Minggu, 03 Februari 2019

Saya, Hantu dan Kuburan


Salah satu hal yang paling saya takuti sebelum bersekolah di pesantren adalah kuburan. Kuburan bagi saya ibarat sarang hantu, tempat berkumpulnya para jin, setan dan segala hal yang menakutkan. Ketika berjalan di malam hari, tempat yang paling saya hindari adalah kuburan. Mimpi-mimpi yang paling horor bagi saya adalah tentang orang mati. Mendengar kabar tetangga meninggal saja, cukup membuat saya tidak keruan tidur semalaman.

Di ujung kampung, di desa kami, terdapat kuburan tua yang terkenal angker. Konon perilaku dan penampilan orang yang dimakamkan di kuburan itu ketika masih hidup sangat aneh dan ganjil.  Di pingang dan lehernya bergelantungan puluhan botol-botol kecil berisi berbagai minyak yang mempunyai kekuatan magis, mulai dari yang tahan terhadap senjata tajam (kebal) hingga dapat memiliki kekuatan super. Orang ini menggunakan kekuatan ilmu hitam.

Minyak-minyak itu, kami menyebutnya Untalan. Menggunakan Untalan untuk mendapatkan kesaktian, kekebalan dan sebagainya adalah hal yang lumrah di tengah masyarakat kami. Untalan adalah sejenis minyak yang dapat menjadikan orang yang menelannya menjadi sakti atau kebal.

Dalam kepercayaan masyarakat kami orang-orang yang menggunakan Untalan ini, apabila ia meninggal, jika tidak sempat dikeluarkan untalan tersebut dari dalam tubuh, maka bisa mengakibatkan orang itu mati dengan tidak wajar (mati jadi hantu). Ketidak-wajaran ini sudah terlihat tanda-tandanya sebelum si mayit dikuburkan. Ketika saat dimandikan atau ketika saat disalatkan. Puncaknya adalah pada senja hari pertama sejak ia dikuburkan. 

Menurut cerita, ketika senja tiba dari atas kuburan tua di ujung kampung kami itu keluar asap berwarna kekuningan. Itu adalah pertanda sang hantu akan keluar dari peraduannya. Karenanya saat senja hari yang berwarna kekuningan --terjadi sebelum atau sehabis hujan, kami dilarang keras keluar rumah, karena dipercaya iblis dan hantu berkeliaran saat itu.

Hari-hari pertama kematian, konon si hantu jadi-jadian akan menemui kerabat dekatnya. Di senja hari ia akan mengetuk pintu, dan memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang mengerikan. Ia datang seolah ingin mengabarkan kepada kerabat tentang keadaan dirinya kini. Ia tidak akan beranjak dari rumah itu sampai kerabat atau keluarga yang didatangi mengatkan: "Sudah, saya sudah melihat kamu, jangan kembali lagi ke sini." Biasanya bila sudah mendengar itu ia akan menghilang dengan sendirinya dan tidak akan pernah kembali lagi.

Urang tua kami biasanya, menakut-nakuti kami dengan menyebut hantu si makam tua yang ada di ujung kampung itu. Tidak perduli siang atau malam, kami sangat takut ketika melewati makam itu. Ketakutan saya rupanya tidak hanya kepada makam tua itu, bahkan semua makam. Ketika sendirian melewati kuburan imajinasi tentang hantu berseleweran di kepala saya. Hingga mimpi-mimpi horor saya adalah tentang kuburan dan orang mati.

Ketika berada di pesantren, ada hal yang berbeda dalam persepsi saya tentang kuburan. Kuburan setidaknya tidak menakutkan seperti ketika masih berada di kampung. Di pesantren, tepatnya dibagian kiri setelah masuk pintu gerbang kedua, terdapat makam pendiri pesantren. Setiap subuh Jumat kami diajak berziarah ke makam beliau, atau, kalau tidak, dilakukan secara bergiliran. Beberapa asrama kena giliran subuh Jumat ini, beberapa asrama lainnya subuh Jumat berikutnya, begitu terus berputar. Di beberapa kesempatan saya berziarah sendiri di luar jadwal yang telah ditentukan ke makam mu'allim kami ini.

Selain berbeziarah ke makam pendiri pesantren, sehabis salat Jumat saya sering mampir berziarah ke makam orang alim di luar komplek. Di sini beberapa santri sering saya dapati juga berziarah seperti saya. Rasa-rasanya sejak inilah mulai tumbuh kecintaan berziarah di dalam diri saya. Bagi saya berziarah selain membaca Alquran, Tahlil dan berzikir adalah berdo'a. Berdo'a tidak hanya untuk orang yang diziarahi, tetapi juga berdo'a untuk diri sendiri, orang tua dan keluarga-keluarga saya.

Berdo'a di kubur orang-orang alim serasa lebih husuk di banding tempat-tempat lainnya. Di sini kuburan dibikin nyaman, sehingga orang-orang yang berziarah dapat betah berada di dalamnya. Beda sekali ketika masih di kampung dahulu, kuburan terletak di ujung kampung, berada di bawah pohon besar atau di dekat pohon bambu yang rimbun, gelap, penuh semak belukar, terkadang berada di rawa dan bernyamuk. Sehingga berada dikuburan bisa memancing imajinasi-imajinasi horor.

Begitulah, sampai saat ini berziarah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan saya, sekalipun tidak sesering dahulu. Pada beberapa kesempatan ketika berjalan-jalan bersama keluarga ke beberapa daerah di Kalimantan Selatan ataupun ke luar daerah lainnya, kami selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke makam orang-orang alim, sekedar berdo'a ataupun mengharap berkah.

Begitupun pula ketika pulang kampung halaman, selain berkunjung ke keluarga yang masih hidup, kami juga berziarah ke kuburan keluarga yang telah meninggal dunia, mendahului kami.[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar