Minggu, 15 September 2019
Santri, Kitab Kuning dan Keberkahan
Dimanakah Anda mengenal pertama kali kitab kuning? Mungkin sebagian besar akan menjawab ketika berada di pesantren. Ya, kitab kuning dan pesantren memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan, selain dari beberapa unsur lainnya, seperti asrama/pondok, Kiyai, santri dan masjid/mushalla sebagai pusat kegiatan ibadah, pembelajaran, maupun kegiatan keagamaan lainnya.
Kitab kuning atau kitab klasik (al-kutub al-shafra' atau al-kutub al-qadimah) dikalangan pesantren dikenal dengan ‘kitab gundul’ karena tidak menggunakan baris atau harokat. Sebagai seorang santri menenteng kitab kuning ketika berangkat ke kelas atau ke pengajian merupakan kebanggaan tersendiri. Wajar saja, karena kitab kuning merupakan elan vital yang menjadi ciri khas dalam tradisi akademik pesantren.
Kitab kuning sangat dihormati, ia dijadikan sebagai acuan berfikir dan bertingkah laku dikalangan santri di pesantren dan dianggap paling absah. Kitab kuning juga dianggap sakral, ia diletakkan ditempat yang tinggi, dibawa dengan diletakkan di atas dada, dicium setelah dibaca, hal ini karena kitab kuning ditulis oleh ulama dengan kualifikasi ganda, keilmuan yang tinggi dan hati yang disinari cahaya Ilahi. Karena itulah menghormati orang yang berilmu dan memuliakan karya-karya mereka adalah hal yang diharuskan dalam dunia pesantren.
Mengkoleksi kitab kuning, menyusunnya berjejer dengan rapi dan memajangnya di rak pribadi apalagi cetakan Beirut, bagi santri atau mereka yang pernah bersekolah di pesantren adalah pemandangan yg sering kita lihat. Selain mengharap berkah, barangkali ini adalah semacam pengukuhan identitas diri di masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional dan religius.
Tahun pertama berada di pesantren, kami belum diwajibkan mempelajari kitab kuning. Tahun pertama adalah kelas persiapan (tajhiziyah) sebelum memasuki jenjang Wustha (tingkat menengah). Melihat para santri pada tingkat yang lebih tinggi, menenteng kitab yang besar-besar ketika berangkat maupun pulang belajar membuat kami yang baru berada ditingkat awal ini merasa ngiri. Betapa keren dan gagahnya mereka dalam pandangan kami sebagai santri baru. Rasanya tidak sabar inggin naik tingkat kelas supaya bisa juga menenteng kitab-kitab itu seperti mereka. Padahal saat itu belum terpikirkan apakah kami dapat membaca kitab-kitab itu nantinya.
Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa, mereka yang bersekolah di pesantren semuanya pasti bisa membaca kitab kuning. Kenyataannya tidak. Selama enam atau tujuh tahun sekolah di pesantren tidak menjamin santri bisa dengan mudah membaca kitab kuning. Tanpa memahami dan menguasai ilmu-ilmu alat, seperti Nahwu, shoraf, ditambah dengan perbendaharaan kosa kata bahasa Arab yang memadai, dijamin orang tidak akan bisa dengan mudah membaca kitab kuning.
Ilmu Nahwu selain hapalan titik tekannya adalah pada pemahaman. Ilmu shoraf juga pemahaman tapi titik tekannya pada hapalan, demikian juga bahasa, harus banyak-bayak hafal kosa kata, flus sering-sering latihan. Dengan menguasai ketiga disiplin ilmu inilah seorang santri kelak dapat membaca dan memahami kitab kuning. Untuk mendapatkan kemampuan dan pemahaman yang lebih bagus lagi para santri harus menambah lagi dengan pengetahuan pendukungya, yaitu; ilmu Mantiq dan Balaghah.
