Selasa, 26 Desember 2017

KAKEKKU SEORANG PENDOBRAK

Mampu bersekolah adalah hal yang luar biasa dalam keluarga kami. Menurut ayah, kakek pernah berucap kepadanya, bahwa dia mau dengan susah payah menyekolahkan ayahku karena ingin menanamkan "bibit". Bibit yang nanti akan menumbuhkan generasi yang lebih baik dari yang ada saat ini.

Ayahku adalah anak ke empat dari sepuluh bersaudara. Dengan pekerjaan kakek sebagai petani dan diselingi dengan berkebun kelapa tentu sangat jauh dari berkecukupan. Bahkan untuk makan sehari-haripun terkadang hanya makan nasi dicampur dengan ubi kayu atau jagung.

Dapat dibayangkan, betapa susahnya kehidupan ayah pada waktu itu. Jangankan untuk bersekolah, dapat makan dengan layak saja sudah syukur. Namun, dengan adanya tekad yang kuat dari ayah dan keinginan adanya perubahan dalam keluarga dari kakek, paling tidak satu orang yang dapat bersekolah maka jalan apapun akan di tempuh.

Kakek termasuk orang yang taat  menjalankan agama. Walaupun tidak pernah bersekolah formal, tapi beliau ranjin menghadiri pengajian-pengajian rutin yang diselenggaran oleh tuan guru di kampung-kampung. Menurut ayah kakek dulunya berasal dari hulu sungai, tepatnya di kampung Nagara daerah Hulu Sungai Utara. Beliau masih ada hubungan darah dengan keluarga kerajaan zaman dahulu yang terdapat di daerah tersebut. Walau demikian beliau tidak pernah membanggakan itu, kecuali keinginan untuk tidak hidup terbelakang dan merubah nasib.

Dari kebiasaan inilah dan karena bergaul dengan orang yang satu majlis dengannya mungkin, yang menyebabkan kakek punya pikiran kedepan. Kakek menyadari dari kebiasaannya mengaji ke guru-guru agama dan ketika bertemu dengan orang-orang se-majlis. Bahwa kalau ia ingin merubah nasibnya dan nasib keluarganya maka mau tidak mau harus ada yang bersekolah dalam keluarganya. Walaupun keadaan ekonomi keluarga sangat tidak mendukung paling tidak ada satu orang dalam keluarga yang harus bersekolah. Itulah yang dikatakan beliau menanam "bibit", dan waktu itu ayahlah yang punya kemauan kuat untuk bersekolah.

Begitulah pemikiran kakek. Rupanya beliau menyadari bahwa, kalau ingin berubah maka harus dimulai dari sekarang. Kemiskinan dan kebodohan ibarat mata rantai yang sangat kuat membelenggu kehidupan manusia. Kalau ingin terlepas, maka ia harus memutus mata rantai itu. Dengan mulai menanam, walau hanya satu bibit, barangkali bibit inilah kelak yang akan tumbuh, berbuah dan akan melahirkan bibit-bibit baru yang bisa merubah nasib dari garis kerurunannya..

DUNIA YANG PARADOKS

DUNIA YANG PRADOKS

Manusia senantiasa selalu berada diantara salah satu dari dua kutub yang berlawanan dalam kehidupannya. Ada kebaikan ada pula kejahatan. Ada kebahagiaan ada pula kesedihan. Ada kesusahan ada kesenangan. Ada kesuksesan ada pula kegagalan.

Demikian pula keadaan dan kejadian yang ada di alam ini. Ada siang ada malam. Ada terang ada gelap. Ada panas ada dingin. Ada yang besar dan ada yang kecil dst. Semuanya itu sebenarnya bukan berdiri sendiri-sendiri dan disikapi sebagai sesuatu yang tidak boleh ada salah satu sisinya dalam kehidupan. Semuanya itu sebenarnya diciptakan dan dihadirkan serta untuk dialami oleh manusia. 

Keduanya laksana sekeping mata uang, salah satu sisinya saling melengkapi terhadap sisi yang lain. Begitulah kehidupan, ia tidak bisa dimaknai secara sepotong-sepotong. Pengalaman dan perjalanan hidup yang paradoks menjadikan kehidupan yang kita jalani begitu bermakna dan sarat dengan arti.

Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: "Sungguh menakjubkan urusan seorang Mukmin. Sungguh semua urusannya adalah baik, dan yang demikian itu tidak dimiliki oleh siapa pun kecuali oleh orang Mukmin, yaitu jika ia mendapatkan kegembiraan ia bersyukur dan itu suatu kebaikan baginya. Dan jika ia mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu pun suatu kebaikan baginya."

Karena itulah sebenarnya tidak ada alasan bagi kita untuk terpuruk pada satu keadaan atau malah terlena pada keadaan yang lainnya.

Wallahu'alam..

Senin, 25 Desember 2017

Kebiasaan "MAMADAR" Anak Pondokan.



Kebiasaan MAMADAR Anak Pondokan.

Ketika di pesantren salah satu kebiasaan yang ditentang keras dilakukan oleh santri adalah tidur setelah sholat Subuh. Konon mereka yang terbiasa tidur setelah sholat Subuh akan mewarisi kefakiran (hidup miskin). Namun, sekalipun kebiasaan itu “terlarang” dilakukan, tetapi ada saja santri yang melakukannya. Ada berbagai macam alasan tentunya yang menyebabkan mereka tidur setelah sholat Subuh walapun mereka tahu, apa yang dilakukan itu “terlarang”.

Tidur setelah sholat Subuh di kalangan santri Kalimantan, Kalimantan Selatan khususnya disebut dengan Mamadar (mematangkan nasi yang setengah matang) biasanya dilakukan dengan mengecilkan api di tungku agar nasi tidak hangus. Dipinjam kata Mamadar adalah untuk  menyebut tidur setelah sholat Subuh, mungkin saja karena sesuai dengan kehidupan santri dengan kesibukannya belajar selama 24 jam di pesantren. Kesibukan ini menguras tenaga dan pikiran mereka, mulai dari pangi, siang, hingga malam, dan tidak jarang hingga larut malam. Karena berjaga pada malam hari hingga larut malam, maka sebagian santri menjadi berkurang porsi tidurnya, dan untuk melengkapi kekurangan itu terpaksa sebagian mereka menambalnya dengan melakukan tidur setelah sholat Subuh (Mamadar). Supaya tidur yang tadinya masih setengah matang bisa betul-betul matang.

Nah, penomena ini ternyata kita dapati juga pada tokoh kaliber nasional asal Kalimantan Selatan, jebolan pesantren; Dr. Idham Chalid. Berikut akan saya tuliskan kembali  dari koran Tempo kolom Pokok & Tokoh terbitan lawas, 01 April 1978.

-------------
Suatu malam teman2 K.H. Dr. Idham Chalid mengadakan ramah tamah di rumahnya. Hadir antara lain Nuruddin Lubis, K.H. Syaifuddin Zuhri, Chalid Mawardi, Thayib M. Gobel, dan K.H. Masykur.

Acara berlansung dengan santai. Ketika satu-satu tamu Idham Chalid akan pulang, tiba2 tuan rumah bertanya: "Eh, siapa ya yang bisa ngajari saya main golf? Saya pengen main golf." Tidak jelas apakah Idham menemukan guru golf, tetapi niatnya mau main golf ini memang mempunyai cerita tersendiri, yang lucu.

Sekitar tahun 1970, Presiden Soeharto memberi hadiah empat tongkat golf kepada Idham Chalid. Idham yg mahir empat bahasa: Arab, Inggris, Jepang dan Belanda ini membaca buku tentang main golf. Dia juga telah membeli bola golf. Tapi kesempatan berlatih baginya tak kunjung tiba. Beberapa bulan kemudian malahan tongkat golfnya itu dijadikan alat untuk menggebuki kasur oleh pembantunya..

Dan Idham memang mempunyai alasan sendiri, mengapa dia hingga kini belum juga latihan golf. "Habis, main golf itu kan sore, waktu sembahyang Ashar," ujar Idham menangkis. "Kan bisa pagi Pak, sesudah subuh," sela seorang tamu. Idham menjawab cepat: "Wah, sesudah subuh, biasanya saya kembali tidur."..

Demikian, huduuup santri..


Minggu, 24 Desember 2017

UNTUK PARA IBU

Sebagai seorang ibu rumah tangga dan sekaligus sebagai pengasuh anak-anak, Anda mungkin pernah merasakan begitu jengkelnya dengan ulah si kecil.

Bayangkan ketika Anda sedang seriuas mengerjakan pekerjaan rumah, disaat memasak di dapur, sambil nyuci piring, bersih-bersih rumah bahkan sambil nyuci pakaian. Tiba-tiba si kecil datang kepada Anda meminta sesuatu. Ketika Anda memberikan apa yang ia minta, tiba-tiba ia melemparkan apa yang Anda berikan. Si kecil menangis sejadi-jadinya sambil berteriak bahwa apa yang Anda berikan tidak sesuai dengan keinginannya. Andapun bingung setengah mati, berupaya meredakan si kecil yang menangis meronta-ronta. Anda katakan begini, dia bilang begitu. Pokoknya semuanya tidak ada yang sesuai dengan keinginannya.

Dengan setumpuk pekerjaan yang menanti Anda untuk menyelesaikannya yang tidak bisa Anda tuda, sementara keadaan si kecil yang demikian tentunya menjadikan emosi Anda mulai memuncak. Perasaan bercampur aduk datang menghampiri Anda, kesal, marah dan stres. Seandainya bukan anak Anda mungkin akan Anda plintir-plintir saja biar dapat melampiaskan segala apa yang Anda rasakan.
 
Begitulah, setiap orang tua pasti merasakan betapa beratnya menjadi orang tua, terutama sebagai seorang ibu. Mengasuh anak ditambah dengan pekerjaan yang menumpuk bukanlah pekerjaan yang ringan. Disinilah seorang ibu dituntut untuk dapat berbuat sabar tingkat tinggi. Karena inilah ujian yang diberikan kepada seorang ibu rumah tangga, apabila ia mampu bersabar pahala yang besar akan menjadi miliknya. Namun apabila ia tidak dapat berbuat sabar maka bisa saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Apabila ini terjadi maka kerugian bukan hanya terjadi pada diri Anda, tetapi juga kepada anak Anda dan masa depannya, bahkan tidak hanya di dunia bisa saja sampai ke akhiran kelak.

Tapi cobalah Anda lihat, perhatikan dengan seksama ketika anak anda tertidur. Pandanglah muka anak Anda, apakah yang Anda lihat di sana. Betapa kedamaian, seolah surga ada di depan Anda. Ia tertidur lelap dengan wajah yang bersih tanpa dosa. Melihat ini, semua yang telah Anda rasakan, rasa kesal, jengkel, marah bahkan stres yang anda rasa sebelumnya mendadak hilang, lenyap sirna entah kemana. Tidak terasa penyesalan hinggap di hati Anda, air matapun menetes membasahi pipi Anda, perlahan Anda cium pipi anak Anda yang sedang lelap tertidur sambil Anda elus-elus dengan lembut kepalanya. 

Perasaan bersalahpun tiba-tiba bergelayut menghampiri Anda. Di dalam hati, Anda berbisik: “Maafkan ibu nak, ibu tidak benar-benar marah kepadamu, tetapi ibu sangat sayang kepadamu dan tujuan ibu adalah untuk mendidikmu”. Ya, begitulah seorang ibu, tidak ada seorang ibu yang benar-benar marah kepada anak yang dicintainya. 

PERUBAHAN DI DUNIA PESANTREN

MENURUT PARA AHLI setidaknya ada tiga perubahan besar yang terjadi di dunia pesantren saat ini. 

Pertama, dahulu pesantren pada masa awal perkembangnnya hanya mengajarkan kitab-kitab kuning (kalsik) dengan materi ilmu-ilmu keagamaan. Saat ini para santri tidak hanya mempelajari ilmu-ilmu agama tetapi mereka juga diajari ilmu-ilmu umum, seperti Matematika, IPA, IPS, Bahasa Inggris dan lain-lain.

