Kamis, 20 Juni 2019

Sarung, Identitas Kaum Santri


Sarung, Identitas Kaum Santri





Beberapa kurun dahulu, kaum santri terkenal ndeso, lugu, jorok, serta seabrek predikat miring yang ditujukan kepada mereka. Santri juga identik dengan kaum Islam tradisional atau kaum sarungan, dan pemakai sandal jepit. Wajar, karena banyak santri yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah, meskipun para santri juga ada yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

Tetapi di balik anggapan miring yang ditujukan kepada kaum sarungan ini, banyak nilai-nilai positif yang bisa diteladani, seperti: kehidupannya yang sederhana, keimanan yang kokoh, serta cintanya terhadap tanah air yang tak pernah lekang.

Suatu ketika K.H. Hasyim Muzadi pernah berujar tentang santri dan perihal kebiasaan bersarung mereka. Begini: “Ini lomba selawatan di Surabaya. Yang menang ternyata anak-anak Muhammadiyah. Mereka pakai piano, pakai jas, dasi. Lah, anak-anak NU pakai sarung; gak tahu, pakai celana dalam apa tidak!?.”

Terlepas dari pakai celana dalam atau tidak, sarung memang lekat dengan kaum yang satu ini. Bahkan salah satu gelar yang diberikan kepada mereka adalah 'kaum sarungan.' Kalau masih penasaran, Anda bisa melakukan survei kepada beberapa santri apakah pakai dalaman atau tidak. Yang penting pakai sarung itu bikin sejuk, adem dan tidak gerah...hahaha..

Pertama-tama masuk ke pesantren mengenakan sarung memang susah-susah gampang. Selain susah rapinya, bundelannya juga besar-besar. Jadinya malah tidak praktis, susah kalau mau berkegiatan. Namun itu tidak berjalan lama. Tidak sampai satu bulan memondok para santri sudah mahir menggunakan pakaian khas masyarakat muslim Indonesia ini.

Selagi masih di pesantren atau pun ketika sudah pulang ke rumah, mereka tetap betah menggunaakan sarung. Santri tidak canggung lomba lari hingga main sepak bola menggunakan sarung. Kalau pertama kali menggunakan sarung dikatakan tidak praktis, ribet dan sebagainya, justeru lama kelamaan menjadi ketagihan dan dianggap lebih praktis daripada pakai celana. Soalnnya kalau mau cepet-cepet dan tergesa-gesa mau buang air atau yang lainnya tinggal buka saja, urusan selesai.

Pada masa penjajahan sarung identik dengan perjuangan melawan kolonial serta budaya yang mereka bawa. Busana ini melekat sebagai identitas kaum santri yang pada waktu itu menjadi simpul gerakan rakyat di akar rumput. Bagi para santri, sarung adalah identitas diri yang membedakan mereka dari kaum abangan yang komitmennya terhadap kemerdekaan cenderung tidak stabil. Tidak sedikit dari kaum abangan ini yang begitu mengagumi dan meniru budaya kolonial, sehinggan nasionalisme mereka diragukan.

Setelah kemerdekaan, kesetiaan para santri terhadap sarung tidak pernah lekang, malah sarung dijadikan sebagai symbol kebudayaan bangsa yang otentik. Tidak sulit untuk mendapatkan contoh tentang ini. Adalah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Abdul Wahab Chasbullah suatu ketika pernah diundang oleh presiden Soekarno. Protokol kepresidenan meminta beliau untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara resmi kenegaraan itu, beliau malah datang dengan menggunakan sarung. Padalah pada acara-acara resmi seperti itu, biasanya orang datang memakai jas lengkap dan memakai celana.

Sebagai seorang pejuang yang sering berperang melawan penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol oposisi terhadap budaya Barat. Beliau ingin menunjukkan martabat bangsanya di hadapan siapa saja, termasuk di hadapan penguasa negerinya, dan generasi penerus selanjutnya.

Sekarang, setelah jauh berlalu, sarung sudah menjadi busana nasional yang marak dekenakan oleh hampir semua kalangan, mulai dari presiden hingga rakyat jelata. Karena sarung yang telah menjadi busana khas Nusantara ini benar-benar sangat simple, praktis.

Seorang santri sangat bangga memakainya. Kelak setelah menjadi orang ternama seperti; presiden, menteri, dubes, gubernur, walikota, bupati, hakim, tentara, polisi, dokter, dosen, atau yang lainnya, sarung tetap setia menemani mereka, dan menjadi busana yang menyenangkan dan tidak akan ditinggalkan.

Saat ini banyak para santri yang melanjutkan menuntut ilmu ke luar negeri, terutama negara-negara Arab (Timur Tangah), seperti di Mekah, Madinah, Yaman, Syiria, Lebanon yang selalu memakai pakaian khas Arab; gamis atau jubbah. Tetapi mereka tidak pernah meninggalkan sarung, malah justeru mengawinkannya. Mereka memakai gamis dan jubbah, tetapi dalamannya memakai sarung.[]



Tidak ada komentar:

Posting Komentar