Minggu, 15 September 2019

Kami dan Kecintaan terhadap Tanah Air






Tentara Sekutu memasuki kota Bandung bulan Oktober 1945, para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang dalam pergulatan untuk melaksanakan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari tangan tentara Jepang.

Tentara Sekutu menuntut supaya senjata-senjata yang diperoleh dari hasil pelucutan tentara Jepang dan berada di tangan para pemuda, diserahkan kepada Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama, agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga keamanan.

Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Republik, sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan-pasukan Sekutu. Batas kota bagian utara dan bagian selatan adalah rel kereta api yang melintasi kota Bandung.

Untuk kedua kalinya pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. Kali ini supaya TRI mengosongkan seluruh kota Bandung.
Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung, tetapi sementara itu dari markas TRI di Yogyakarta datang intruksi lain, yaitu supaya kota Bandung tidak dikosongkan.

Akhirnya TRI di Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung pejuang-pejuang Republik melancarkan serangan umum ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu dan membumi hangus kota Bandung Selatan.

Jadilah kota Bandung bagian selatan dibakar menjadi lautan api oleh para pejuang sebelum meninggalkan kota Bandung pada tanggal 23 Maret 1946. Peristiwa ini dikenal sebagai “Bandung lautan api”. Oleh seniman terkenal Ismail Marzuki diabadikan dengan suatu mars perjuangan yang sangat terkenal, ‘Halo-Halo Bandung”.

Halo, Halo Bandung,
Ibukota Pariangan,
Halo, Halo Bandung,
Kota kenang-kenangan.

Sudah lama beta,
Tidak bejumpa dengan kau,
Sekarang telah menjadi lautan api,
Mari Bung rebut kembali.

Ketika masih sekolah dasar kami dengan semagat kami menghapal lagu-lagi wajib yang di ajarkan di sekolah. Lagu-lagu perjuangan kami nyanyikan dengan penuh semangat, temasuk mars Halo, halo Bandung ini.

Masalahnya, kami anak-anak Kalimantan yang sebagian besar dari suku Dayak dan Banjar tidak mengenal istilah 'beta' atau 'bung'. Jadilah ketika menyanyikan bait terakhir lagu Halo, Halo Bandung yang mestinya: "Mari Bung rebut kembali", malah terpeleset menjadi berbunyi: "Maribung ribut kembali..." Dengan peninggikan pada bunyi bung dan but..nya.

Sebenarnya bukan itu saja lagu-lagu perjuangan yang kami sering terpeleset dalam penyebutnya, misalnya lagu Garuda Pancasila, pada bait: "Pribadi Bangsaku" alih-alih menyebutnya "pribadi bangsaku, kami justeru menyebutnya dengan: "Ribang-ribang satu..." Masih lagu yang sama, yang seharusnya dinyanyikan dengan: "Akulah pendukungmu", kami justeru menyanyikan dengan: "Akulah panduku muu.."

Sekalipun kadang tersalah menyebut dalam menyanyikan, tapi tidak mengurangi semangat kami untuk mencintai negeri ini. Kami selalu bersemangat menyanyikannya dalam setiap kesempatan, walaupun ketika itu kami belum tahu bahwa Ibukota negara akan dipindahkan ke Kalimantan...





Kamis, 20 Juni 2019

Sarung, Identitas Kaum Santri


Sarung, Identitas Kaum Santri





Beberapa kurun dahulu, kaum santri terkenal ndeso, lugu, jorok, serta seabrek predikat miring yang ditujukan kepada mereka. Santri juga identik dengan kaum Islam tradisional atau kaum sarungan, dan pemakai sandal jepit. Wajar, karena banyak santri yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah, meskipun para santri juga ada yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

Tetapi di balik anggapan miring yang ditujukan kepada kaum sarungan ini, banyak nilai-nilai positif yang bisa diteladani, seperti: kehidupannya yang sederhana, keimanan yang kokoh, serta cintanya terhadap tanah air yang tak pernah lekang.

Suatu ketika K.H. Hasyim Muzadi pernah berujar tentang santri dan perihal kebiasaan bersarung mereka. Begini: “Ini lomba selawatan di Surabaya. Yang menang ternyata anak-anak Muhammadiyah. Mereka pakai piano, pakai jas, dasi. Lah, anak-anak NU pakai sarung; gak tahu, pakai celana dalam apa tidak!?.”

Terlepas dari pakai celana dalam atau tidak, sarung memang lekat dengan kaum yang satu ini. Bahkan salah satu gelar yang diberikan kepada mereka adalah 'kaum sarungan.' Kalau masih penasaran, Anda bisa melakukan survei kepada beberapa santri apakah pakai dalaman atau tidak. Yang penting pakai sarung itu bikin sejuk, adem dan tidak gerah...hahaha..

Pertama-tama masuk ke pesantren mengenakan sarung memang susah-susah gampang. Selain susah rapinya, bundelannya juga besar-besar. Jadinya malah tidak praktis, susah kalau mau berkegiatan. Namun itu tidak berjalan lama. Tidak sampai satu bulan memondok para santri sudah mahir menggunakan pakaian khas masyarakat muslim Indonesia ini.

Selagi masih di pesantren atau pun ketika sudah pulang ke rumah, mereka tetap betah menggunaakan sarung. Santri tidak canggung lomba lari hingga main sepak bola menggunakan sarung. Kalau pertama kali menggunakan sarung dikatakan tidak praktis, ribet dan sebagainya, justeru lama kelamaan menjadi ketagihan dan dianggap lebih praktis daripada pakai celana. Soalnnya kalau mau cepet-cepet dan tergesa-gesa mau buang air atau yang lainnya tinggal buka saja, urusan selesai.

Pada masa penjajahan sarung identik dengan perjuangan melawan kolonial serta budaya yang mereka bawa. Busana ini melekat sebagai identitas kaum santri yang pada waktu itu menjadi simpul gerakan rakyat di akar rumput. Bagi para santri, sarung adalah identitas diri yang membedakan mereka dari kaum abangan yang komitmennya terhadap kemerdekaan cenderung tidak stabil. Tidak sedikit dari kaum abangan ini yang begitu mengagumi dan meniru budaya kolonial, sehinggan nasionalisme mereka diragukan.

Setelah kemerdekaan, kesetiaan para santri terhadap sarung tidak pernah lekang, malah sarung dijadikan sebagai symbol kebudayaan bangsa yang otentik. Tidak sulit untuk mendapatkan contoh tentang ini. Adalah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Abdul Wahab Chasbullah suatu ketika pernah diundang oleh presiden Soekarno. Protokol kepresidenan meminta beliau untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara resmi kenegaraan itu, beliau malah datang dengan menggunakan sarung. Padalah pada acara-acara resmi seperti itu, biasanya orang datang memakai jas lengkap dan memakai celana.

Sebagai seorang pejuang yang sering berperang melawan penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol oposisi terhadap budaya Barat. Beliau ingin menunjukkan martabat bangsanya di hadapan siapa saja, termasuk di hadapan penguasa negerinya, dan generasi penerus selanjutnya.

Sekarang, setelah jauh berlalu, sarung sudah menjadi busana nasional yang marak dekenakan oleh hampir semua kalangan, mulai dari presiden hingga rakyat jelata. Karena sarung yang telah menjadi busana khas Nusantara ini benar-benar sangat simple, praktis.

Seorang santri sangat bangga memakainya. Kelak setelah menjadi orang ternama seperti; presiden, menteri, dubes, gubernur, walikota, bupati, hakim, tentara, polisi, dokter, dosen, atau yang lainnya, sarung tetap setia menemani mereka, dan menjadi busana yang menyenangkan dan tidak akan ditinggalkan.

Saat ini banyak para santri yang melanjutkan menuntut ilmu ke luar negeri, terutama negara-negara Arab (Timur Tangah), seperti di Mekah, Madinah, Yaman, Syiria, Lebanon yang selalu memakai pakaian khas Arab; gamis atau jubbah. Tetapi mereka tidak pernah meninggalkan sarung, malah justeru mengawinkannya. Mereka memakai gamis dan jubbah, tetapi dalamannya memakai sarung.[]



Wirid dan Kaum Sarungan



Sumber Photo: NU Online



Wiridan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan santri di pesanren. Bahkan wirid bisa dikatakan sebagai ruh nya pesantren. Dimanapun santri berada, mesti tidak lepas dari wiridan. Kumpulan wiridan ini disebut dengan awrad. Makna wirid sendiri berarti sesuatu yang di ulang-ulang. Dalam pengertian yang lebih luas, wirid adalah amalan yang dikerjakan secara tetap dan tertib. Wirid juga dapat berupa ibadah secara tertib termasuk zikir yang dikerjakan terus menerus, tidak pernah ditinggalkan.

Beberapa wirid dibaca sebelum dan sesudah sholat lima waktu. Beberapa lagi berdasarkan waktu, misalnya dibaca di pagi hari atau di sore hari. Di pesantren kami, wirid biasanya dibaca bersama-sama dan sebagian lagi dibaca sendiri. 

Pada santri pemula pembacaan wirid dijaga dan kontrol dengan ketat. Mereka diwajibkan memegang buku kecil kumpulan wirid yang sudah disusun terlebih dahulu, yakni amalan harian. Pengontrolan ini dimaksudkan agar para santri betul-betul fokus membaca dan melafalkan secara benar untuk kemudian menghafalkannya. Pada kegiatan tertentu sejumlah wirid diperlombakan untuk memotivasi para santri agar lebih bersemangat menghafalkannya.

Jamaknya, wirid berisi ayat-ayat Aquran, shalawat, zikir, nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), do'a-do'a dan lain-lain. Tetapi di pesantren, kitab-kitab, seperti matan Jurumiyyah, Alfiyah dan kitab matan lainnya bisa menjadi wiridan. Wirid dijadikan sebagai teknik untuk menghapal kitab-kitab matan. Atau, bisa juga, difungsikan untuk mendaras sebelum atau sesudah menghafalkan.

Begitu pentingnya wirid, di pesantren beredar sebuah ungkapan yang berbunyi: "man laisa lahu al-wirdu fahua al-qirdu" (barang siapa yang tidak mau berwirid maka dia sama dengan binatang kera). Entah bagaimana caranya menghubungkan antara orang yang tidak suka berwirid dengan binatang kera, sampai sekarang bagi saya masih belum jelas. Mungkin saja, orang yang tidak berwirid, prilakunya dianggap seperti binatang kera yang culas, rakus dan tetap jail, sekalipun telah diberi makan banyak oleh pemiliknya.

Setelah selesai sholat lima waktu, orang harus berwirid terlebih dulu, yang sebagian isinya adalah ayat-ayat Alquran, zikir dan puji-pujian kepada Allah. Mereka yang langsung berdo'a setelah sholat dianggap sebagai orang yang kurang beradab. Dan sebagai seorang santri, adab harus dipegang di atas segalanya, sebuah ungkapan berbunya; "man laisa lahu al-adab fahua al-dhab" (orang yang tidak punya adab maka dia seperti binatang dhab --sejenis biawak).

Sebagai seorang yang sejak kecil hidup di lingkungan yang kental dengan kultur NU kemudian bersekolah di pesantren, ketika suatu saat dihadapkan dengan kultur yang berbeda, tentu ada semacam keanehan yang menghinggapi dipikiran dan perasaan. Setidaknya perasaan itu muncul saat pertama kali. Misalnya dilingkungan Muhammadiyah setelah selesai sholat orang tidak berwirid secara berjamaah, tapi masing-masing. Atau hal-hal lainnya yang berbeda seperti qunut pada sholat subuh, rakaat dan ritual sholat Tarawih dan lain-lain. 

Sebagian kaum santri yang agak fanatik, mungkin akan memilih dulu masjid sebelum melaksanakan sholat jum'at atau tarawih karena permasalahan wirid ini. []


Tak Ada Sistem Zonasi di Pesantren



Yang agak ribet di pesantren setiap awal tahun ajaran baru adalah mengurusin santri baru. Salah satunya minta pulang, karena tidak betah atau belum kerasan, baik oleh anaknya maupun orang tuanya.