Begitulah, perlu bertahun-tahun bagi santri untuk dapat membaca dan memahami kitab kuning, itupun mesti harus dibarengi dengan kerja keras dan ketekunan yang mendalam. Karena itulah tidak jarang kita temui --artinya masih banyak-- santri yang relatif lama bersekolah di pesantren, namun penguasaannya dalam membaca dan memahami kitab kuning masih lemah.
Karena itulah guru-guru selalu menasehati kepada kami para santrinya agar senantiasa belajar dan terus mutalaah kalau benar-benar ingin bisa membaca dan memahami kitab kuning dengan baik. Jangan sampai seperti Alquran karam (bahasa Banjar, untuk menyebutkan Alquran yang sudah lusuh yang halamannya sebagian sudah tidak lengkap lagi). Dibaca kada kawa (dibaca tidak bisa, karena sebagian halamannya sudah hilang), dibuang mangatulahani (dibuang bisa bikin kualat). Artinya santri yang memilki ilmu yang tanggung hampir-hampir tidak ada gunanya di masyarakat nanti apabila sudah selesai di pesantren.
Namun, kata guru lagi, senakal-nakalnya orang yang pernah bersekolah di pesantren, masih ada batasannya. Maksudnya walaupun ia nakal, suatu saat dia pasti akan bertaubat dan akan menjadi orang baik. Begitulah cara guru-guru kami mendidik kami, do’a mereka selalu menyertai walau bagaimanapun keadaaan para santrinya, mereka tetap dido’akan supaya mereka mendapat keberkahan dalam hidupnya kelak.
Kami dan Kecintaan terhadap Tanah Air
Tentara Sekutu memasuki kota Bandung bulan Oktober 1945, para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang dalam pergulatan untuk melaksanakan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari tangan tentara Jepang.
Tentara Sekutu menuntut supaya senjata-senjata yang diperoleh dari hasil pelucutan tentara Jepang dan berada di tangan para pemuda, diserahkan kepada Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama, agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga keamanan.
Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Republik, sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan-pasukan Sekutu. Batas kota bagian utara dan bagian selatan adalah rel kereta api yang melintasi kota Bandung.
Untuk kedua kalinya pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. Kali ini supaya TRI mengosongkan seluruh kota Bandung.
Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung, tetapi sementara itu dari markas TRI di Yogyakarta datang intruksi lain, yaitu supaya kota Bandung tidak dikosongkan.
Akhirnya TRI di Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung pejuang-pejuang Republik melancarkan serangan umum ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu dan membumi hangus kota Bandung Selatan.
Jadilah kota Bandung bagian selatan dibakar menjadi lautan api oleh para pejuang sebelum meninggalkan kota Bandung pada tanggal 23 Maret 1946. Peristiwa ini dikenal sebagai “Bandung lautan api”. Oleh seniman terkenal Ismail Marzuki diabadikan dengan suatu mars perjuangan yang sangat terkenal, ‘Halo-Halo Bandung”.
Halo, Halo Bandung,
Ibukota Pariangan,
Halo, Halo Bandung,
Kota kenang-kenangan.
Sudah lama beta,
Tidak bejumpa dengan kau,
Sekarang telah menjadi lautan api,
Mari Bung rebut kembali.
Ketika masih sekolah dasar kami dengan semagat kami menghapal lagu-lagi wajib yang di ajarkan di sekolah. Lagu-lagu perjuangan kami nyanyikan dengan penuh semangat, temasuk mars Halo, halo Bandung ini.
Masalahnya, kami anak-anak Kalimantan yang sebagian besar dari suku Dayak dan Banjar tidak mengenal istilah 'beta' atau 'bung'. Jadilah ketika menyanyikan bait terakhir lagu Halo, Halo Bandung yang mestinya: "Mari Bung rebut kembali", malah terpeleset menjadi berbunyi: "Maribung ribut kembali..." Dengan peninggikan pada bunyi bung dan but..nya.