Kedua, kekuatan akar pesantren di tengah-tengah masyarakat karena peranannya yang memilih lebih dekat dengan wong cilik dan ikut serta dalam memecahkan segala persoalan yang dihadapinya baik persoalan pendidikan, sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. Berdirinya pesantren dahulunya tumbuh dan berkembang di masyarakat pedesaan akan tetapi sekarang panyak pesantren tumbuh subur di masyarakat perkotaan. Sehingga saat ini pesantren yang awalnya berpihak kepada masyarakat yang tidak mampu sebagai pendidikan alternatif bagi mereka yang ekonominya lemah, kini telah berubah menjadi lembaga pendidikan ekslusif yang hanya dapat dinikmati oleh mereka yang tergulung ekonominya baik.

Ketiga, dalam hal kepemimpinan, kepemilikan pesantren hanya di kuasai oleh seorang Kiai dengan sistem kepemimpinan turun temurun layaknya sebuah kerajaan. Pada masa ini beberapa pondok pesantren tidak lagi dipimpin secara individual oleh seorang kiai, tetapi dipimpin secara kolektif dengan payung hukum yayasan. Dimana pada pesantren tradisional kita mengenal dengan sebutan “Kiai Nasab” (kiai karena keturunan), akan tetapi seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya seorang yang memimpin di pesantren bisa juga disebut sebagai “Kiai Nasib”, jadi kiai karena nasib mujur… hehehe..

Salam untuk semua Santri…

ALA PESANTREN

Diantara keunikan kehidupan di Pesantren yang sanagat  bersahaja adalah kebiasaan memberikan gelar kepada teman sesama santri. Hampir tidak ada santri yang tidak punya gelar ketika mereka masih mondok di pesantren.

Adapun hal ihwal gelar ini di dapat, sangat bermacam-macam riwayatnya (istilah pesantren asbabun nuzulnya). Bisa saja gelar diberikan karena terlalu banyak nama yang sama atau mirip dan sulit untuk membedakan misalnya nama Ahmad, Taufik atau Udin. Bisa juga gelar di berikan karena sifat, perawakan atau kelakuan santri tersebut.

Gelar-gelar inipun bermacam-macam jenisnya mulai dari yang agak keren, lucu, mengengejek, nama binatang, bahkan sampai kepada yang seram-seram. Nama asal daerah santri yang bersangkutan juga sering dijadikan untuk pemberian gelar.

Kehidupan di pesantren memang unik, seunik lembaga yang dikatakan sebagai lembaga pendidikan asli kepunyaan Indonesia ini. Hal ini mungkin disebabkan berbagai macam jenis, latar belakang dan status sosial santri yang datang dari segenap penjuru yang ingin menimba ilmu di pesantren. Di pesantren mereka bercampur baur, melebur menjadi santu.

Kelak setelah mereka berhasil menamatkan pendidikannya di pesantren, segenap pengalaman  termasuk gelar yang mereka dapat terpatri kuat di dalam benak mereka. Bahkan sering terjadi setelah mereka berjumpa lagi untuk reonian di pesantren, yang lebih diingat justru gelar ketimbang naman aslinya.

PENGALAMAN HIDUP

Beginilah keadaan jalan menuju ke kampung saya kalau musim hujan tiba. Ini adalah satu-satunya jalan yang dapat diakses melalui jalur darat atau kalaupun ada jalan, ini masih jauh lebih baik. Ada memang beberapa jalur lain yang dapat ditempuh untuk menuju ke sana, namun hanya bisa ditempuh dengan menggunakan Jukung (sampan) atau Kalutuk (perahu bermesin) dan tidak bisa dilewati oleh kapal yang tergolong besar, karena keterbatasan luas Handil (sungai)  serta adanya pendangkalan yang terjadi.

Kalau ditarik kebelakang, jalan ini sudah jauh lebih baik dibanding 20 tahun yang lalu sejak saya dikirim ke pesantren oleh orang tua saya. Dulu, dibagian hilir jalan ini, menuju kemuara setiap hari saya berjalan kaki pulang pergi ke sekolah yang jaraknya sekitar 3 km dari rumah. Kalau ditotal saya berjalan kaki setiap harinya sejauh 6 km, karena tidak ada pilihan lain, satu-satunya sekolah Madrasah Tsanawiyah Swasta yang ada di kampung yang paling dekat.

