sedikit sekali, jauh terlampau banyak pengorbananmu untukku.
Kini malah aku lebih banyak memikirkan tentang pekerjaanku, tentang keluargaku, daripada memikirkan tentang keadaanmu.
Tak terasa, mengalir air mata ini, betapa kasih sayangmu tak bisa kulukiskan dengan apa juapun. Tercekat lidah ini, kerongkongan rasanya kering, jauh di dalam dada sana, seolah ada sesuatu yang ingin membuncah seandainya tidak kusadari bahwa aku bukan anak-anak lagi.

Rabu, 20 Desember 2017

BIJAK MENYIKAPI PERBEDAAN

Perbedaan pendapat merupakan penomena yang telah ada sejak diciptakannya manusia. Bahkan antar dua orang manusiapun sudah terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan dapat terjadi dalam seluruh aspek kehidupan manusia tidak terkecuali masalah agama dan keyakinan. Perbedaan adalah keniscayaan, sedangkan persatuan adalah keharusan yang harus diwujudkan.

Keragaman dan perbedaan adalah hal yang tidak dapat dihindari, namun di saat yang sama kita sebagai manusia dituntut untuk hidup bersosial. Sebagai makhluk sosial kita harus saling bantu membantu antar sesama. Disinilah pentingnya bagi kita untuk dapat membedakan antara perbedaan dan perselisihan. Perbedaan seharusnya tidak menjadikan kita saling berselisih.

Namun perbedaan seringkali disalah-artikan. Perbedaan bahkan bisa menjadikan bencana apabila menjadi sebuah perselisihan. Bahkan hal ini bisa menjadi lebih parah apabila salah satu kelompok menganggap kelompok yang lain salah dan hanya kelompoknya saja yang benar.

Kalau kita mau berkaca kepada sahabat-sahabat besar Nabi seperti Abu Bakar, Umar bin Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, Zaid bin Tsabit ra. Memiliki pandangan yang berbeda dalam sekian masalah. Demikian juga imam-imam besar kaum muslimin seperti Imam Malik bin Anas, Muhammad bin Idris asy-Syafi'iy dll., tidak selalu sepakat dalam memahami atau menetapkan hukum satu kasus, tapi tidak menjadikan persaudaraan mereka luntur.

Perbedaan pendapat ulama masa lalu tidak menjadikan mereka saling tuding, saling mengkafirkan. Perbedaan justru bahkan menjadikan mereka saling menghormati dan mengakui kelebihan pihak lain.

PROSES DAN HASIL

Tingkat penghargaan seseorang terhadap sesuatu biasanya berhubungan erat dengan bagaimana cara dia mendapatkannya. Sering kita mendengar orang yang mengatakan: "Jangan pandang barangnya pandanglah usahanya". Pada kenyataannya juga kita sering menjumpai orang-orang yang begitu sayangnya terhadap sesuatu dan begitu berartinya sesuatu itu baginya, padahal dalam pandangan kita hal itu biasa2 saja.

Ya, begitulah hidup dan kehidupan. 

Terkadang kita hanya tertipu dan terjebak pada hasil dan lupa pada proses. Demikian juga ketika menilai kesuksesan orang lain, kita hanya terpaku pada apa yang kita lihat hari ini dan lupa dengan perjuangannya hingga bisa seperti yang kita lihat.

Penilaian seperti ini sepintas lalu terlihat tidak berinflikasi apa2, tapi sebenarnya dalam keadaan tertentu sangat membahayakan. Bisa saja karena ingin kaya orang melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Orang-orang seperti ini cenderung berpikiran pendek dan untuk mendapatkan yang ia inginkan. Jadilah segala cara ditempuh, tidak perduli lagi yang mana hak dan bukan haknya, mana yang halal dan mana yang haram semuanya diembat.

Lihat saja misalnya maraknya kejahatan, mulai dari penipuan berkedok investasi bahkan dilabeli dengan agama pula, hingga korupsi yang merugikan negara dan masyarakat bermilyar-milyar hingga tryliunan. Semuanya, sedikit banyaknya bermula karena pikiran-pikiran instan. Mau kaya tidak mau berusaha. Mau sukses tetapi pemalas, dlsb.

Di lain pihak ada orang2 yang begitu gigih, bardisiplin dan kerja keras dalam bekerja. Karena dia meyakini bahwa sesuatu itu tidak datang dengan sendirinya. Semuanya harus diusahai dengan tekun dan penuh perjuangan. Tidak ada sesuatu yang didapat dengan cara instan. Usaha, kerja keras, ketekunan, ketelitian, mutlak harus dilakukan. Sering kali tersandung, terpeleset, jatuh bangun itu adalah hal yang biasa dalam sebuah perjuangan hidup. Karena dia meyakini seberapa besar usaha yang dia lakukan seperti itulah juga yang akan ia dapatkan. Inilah orang2 yang menghargai proses dan menikmati hasil dengan rasa bangga dan bahagia.