Sebenarnya bukan itu saja lagu-lagu perjuangan yang kami sering terpeleset dalam penyebutnya, misalnya lagu Garuda Pancasila, pada bait: "Pribadi Bangsaku" alih-alih menyebutnya "pribadi bangsaku, kami justeru menyebutnya dengan: "Ribang-ribang satu..." Masih lagu yang sama, yang seharusnya dinyanyikan dengan: "Akulah pendukungmu", kami justeru menyanyikan dengan: "Akulah panduku muu.."
Sekalipun kadang tersalah menyebut dalam menyanyikan, tapi tidak mengurangi semangat kami untuk mencintai negeri ini. Kami selalu bersemangat menyanyikannya dalam setiap kesempatan, walaupun ketika itu kami belum tahu bahwa Ibukota negara akan dipindahkan ke Kalimantan...
Kamis, 20 Juni 2019
Sarung, Identitas Kaum Santri
Beberapa kurun dahulu, kaum santri terkenal ndeso, lugu,
jorok, serta seabrek predikat miring yang ditujukan kepada mereka. Santri juga
identik dengan kaum Islam tradisional atau kaum sarungan, dan pemakai sandal
jepit. Wajar, karena banyak santri yang memiliki latar belakang ekonomi
menengah ke bawah, meskipun para santri juga ada yang berasal dari kalangan
menengah ke atas.
Tetapi di balik anggapan miring yang ditujukan kepada kaum
sarungan ini, banyak nilai-nilai positif yang bisa diteladani, seperti: kehidupannya
yang sederhana, keimanan yang kokoh, serta cintanya terhadap tanah air yang tak
pernah lekang.
Suatu ketika K.H. Hasyim Muzadi pernah berujar tentang
santri dan perihal kebiasaan bersarung mereka. Begini: “Ini lomba selawatan di
Surabaya. Yang menang ternyata anak-anak Muhammadiyah. Mereka pakai piano,
pakai jas, dasi. Lah, anak-anak NU pakai sarung; gak tahu, pakai celana dalam
apa tidak!?.”
Terlepas dari pakai celana dalam atau tidak, sarung memang
lekat dengan kaum yang satu ini. Bahkan salah satu gelar yang diberikan kepada
mereka adalah 'kaum sarungan.' Kalau masih penasaran, Anda bisa melakukan
survei kepada beberapa santri apakah pakai dalaman atau tidak. Yang penting
pakai sarung itu bikin sejuk, adem dan tidak gerah...hahaha..
Pertama-tama masuk ke pesantren mengenakan sarung memang
susah-susah gampang. Selain susah rapinya, bundelannya juga besar-besar.
Jadinya malah tidak praktis, susah kalau mau berkegiatan. Namun itu tidak
berjalan lama. Tidak sampai satu bulan memondok para santri sudah mahir
menggunakan pakaian khas masyarakat muslim Indonesia ini.
Selagi masih di pesantren atau pun ketika sudah pulang ke
rumah, mereka tetap betah menggunaakan sarung. Santri tidak canggung lomba lari
hingga main sepak bola menggunakan sarung. Kalau pertama kali menggunakan
sarung dikatakan tidak praktis, ribet dan sebagainya, justeru lama kelamaan
menjadi ketagihan dan dianggap lebih praktis daripada pakai celana. Soalnnya kalau mau cepet-cepet dan tergesa-gesa mau buang
air atau yang lainnya tinggal buka saja, urusan selesai.
Pada masa penjajahan sarung identik dengan perjuangan
melawan kolonial serta budaya yang mereka bawa. Busana ini melekat sebagai
identitas kaum santri yang pada waktu itu menjadi simpul gerakan rakyat di akar
rumput. Bagi para santri, sarung adalah identitas diri yang membedakan mereka
dari kaum abangan yang komitmennya terhadap kemerdekaan cenderung tidak stabil.
Tidak sedikit dari kaum abangan ini yang begitu mengagumi dan meniru budaya
kolonial, sehinggan nasionalisme mereka diragukan.
Setelah kemerdekaan, kesetiaan para santri terhadap sarung
tidak pernah lekang, malah sarung dijadikan sebagai symbol kebudayaan bangsa
yang otentik. Tidak sulit untuk mendapatkan contoh tentang ini. Adalah seorang
tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Abdul Wahab Chasbullah suatu ketika pernah
diundang oleh presiden Soekarno. Protokol kepresidenan meminta beliau untuk
berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara resmi
kenegaraan itu, beliau malah datang dengan menggunakan sarung. Padalah pada
acara-acara resmi seperti itu, biasanya orang datang memakai jas lengkap dan
memakai celana.
Sebagai seorang pejuang yang sering berperang melawan
penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Wahab tetap konsisten menggunakan sarung
sebagai simbol oposisi terhadap budaya Barat. Beliau ingin menunjukkan martabat
bangsanya di hadapan siapa saja, termasuk di hadapan penguasa negerinya, dan
generasi penerus selanjutnya.
Sekarang, setelah jauh berlalu, sarung sudah menjadi busana
nasional yang marak dekenakan oleh hampir semua kalangan, mulai dari presiden
hingga rakyat jelata. Karena sarung yang telah menjadi busana khas Nusantara
ini benar-benar sangat simple, praktis.
Seorang santri sangat bangga memakainya. Kelak setelah
menjadi orang ternama seperti; presiden, menteri, dubes, gubernur, walikota,
bupati, hakim, tentara, polisi, dokter, dosen, atau yang lainnya, sarung tetap
setia menemani mereka, dan menjadi busana yang menyenangkan dan tidak akan
ditinggalkan.
Saat ini banyak para santri yang melanjutkan menuntut ilmu
ke luar negeri, terutama negara-negara Arab (Timur Tangah), seperti di Mekah, Madinah, Yaman,
Syiria, Lebanon yang selalu memakai pakaian khas Arab; gamis atau jubbah.
Tetapi mereka tidak pernah meninggalkan sarung, malah justeru mengawinkannya.
Mereka memakai gamis dan jubbah, tetapi dalamannya memakai sarung.[]
Wirid dan Kaum Sarungan
Sumber Photo: NU Online
Wiridan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan
santri di pesanren. Bahkan wirid bisa dikatakan sebagai ruh nya pesantren.
Dimanapun santri berada, mesti tidak lepas dari wiridan. Kumpulan wiridan ini
disebut dengan awrad. Makna wirid sendiri berarti sesuatu yang di ulang-ulang.
Dalam pengertian yang lebih luas, wirid adalah amalan yang dikerjakan secara
tetap dan tertib. Wirid juga dapat berupa ibadah secara tertib termasuk zikir
yang dikerjakan terus menerus, tidak pernah ditinggalkan.
Beberapa wirid dibaca sebelum dan sesudah sholat lima waktu.
Beberapa lagi berdasarkan waktu, misalnya dibaca di pagi hari atau di sore
hari. Di pesantren kami, wirid biasanya dibaca bersama-sama dan sebagian lagi
dibaca sendiri.
Pada santri pemula pembacaan wirid dijaga dan kontrol dengan
ketat. Mereka diwajibkan memegang buku kecil kumpulan wirid yang sudah disusun
terlebih dahulu, yakni amalan harian. Pengontrolan ini dimaksudkan agar para
santri betul-betul fokus membaca dan melafalkan secara benar untuk kemudian
menghafalkannya. Pada kegiatan tertentu sejumlah wirid diperlombakan untuk memotivasi
para santri agar lebih bersemangat menghafalkannya.
Jamaknya, wirid berisi ayat-ayat Aquran, shalawat, zikir,
nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), do'a-do'a dan lain-lain. Tetapi di
pesantren, kitab-kitab, seperti matan Jurumiyyah, Alfiyah dan kitab matan
lainnya bisa menjadi wiridan. Wirid dijadikan sebagai teknik untuk menghapal
kitab-kitab matan. Atau, bisa juga, difungsikan untuk mendaras sebelum atau
sesudah menghafalkan.