Dengan kondisi jalan setapak yang sangat buruk, berlumpur dan kadang tergenang air serta dikiri kanan  ditumbuhi pepohonan dan semak tidak mematahkan semangat saya untuk terus tetap sekolah. Setiap rerumputan, rimbunnya pepohonan, lebatnya semak belukar yang saya lewati dalam setiap langkah, saya jadikan motivasi bahwa mereka turut berdo’a untuk kesuksesan saya di masa depan.

Tidak sekali dua ketika terjepit waktu saya berlari menuju ke sekolah sambil menenteng sandal atau sepatu dengan kondisi jalan yang licin dan berlumpur setinggi mata kaki, tiba-tiba di tengah jalan melintang seekor ular yang sendang mencegat mangsanya. Dengan kondisi jalan yang licin tidak mungkin saya dapat mengerem lajunya lari saya, kalupun bisa ada kemungkinan saya akan tergelincir dan jatuh menimpa ular, saya tidak berani mengambil resiko ini. Kalau sudah begini tidak ada jalan lagi bagi saya, selain melompat setinggi-tingginya lalu lari sekencang-kencangnya tanpa sempat menoleh kebelakang.

Walaupun saya tidak pernah di kejar anjing atau babi hutan, namun karena yang dilewati hutan belantara, sesekali juga bertemu dengan anjing atau babi hutan yang kebetulan lewat melintas di tepi jalan. Kenangan yang menggelikan adalah ketika saya dikejar oleh segerombolan Warik (kera hutan) atau ketika pagi-pagi bertemu dengan sekelompok Berang-Berang yang terkejut dengan kedatangan saya, tiba-tiba mengejar. Kontan saja saya lari terbirit-birit sambil ngakak sendiri sambil mengeluarkan sumpah serapah.

Suatu ketika ayah saya membelikan saya sepeda, maksud beliau ingin mempermudah saya pulang pergi ke sekolah. Namun dengan mengendarai sepeda bukannya mempermudah saya, bahkan menambah beban saya menjadi berlipat. Dengan kondisi jalan yang sangat buruk serta jembatan yang haya dibuat dari batang kayu gelondongan sebesar paha orang dewasa atau dari batang pohon kelapa tidak mungkin dilewati dengan mengendarai sepeda. Jadilah saya bergantian, kalau tadinya saya yang naik sepeda tetapi kalau ada jembatan atau jalan yang berlubang dan berlumpur sepedalah yang naik ke saya.

Sepedapun saya tinggalkan, saya lebih memilih berjalan kaki, kecuali di saat kemarau jalan menjadi kering, walaupun kalau bertemu jembatan tetap saja sepeda yang naik ke saya. Alternatif lain kalau sudah merasa bosan dan letih berjalan kaki, saya mengayuh Jukung (sampan kecil) melalui sungai kecil, kami menyebutnya Handil. Dengan mengayuh jukung setidaknya saya tidak berbecek-becek dan setiap sampai di sekolah harus mencuci celana sampai selutut.

Karena terlalu pagi berangkat ke sekolah terkadang saya tidak sempat untuk sarapan dan karena keterbatasan ekonomi saya jarang-jarang mendapatkan uang jajan. Kebiasaan buruk ini ternyata berakibat pada lambung saya, sehingga rasa perih dan mual sering saya rasakan ketika pulang dari sekolah. Uniknya ketika saya sudah berada di pesantren keluhan perih dan mual saya berangsur-angsur menghilang. Mungkin ketika hidup di pesantren pola makan saya menjadi teratur walaupun dengan menu seadannya, tetapi bagi saya itu sudah istemewa karena apabila dibandingkan dengan menu di rumah itu sudah lebih baik.

Saya merasa bersyukur, disaat orang lain bermasalah dengan menu yang ada di pesantren, saya justru menikmatinya. Pesantren bagi saya adalah sebuah kemewahan bila dibanding dengan kehidupan dan sekolah saya sebelumnya. Di saat orang lain merasa terpenjara dan dimarjinalkan saya justru menikmati.
  
Begitupun pula ketika beberapa hari yang lalu, untuk kesekian kalinya saya berkunjung ke rumah orang tua saya. Kembali menjenguk handai taulan dengan keadaan jalan seperti yang saya ambil gambarnya. Saya masih tetap bersyukur, bahwa saat ini masih lebih baik dari ketika 20 tahun yang lalu saat saya masih bersekolah.