Minggu, 15 September 2019

Kami dan Kecintaan terhadap Tanah Air






Tentara Sekutu memasuki kota Bandung bulan Oktober 1945, para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang dalam pergulatan untuk melaksanakan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari tangan tentara Jepang.

Tentara Sekutu menuntut supaya senjata-senjata yang diperoleh dari hasil pelucutan tentara Jepang dan berada di tangan para pemuda, diserahkan kepada Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama, agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga keamanan.

Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Republik, sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan-pasukan Sekutu. Batas kota bagian utara dan bagian selatan adalah rel kereta api yang melintasi kota Bandung.

Untuk kedua kalinya pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. Kali ini supaya TRI mengosongkan seluruh kota Bandung.
Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung, tetapi sementara itu dari markas TRI di Yogyakarta datang intruksi lain, yaitu supaya kota Bandung tidak dikosongkan.

Akhirnya TRI di Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung pejuang-pejuang Republik melancarkan serangan umum ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu dan membumi hangus kota Bandung Selatan.

Jadilah kota Bandung bagian selatan dibakar menjadi lautan api oleh para pejuang sebelum meninggalkan kota Bandung pada tanggal 23 Maret 1946. Peristiwa ini dikenal sebagai “Bandung lautan api”. Oleh seniman terkenal Ismail Marzuki diabadikan dengan suatu mars perjuangan yang sangat terkenal, ‘Halo-Halo Bandung”.

Halo, Halo Bandung,
Ibukota Pariangan,
Halo, Halo Bandung,
Kota kenang-kenangan.

Sudah lama beta,
Tidak bejumpa dengan kau,
Sekarang telah menjadi lautan api,
Mari Bung rebut kembali.

Ketika masih sekolah dasar kami dengan semagat kami menghapal lagu-lagi wajib yang di ajarkan di sekolah. Lagu-lagu perjuangan kami nyanyikan dengan penuh semangat, temasuk mars Halo, halo Bandung ini.

Masalahnya, kami anak-anak Kalimantan yang sebagian besar dari suku Dayak dan Banjar tidak mengenal istilah 'beta' atau 'bung'. Jadilah ketika menyanyikan bait terakhir lagu Halo, Halo Bandung yang mestinya: "Mari Bung rebut kembali", malah terpeleset menjadi berbunyi: "Maribung ribut kembali..." Dengan peninggikan pada bunyi bung dan but..nya.

Sebenarnya bukan itu saja lagu-lagu perjuangan yang kami sering terpeleset dalam penyebutnya, misalnya lagu Garuda Pancasila, pada bait: "Pribadi Bangsaku" alih-alih menyebutnya "pribadi bangsaku, kami justeru menyebutnya dengan: "Ribang-ribang satu..." Masih lagu yang sama, yang seharusnya dinyanyikan dengan: "Akulah pendukungmu", kami justeru menyanyikan dengan: "Akulah panduku muu.."

Sekalipun kadang tersalah menyebut dalam menyanyikan, tapi tidak mengurangi semangat kami untuk mencintai negeri ini. Kami selalu bersemangat menyanyikannya dalam setiap kesempatan, walaupun ketika itu kami belum tahu bahwa Ibukota negara akan dipindahkan ke Kalimantan...





Tidak ada komentar:

Posting Komentar