Begitu pentingnya wirid, di pesantren beredar sebuah ungkapan yang
berbunyi: "man laisa lahu al-wirdu fahua al-qirdu" (barang siapa
yang tidak mau berwirid maka dia sama dengan binatang kera). Entah bagaimana
caranya menghubungkan antara orang yang tidak suka berwirid dengan binatang
kera, sampai sekarang bagi saya masih belum jelas. Mungkin saja, orang yang
tidak berwirid, prilakunya dianggap seperti binatang kera yang culas, rakus dan
tetap jail, sekalipun telah diberi makan banyak oleh pemiliknya.
Setelah selesai sholat lima waktu, orang harus berwirid terlebih
dulu, yang sebagian isinya adalah ayat-ayat Alquran, zikir dan puji-pujian
kepada Allah. Mereka yang langsung berdo'a setelah sholat dianggap sebagai
orang yang kurang beradab. Dan sebagai seorang santri, adab harus dipegang di
atas segalanya, sebuah ungkapan berbunya; "man laisa lahu al-adab fahua
al-dhab" (orang yang tidak punya adab maka dia seperti binatang dhab
--sejenis biawak).
Sebagai seorang yang sejak kecil hidup di lingkungan yang kental
dengan kultur NU kemudian bersekolah di pesantren, ketika suatu saat dihadapkan
dengan kultur yang berbeda, tentu ada semacam keanehan yang
menghinggapi dipikiran dan perasaan. Setidaknya perasaan itu muncul saat
pertama kali. Misalnya dilingkungan Muhammadiyah setelah selesai sholat orang
tidak berwirid secara berjamaah, tapi masing-masing. Atau hal-hal lainnya yang
berbeda seperti qunut pada sholat subuh, rakaat dan ritual
sholat Tarawih dan lain-lain.
Sebagian kaum santri yang agak fanatik, mungkin
akan memilih dulu masjid sebelum melaksanakan sholat jum'at atau tarawih karena
permasalahan wirid ini. []
Tak Ada Sistem Zonasi di Pesantren
Yang agak ribet di pesantren setiap awal tahun ajaran baru adalah mengurusin santri baru. Salah satunya minta pulang, karena tidak betah atau belum kerasan, baik oleh anaknya maupun orang tuanya.
Suatu pagi seorang santri yang belum genap dua hari berada di pesantren mengetuk pintu rumah saya. Setelah saya membuka pintu, nampaklah sosok seorang santri dengan mata sembab, terisak-isak sambil menangis.
Saya: "Ada apa? Kok menangis?"
Santri: "Ijinkan saya pulang, sebentaaar saja ustadz."
Saya: "Kan kemaren sudah disampaikan bahwa santri tidak dibolehkan pulang kecuali, setelah tiga bulan dahulu di pondok".
Tetiba si Santri berjongkok, setengah tiarap dia memohon-mohon dengan menangis sekeras-kerasnya.
"Ustaaaaad....saya mau pulang, saya mau pulaaang."
Sontak saja tetangga kanan kiri terkejut dibuatnya. Mereka kompak menanyakan: Apakah itu santri baru? Setelah saya mengiyakan, mereka memakluminya, sambil menutup tangan ke mulut kerena menahan tawa, mereka berpaling lagi ke dalam rumah.
Akhirnya dengan beberapa nasihat si Santri bersedia untuk tidak pulang dahulu dan kembali ke asramanya dengan masih terisak setelah menangis keras.
Kurang lebih seminggu setelah kejadian itu, saya masuk kelas di mana si Santri berada. Saya melihat raut mukanya sudah jauh berbeda dari seminggu yang lalu. Terlihat lebih ceria. Saya tanyakan apakah masih ingin pulang ke rumah. Dia menjawab: Tidak ingin lagi, karena sudah merasa betah.
Tahun ini anak itu telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren dengan beberapa prestasi, termasuk dalam bidang Bahasa Inggris.
Bagi orang tua yang tidak terlalu senang dengan sistem zonasi yang diterapkan oleh sekolah-sekolah saat ini, bisa memasukkan anaknya ke pesantren, karena di pesantren sistem itu tidak berlaku. Dengan syarat, siap-siap orang tua dan anaknya membendung air mata, menahan tangis...
Minggu, 03 Februari 2019
Fenomena Ziarah
Ziarah kubur adalah bagian
terpenting dalam tradisi keberagamaan kaum santri, baik ketika masih berada di
pesantren maupun ketika sudah berada di luar pesantren. Secara bahasa ziarah
berarti mengunjungi, dengan makna yang umum. Bila kita tambahkan kata
dibelakangnya "ziarah kubur", berarti "mengunjungi kuburan".
Lazimnya ziarah kubur berarti datang ke kubur orang yang telah meninggal dengan
tujuan mendo'akan agar mendapat ampunan dan terhindar dari azab 'alam
barzakh (alam kubur).
Kaum santri, paling tidak,
membagi ziarah kepada dua bagian; pertama kepada
orang biasa, seperti teman, keluarga, atau orang tua yang telah meniggal dunia.
Ziarah kepada teman atau keluarga biasanya bertujuan untuk mendoakan agar orang
yang diziarahi mendapat ampunan dari Allah atas dosa-dosanya selama hidup di
dunia. Demikian juga ziarah kepada kedua orang tua.
Kedua,
ziarah kepada orang-orang shalih, ulama dan para wali. Bagi santri, ziarah
kepada orang-orang ini tidaklah bertujuan untuk mendoakan agar diampuni
dosa-dosa mereka. Bagi mereka para wali, orang shalih dan alim adalah
orang-orang yang terpelihara dari dosa. Alih-alih mendoakan, malah justeru kita
yang minta barokah kepada mereka agar diberikan petunjuk oleh Allah dalam
mengarungi kehidupan.
Makam para wali dan
orang-orang alim ini selalu ramai dikunjungi sepanjang waktu, yang sebagian
besar terdiri dari kaum santri. Di sinilah mereka bermunajat, memohon kepada
Allah agar dikabulkan hajat dan dimudahkan segala urusan. Bagi sebagian lagi,
ziarah dijadikan sebagai sarana untuk bertafakur, merefleksi diri, serta
melembutkan hati dengan mengingat mati.
Wisata Ziarah
Beberapa tahun belakangan
terjadi penomena baru soal ziarah ini. Ziarah tidak melulu soal akhirat, sakral
dan tidak ada hubungannya dengan keduniaan. Orang-orang menjadikan ziarah
selain untuk berdoa juga sekaligus untuk bewisata. Penomena ini dikenal juga
dengan wisata relijius. Selain beribadah dalam rangka berziarah kepada para
wali --daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan, menyebutnya ziarah
kepada para datu-- sekaligus juga dijadikan sebagai wahana untuk berekreasi.
Bagi beberapa daerah ziarah kubur justeru dijadikan sebagai alternatif
pengembangan tradisi yang bermanfaat secara sosial dan ekonomi.
Yang kita khawatirkan adalah
bahwa akan terjadi pendangkalan (kehilangan) makna yang sesungguhnya dari
ziarah itu sendiri. Orang bisa saja lupa bahwa tujuan berziarah adalah sebagai
sarana untuk bertafakur, merefleksin diri, melembutkan hati dengan mengingat
kepada kematian.
Karena itu beberapa tokoh
berkelakar soal penomena ini. Kalau orang dari hulu sungai berziarah kepada
para datu, nanti perjalanan terakhirnya ditutup berziarah kepada datu mall.
(pelesetan dari sebuah tempat perbelanjaan terbesar di Kalimantan Selatan; Duta
Mall). Jangan-jangan selama perjalanan ziarah itu orang berfikir yang utama
adalah ke tempat perbelanjaannya, bukan ziarah kepada para wali dan datu tadi.
Demikian juga ketika ziarah
ke pulau Jawa, orang-orang ziarah mulai dari Jawa Timur di Surabaya dengan
perjalanan panjang berziarah kepada wali-wali, terutama sembilan wali. Nanti
terakhirnya ditutup ziarah ke Tugu Monomen Nasional (Monas) di Jakarta dan
tempat perbelanjaan Pasar Tanah Abang, misalnya.[]
Saya, Hantu dan Kuburan
Salah satu hal yang paling saya takuti sebelum bersekolah di
pesantren adalah kuburan. Kuburan bagi saya ibarat sarang hantu, tempat
berkumpulnya para jin, setan dan segala hal yang menakutkan. Ketika berjalan di
malam hari, tempat yang paling saya hindari adalah kuburan. Mimpi-mimpi yang
paling horor bagi saya adalah tentang orang mati. Mendengar kabar tetangga
meninggal saja, cukup membuat saya tidak keruan tidur semalaman.
Di ujung kampung, di desa kami, terdapat kuburan tua yang
terkenal angker. Konon perilaku dan penampilan orang yang dimakamkan di kuburan
itu ketika masih hidup sangat aneh dan ganjil.
Di pingang dan lehernya bergelantungan puluhan botol-botol kecil berisi
berbagai minyak yang mempunyai kekuatan magis, mulai dari yang tahan terhadap senjata
tajam (kebal) hingga dapat memiliki kekuatan super. Orang ini menggunakan
kekuatan ilmu hitam.
Minyak-minyak itu, kami menyebutnya Untalan.
Menggunakan Untalan untuk mendapatkan kesaktian, kekebalan dan
sebagainya adalah hal yang lumrah di tengah masyarakat kami. Untalan
adalah sejenis minyak yang dapat menjadikan orang yang menelannya menjadi sakti
atau kebal.
Dalam kepercayaan masyarakat kami orang-orang yang
menggunakan Untalan ini, apabila ia meninggal, jika tidak sempat
dikeluarkan untalan tersebut dari dalam tubuh, maka bisa mengakibatkan
orang itu mati dengan tidak wajar (mati jadi hantu). Ketidak-wajaran ini sudah
terlihat tanda-tandanya sebelum si mayit dikuburkan. Ketika saat dimandikan
atau ketika saat disalatkan. Puncaknya adalah pada senja hari pertama sejak ia
dikuburkan.
Menurut cerita, ketika senja tiba dari atas kuburan tua di ujung kampung kami
itu keluar asap berwarna kekuningan. Itu adalah pertanda sang hantu akan
keluar dari peraduannya. Karenanya saat senja hari yang berwarna
kekuningan --terjadi sebelum atau sehabis hujan, kami dilarang keras
keluar rumah, karena dipercaya iblis dan hantu berkeliaran saat itu.
Hari-hari pertama kematian, konon si hantu jadi-jadian akan
menemui kerabat dekatnya. Di senja hari ia akan mengetuk pintu, dan memperlihatkan
dirinya dalam bentuk yang mengerikan. Ia datang seolah ingin mengabarkan kepada
kerabat tentang keadaan dirinya kini. Ia tidak akan beranjak dari rumah itu
sampai kerabat atau keluarga yang didatangi mengatkan: "Sudah, saya sudah
melihat kamu, jangan kembali lagi ke sini." Biasanya bila sudah mendengar
itu ia akan menghilang dengan sendirinya dan tidak akan pernah kembali lagi.
Urang tua kami biasanya, menakut-nakuti kami dengan menyebut
hantu si makam tua yang ada di ujung kampung itu. Tidak perduli siang atau malam, kami sangat takut ketika melewati makam itu. Ketakutan saya rupanya tidak hanya
kepada makam tua itu, bahkan semua makam. Ketika sendirian melewati kuburan
imajinasi tentang hantu berseleweran di kepala saya. Hingga mimpi-mimpi horor
saya adalah tentang kuburan dan orang mati.
Ketika berada di pesantren, ada hal yang berbeda dalam
persepsi saya tentang kuburan. Kuburan setidaknya tidak menakutkan seperti ketika
masih berada di kampung. Di pesantren, tepatnya dibagian kiri setelah masuk
pintu gerbang kedua, terdapat makam pendiri pesantren. Setiap subuh Jumat kami
diajak berziarah ke makam beliau, atau, kalau tidak, dilakukan secara
bergiliran. Beberapa asrama kena giliran subuh Jumat ini, beberapa asrama lainnya
subuh Jumat berikutnya, begitu terus berputar. Di beberapa kesempatan saya
berziarah sendiri di luar jadwal yang telah ditentukan ke makam mu'allim kami
ini.
Selain berbeziarah ke makam pendiri pesantren, sehabis
salat Jumat saya sering mampir berziarah ke makam orang alim di luar komplek.
Di sini beberapa santri sering saya dapati juga berziarah seperti saya.
Rasa-rasanya sejak inilah mulai tumbuh kecintaan berziarah di dalam diri
saya. Bagi saya berziarah selain membaca Alquran, Tahlil dan berzikir adalah
berdo'a. Berdo'a tidak hanya untuk orang yang diziarahi, tetapi juga berdo'a
untuk diri sendiri, orang tua dan keluarga-keluarga saya.
Berdo'a di kubur orang-orang alim serasa lebih husuk di
banding tempat-tempat lainnya. Di sini kuburan dibikin nyaman, sehingga
orang-orang yang berziarah dapat betah berada di dalamnya. Beda sekali ketika
masih di kampung dahulu, kuburan terletak di ujung kampung, berada di bawah
pohon besar atau di dekat pohon bambu yang rimbun, gelap, penuh semak belukar,
terkadang berada di rawa dan bernyamuk. Sehingga berada dikuburan bisa
memancing imajinasi-imajinasi horor.
Begitulah, sampai saat ini berziarah merupakan bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan saya, sekalipun tidak sesering dahulu.
Pada beberapa kesempatan ketika berjalan-jalan bersama keluarga ke beberapa
daerah di Kalimantan Selatan ataupun ke luar daerah lainnya, kami selalu
menyempatkan diri untuk berziarah ke makam orang-orang alim, sekedar berdo'a
ataupun mengharap berkah.
Begitupun pula ketika pulang kampung halaman, selain
berkunjung ke keluarga yang masih hidup, kami juga berziarah ke kuburan
keluarga yang telah meninggal dunia, mendahului kami.[]
Langganan:
Postingan (Atom)
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Epistemologi disebut juga dengan filsafat ilmu, merupakan cabang filsafat yang mempelaja...
-
PROFIL PONDOK PESANTREN AL FALAH BANJARBARU KALIMANTAN SELATAN 1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Al Falah Pondok Pesantren...
-
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Periode Pranatal merupakan periode pertama dalam rentang kehidupan manusia dan merupakan...
-
Deskripsi diri adalah hal yang wajib dilakukan oleh seorang dosen (DIY) ketika mengajukan sertifikasi. Berikut adalah contoh deskripsi diri ...
-
Oleh: Muhamad Ramli, M.Pd. [1] ABSTRAK Al Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang di dalamnya terkandung berbagai macam ilmu pe...
-
S alah satu hal yang paling saya takuti sebelum bersekolah di pesantren adalah kuburan. Kuburan bagi saya ibarat sarang hantu, tempat b...
-
Photo: Eksklusif Mungkin sebagian kita berpandangan bahwa belajar hanya ketika berada di bangku sekolah, ketika sudah tidak bersek...
-
Jihad Zaman Now Photo: Eksklusif B agaimana cara mengartikan jihad di zaman now? Sehingga tidak tersalah mengartikan jihad ha...
-
بَابُ الْكَلَامِ أرتى كلام اَلْكَلَامُ هُوَ اْللَفْظُ الْمُرَكَّبُ الْمُفِيْدُ بِاْلوَضْعِ كَلَامْ (كَلِمَةْ), ايت اد...