Minggu, 24 Desember 2017

PENGALAMAN HIDUP

Beginilah keadaan jalan menuju ke kampung saya kalau musim hujan tiba. Ini adalah satu-satunya jalan yang dapat diakses melalui jalur darat atau kalaupun ada jalan, ini masih jauh lebih baik. Ada memang beberapa jalur lain yang dapat ditempuh untuk menuju ke sana, namun hanya bisa ditempuh dengan menggunakan Jukung (sampan) atau Kalutuk (perahu bermesin) dan tidak bisa dilewati oleh kapal yang tergolong besar, karena keterbatasan luas Handil (sungai)  serta adanya pendangkalan yang terjadi.

Kalau ditarik kebelakang, jalan ini sudah jauh lebih baik dibanding 20 tahun yang lalu sejak saya dikirim ke pesantren oleh orang tua saya. Dulu, dibagian hilir jalan ini, menuju kemuara setiap hari saya berjalan kaki pulang pergi ke sekolah yang jaraknya sekitar 3 km dari rumah. Kalau ditotal saya berjalan kaki setiap harinya sejauh 6 km, karena tidak ada pilihan lain, satu-satunya sekolah Madrasah Tsanawiyah Swasta yang ada di kampung yang paling dekat.

Dengan kondisi jalan setapak yang sangat buruk, berlumpur dan kadang tergenang air serta dikiri kanan  ditumbuhi pepohonan dan semak tidak mematahkan semangat saya untuk terus tetap sekolah. Setiap rerumputan, rimbunnya pepohonan, lebatnya semak belukar yang saya lewati dalam setiap langkah, saya jadikan motivasi bahwa mereka turut berdo’a untuk kesuksesan saya di masa depan.

Tidak sekali dua ketika terjepit waktu saya berlari menuju ke sekolah sambil menenteng sandal atau sepatu dengan kondisi jalan yang licin dan berlumpur setinggi mata kaki, tiba-tiba di tengah jalan melintang seekor ular yang sendang mencegat mangsanya. Dengan kondisi jalan yang licin tidak mungkin saya dapat mengerem lajunya lari saya, kalupun bisa ada kemungkinan saya akan tergelincir dan jatuh menimpa ular, saya tidak berani mengambil resiko ini. Kalau sudah begini tidak ada jalan lagi bagi saya, selain melompat setinggi-tingginya lalu lari sekencang-kencangnya tanpa sempat menoleh kebelakang.

Walaupun saya tidak pernah di kejar anjing atau babi hutan, namun karena yang dilewati hutan belantara, sesekali juga bertemu dengan anjing atau babi hutan yang kebetulan lewat melintas di tepi jalan. Kenangan yang menggelikan adalah ketika saya dikejar oleh segerombolan Warik (kera hutan) atau ketika pagi-pagi bertemu dengan sekelompok Berang-Berang yang terkejut dengan kedatangan saya, tiba-tiba mengejar. Kontan saja saya lari terbirit-birit sambil ngakak sendiri sambil mengeluarkan sumpah serapah.

Suatu ketika ayah saya membelikan saya sepeda, maksud beliau ingin mempermudah saya pulang pergi ke sekolah. Namun dengan mengendarai sepeda bukannya mempermudah saya, bahkan menambah beban saya menjadi berlipat. Dengan kondisi jalan yang sangat buruk serta jembatan yang haya dibuat dari batang kayu gelondongan sebesar paha orang dewasa atau dari batang pohon kelapa tidak mungkin dilewati dengan mengendarai sepeda. Jadilah saya bergantian, kalau tadinya saya yang naik sepeda tetapi kalau ada jembatan atau jalan yang berlubang dan berlumpur sepedalah yang naik ke saya.

Sepedapun saya tinggalkan, saya lebih memilih berjalan kaki, kecuali di saat kemarau jalan menjadi kering, walaupun kalau bertemu jembatan tetap saja sepeda yang naik ke saya. Alternatif lain kalau sudah merasa bosan dan letih berjalan kaki, saya mengayuh Jukung (sampan kecil) melalui sungai kecil, kami menyebutnya Handil. Dengan mengayuh jukung setidaknya saya tidak berbecek-becek dan setiap sampai di sekolah harus mencuci celana sampai selutut.

Karena terlalu pagi berangkat ke sekolah terkadang saya tidak sempat untuk sarapan dan karena keterbatasan ekonomi saya jarang-jarang mendapatkan uang jajan. Kebiasaan buruk ini ternyata berakibat pada lambung saya, sehingga rasa perih dan mual sering saya rasakan ketika pulang dari sekolah. Uniknya ketika saya sudah berada di pesantren keluhan perih dan mual saya berangsur-angsur menghilang. Mungkin ketika hidup di pesantren pola makan saya menjadi teratur walaupun dengan menu seadannya, tetapi bagi saya itu sudah istemewa karena apabila dibandingkan dengan menu di rumah itu sudah lebih baik.

Saya merasa bersyukur, disaat orang lain bermasalah dengan menu yang ada di pesantren, saya justru menikmatinya. Pesantren bagi saya adalah sebuah kemewahan bila dibanding dengan kehidupan dan sekolah saya sebelumnya. Di saat orang lain merasa terpenjara dan dimarjinalkan saya justru menikmati.
  
Begitupun pula ketika beberapa hari yang lalu, untuk kesekian kalinya saya berkunjung ke rumah orang tua saya. Kembali menjenguk handai taulan dengan keadaan jalan seperti yang saya ambil gambarnya. Saya masih tetap bersyukur, bahwa saat ini masih lebih baik dari ketika 20 tahun yang lalu saat saya masih bersekolah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar