Kamis, 20 Juni 2019

Wirid dan Kaum Sarungan



Sumber Photo: NU Online



Wiridan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan santri di pesanren. Bahkan wirid bisa dikatakan sebagai ruh nya pesantren. Dimanapun santri berada, mesti tidak lepas dari wiridan. Kumpulan wiridan ini disebut dengan awrad. Makna wirid sendiri berarti sesuatu yang di ulang-ulang. Dalam pengertian yang lebih luas, wirid adalah amalan yang dikerjakan secara tetap dan tertib. Wirid juga dapat berupa ibadah secara tertib termasuk zikir yang dikerjakan terus menerus, tidak pernah ditinggalkan.

Beberapa wirid dibaca sebelum dan sesudah sholat lima waktu. Beberapa lagi berdasarkan waktu, misalnya dibaca di pagi hari atau di sore hari. Di pesantren kami, wirid biasanya dibaca bersama-sama dan sebagian lagi dibaca sendiri. 

Pada santri pemula pembacaan wirid dijaga dan kontrol dengan ketat. Mereka diwajibkan memegang buku kecil kumpulan wirid yang sudah disusun terlebih dahulu, yakni amalan harian. Pengontrolan ini dimaksudkan agar para santri betul-betul fokus membaca dan melafalkan secara benar untuk kemudian menghafalkannya. Pada kegiatan tertentu sejumlah wirid diperlombakan untuk memotivasi para santri agar lebih bersemangat menghafalkannya.

Jamaknya, wirid berisi ayat-ayat Aquran, shalawat, zikir, nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), do'a-do'a dan lain-lain. Tetapi di pesantren, kitab-kitab, seperti matan Jurumiyyah, Alfiyah dan kitab matan lainnya bisa menjadi wiridan. Wirid dijadikan sebagai teknik untuk menghapal kitab-kitab matan. Atau, bisa juga, difungsikan untuk mendaras sebelum atau sesudah menghafalkan.

Begitu pentingnya wirid, di pesantren beredar sebuah ungkapan yang berbunyi: "man laisa lahu al-wirdu fahua al-qirdu" (barang siapa yang tidak mau berwirid maka dia sama dengan binatang kera). Entah bagaimana caranya menghubungkan antara orang yang tidak suka berwirid dengan binatang kera, sampai sekarang bagi saya masih belum jelas. Mungkin saja, orang yang tidak berwirid, prilakunya dianggap seperti binatang kera yang culas, rakus dan tetap jail, sekalipun telah diberi makan banyak oleh pemiliknya.

Setelah selesai sholat lima waktu, orang harus berwirid terlebih dulu, yang sebagian isinya adalah ayat-ayat Alquran, zikir dan puji-pujian kepada Allah. Mereka yang langsung berdo'a setelah sholat dianggap sebagai orang yang kurang beradab. Dan sebagai seorang santri, adab harus dipegang di atas segalanya, sebuah ungkapan berbunya; "man laisa lahu al-adab fahua al-dhab" (orang yang tidak punya adab maka dia seperti binatang dhab --sejenis biawak).

Sebagai seorang yang sejak kecil hidup di lingkungan yang kental dengan kultur NU kemudian bersekolah di pesantren, ketika suatu saat dihadapkan dengan kultur yang berbeda, tentu ada semacam keanehan yang menghinggapi dipikiran dan perasaan. Setidaknya perasaan itu muncul saat pertama kali. Misalnya dilingkungan Muhammadiyah setelah selesai sholat orang tidak berwirid secara berjamaah, tapi masing-masing. Atau hal-hal lainnya yang berbeda seperti qunut pada sholat subuh, rakaat dan ritual sholat Tarawih dan lain-lain. 

Sebagian kaum santri yang agak fanatik, mungkin akan memilih dulu masjid sebelum melaksanakan sholat jum'at atau tarawih karena permasalahan wirid ini. []


Tidak ada komentar:

Posting Komentar