Suatu pagi seorang santri yang belum genap dua hari berada di pesantren mengetuk pintu rumah saya. Setelah saya membuka pintu, nampaklah sosok seorang santri dengan mata sembab, terisak-isak sambil menangis.

Saya: "Ada apa? Kok menangis?"

Santri: "Ijinkan saya pulang, sebentaaar saja ustadz."

Saya: "Kan kemaren sudah disampaikan bahwa santri tidak dibolehkan pulang kecuali, setelah tiga bulan dahulu di pondok".

Tetiba si Santri berjongkok, setengah tiarap dia memohon-mohon dengan menangis sekeras-kerasnya. 

"Ustaaaaad....saya mau pulang, saya mau pulaaang."

Sontak saja tetangga kanan kiri terkejut dibuatnya. Mereka kompak menanyakan: Apakah itu santri baru? Setelah saya mengiyakan, mereka memakluminya, sambil menutup tangan ke mulut kerena menahan tawa, mereka berpaling lagi ke dalam rumah. 

Akhirnya dengan beberapa nasihat si Santri bersedia untuk tidak pulang dahulu dan kembali ke asramanya dengan masih terisak setelah menangis keras.

Kurang lebih seminggu setelah kejadian itu, saya masuk kelas di mana si Santri berada. Saya melihat raut mukanya sudah jauh berbeda dari seminggu yang lalu. Terlihat lebih ceria. Saya tanyakan apakah masih ingin pulang ke rumah. Dia menjawab: Tidak ingin lagi, karena sudah merasa betah.

Tahun ini anak itu telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren dengan beberapa prestasi, termasuk dalam bidang Bahasa Inggris.

Bagi orang tua yang tidak terlalu senang dengan sistem zonasi yang diterapkan oleh sekolah-sekolah saat ini, bisa memasukkan anaknya ke pesantren, karena di pesantren sistem itu tidak berlaku. Dengan syarat, siap-siap orang tua dan anaknya membendung air mata, menahan tangis...

Minggu, 03 Februari 2019

Fenomena Ziarah



Ziarah kubur adalah bagian terpenting dalam tradisi keberagamaan kaum santri, baik ketika masih berada di pesantren maupun ketika sudah berada di luar pesantren. Secara bahasa ziarah berarti mengunjungi, dengan makna yang umum. Bila kita tambahkan kata dibelakangnya "ziarah kubur", berarti "mengunjungi kuburan". Lazimnya ziarah kubur berarti datang ke kubur orang yang telah meninggal dengan tujuan mendo'akan agar mendapat ampunan dan terhindar dari azab 'alam barzakh (alam kubur).

Kaum santri, paling tidak, membagi ziarah kepada dua bagian;  pertama kepada orang biasa, seperti teman, keluarga, atau orang tua yang telah meniggal dunia. Ziarah kepada teman atau keluarga biasanya bertujuan untuk mendoakan agar orang yang diziarahi mendapat ampunan dari Allah atas dosa-dosanya selama hidup di dunia. Demikian juga ziarah kepada kedua orang tua.

Kedua, ziarah kepada orang-orang shalih, ulama dan para wali. Bagi santri, ziarah kepada orang-orang ini tidaklah bertujuan untuk mendoakan agar diampuni dosa-dosa mereka. Bagi mereka para wali, orang shalih dan alim adalah orang-orang yang terpelihara dari dosa. Alih-alih mendoakan, malah justeru kita yang minta barokah kepada mereka agar diberikan petunjuk oleh Allah dalam mengarungi kehidupan.

Makam para wali dan orang-orang alim ini selalu ramai dikunjungi sepanjang waktu, yang sebagian besar terdiri dari kaum santri. Di sinilah mereka bermunajat, memohon kepada Allah agar dikabulkan hajat dan dimudahkan segala urusan. Bagi sebagian lagi, ziarah dijadikan sebagai sarana untuk bertafakur, merefleksi diri, serta melembutkan hati dengan mengingat mati.

Wisata Ziarah

Beberapa tahun belakangan terjadi penomena baru soal ziarah ini. Ziarah tidak melulu soal akhirat, sakral dan tidak ada hubungannya dengan keduniaan. Orang-orang menjadikan ziarah selain untuk berdoa juga sekaligus untuk bewisata. Penomena ini dikenal juga dengan wisata relijius. Selain beribadah dalam rangka berziarah kepada para wali --daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan, menyebutnya ziarah kepada para datu-- sekaligus juga dijadikan sebagai wahana untuk berekreasi. Bagi beberapa daerah ziarah kubur justeru dijadikan sebagai alternatif pengembangan tradisi yang bermanfaat secara sosial dan ekonomi.

Yang kita khawatirkan adalah bahwa akan terjadi pendangkalan (kehilangan) makna yang sesungguhnya dari ziarah itu sendiri. Orang bisa saja lupa bahwa tujuan berziarah adalah sebagai sarana untuk bertafakur, merefleksin diri, melembutkan hati dengan mengingat kepada kematian.

Karena itu beberapa tokoh berkelakar soal penomena ini. Kalau orang dari hulu sungai berziarah kepada para datu, nanti perjalanan terakhirnya ditutup berziarah kepada datu mall. (pelesetan dari sebuah tempat perbelanjaan terbesar di Kalimantan Selatan; Duta Mall). Jangan-jangan selama perjalanan ziarah itu orang berfikir yang utama adalah ke tempat perbelanjaannya, bukan ziarah kepada para wali dan datu tadi.

Demikian juga ketika ziarah ke pulau Jawa, orang-orang ziarah mulai dari Jawa Timur di Surabaya dengan perjalanan panjang berziarah kepada wali-wali, terutama sembilan wali. Nanti terakhirnya ditutup ziarah ke Tugu Monomen Nasional (Monas) di Jakarta dan tempat perbelanjaan Pasar Tanah Abang, misalnya.[]




Saya, Hantu dan Kuburan


Salah satu hal yang paling saya takuti sebelum bersekolah di pesantren adalah kuburan. Kuburan bagi saya ibarat sarang hantu, tempat berkumpulnya para jin, setan dan segala hal yang menakutkan. Ketika berjalan di malam hari, tempat yang paling saya hindari adalah kuburan. Mimpi-mimpi yang paling horor bagi saya adalah tentang orang mati. Mendengar kabar tetangga meninggal saja, cukup membuat saya tidak keruan tidur semalaman.

Di ujung kampung, di desa kami, terdapat kuburan tua yang terkenal angker. Konon perilaku dan penampilan orang yang dimakamkan di kuburan itu ketika masih hidup sangat aneh dan ganjil.  Di pingang dan lehernya bergelantungan puluhan botol-botol kecil berisi berbagai minyak yang mempunyai kekuatan magis, mulai dari yang tahan terhadap senjata tajam (kebal) hingga dapat memiliki kekuatan super. Orang ini menggunakan kekuatan ilmu hitam.

Minyak-minyak itu, kami menyebutnya Untalan. Menggunakan Untalan untuk mendapatkan kesaktian, kekebalan dan sebagainya adalah hal yang lumrah di tengah masyarakat kami. Untalan adalah sejenis minyak yang dapat menjadikan orang yang menelannya menjadi sakti atau kebal.

Dalam kepercayaan masyarakat kami orang-orang yang menggunakan Untalan ini, apabila ia meninggal, jika tidak sempat dikeluarkan untalan tersebut dari dalam tubuh, maka bisa mengakibatkan orang itu mati dengan tidak wajar (mati jadi hantu). Ketidak-wajaran ini sudah terlihat tanda-tandanya sebelum si mayit dikuburkan. Ketika saat dimandikan atau ketika saat disalatkan. Puncaknya adalah pada senja hari pertama sejak ia dikuburkan. 

Menurut cerita, ketika senja tiba dari atas kuburan tua di ujung kampung kami itu keluar asap berwarna kekuningan. Itu adalah pertanda sang hantu akan keluar dari peraduannya. Karenanya saat senja hari yang berwarna kekuningan --terjadi sebelum atau sehabis hujan, kami dilarang keras keluar rumah, karena dipercaya iblis dan hantu berkeliaran saat itu.

Hari-hari pertama kematian, konon si hantu jadi-jadian akan menemui kerabat dekatnya. Di senja hari ia akan mengetuk pintu, dan memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang mengerikan. Ia datang seolah ingin mengabarkan kepada kerabat tentang keadaan dirinya kini. Ia tidak akan beranjak dari rumah itu sampai kerabat atau keluarga yang didatangi mengatkan: "Sudah, saya sudah melihat kamu, jangan kembali lagi ke sini." Biasanya bila sudah mendengar itu ia akan menghilang dengan sendirinya dan tidak akan pernah kembali lagi.

Urang tua kami biasanya, menakut-nakuti kami dengan menyebut hantu si makam tua yang ada di ujung kampung itu. Tidak perduli siang atau malam, kami sangat takut ketika melewati makam itu. Ketakutan saya rupanya tidak hanya kepada makam tua itu, bahkan semua makam. Ketika sendirian melewati kuburan imajinasi tentang hantu berseleweran di kepala saya. Hingga mimpi-mimpi horor saya adalah tentang kuburan dan orang mati.

Ketika berada di pesantren, ada hal yang berbeda dalam persepsi saya tentang kuburan. Kuburan setidaknya tidak menakutkan seperti ketika masih berada di kampung. Di pesantren, tepatnya dibagian kiri setelah masuk pintu gerbang kedua, terdapat makam pendiri pesantren. Setiap subuh Jumat kami diajak berziarah ke makam beliau, atau, kalau tidak, dilakukan secara bergiliran. Beberapa asrama kena giliran subuh Jumat ini, beberapa asrama lainnya subuh Jumat berikutnya, begitu terus berputar. Di beberapa kesempatan saya berziarah sendiri di luar jadwal yang telah ditentukan ke makam mu'allim kami ini.

Selain berbeziarah ke makam pendiri pesantren, sehabis salat Jumat saya sering mampir berziarah ke makam orang alim di luar komplek. Di sini beberapa santri sering saya dapati juga berziarah seperti saya. Rasa-rasanya sejak inilah mulai tumbuh kecintaan berziarah di dalam diri saya. Bagi saya berziarah selain membaca Alquran, Tahlil dan berzikir adalah berdo'a. Berdo'a tidak hanya untuk orang yang diziarahi, tetapi juga berdo'a untuk diri sendiri, orang tua dan keluarga-keluarga saya.

Berdo'a di kubur orang-orang alim serasa lebih husuk di banding tempat-tempat lainnya. Di sini kuburan dibikin nyaman, sehingga orang-orang yang berziarah dapat betah berada di dalamnya. Beda sekali ketika masih di kampung dahulu, kuburan terletak di ujung kampung, berada di bawah pohon besar atau di dekat pohon bambu yang rimbun, gelap, penuh semak belukar, terkadang berada di rawa dan bernyamuk. Sehingga berada dikuburan bisa memancing imajinasi-imajinasi horor.

Begitulah, sampai saat ini berziarah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan saya, sekalipun tidak sesering dahulu. Pada beberapa kesempatan ketika berjalan-jalan bersama keluarga ke beberapa daerah di Kalimantan Selatan ataupun ke luar daerah lainnya, kami selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke makam orang-orang alim, sekedar berdo'a ataupun mengharap berkah.

Begitupun pula ketika pulang kampung halaman, selain berkunjung ke keluarga yang masih hidup, kami juga berziarah ke kuburan keluarga yang telah meninggal dunia, mendahului kami.[]

Ngalap Berkah Ala Santri


Kita yang pernah belajar di pesantren tentunya tidak asing lagi dengan istilah berkah. Misalnya yang paling kita ingat adalah ketika berebut sisa makanan atau minuman para guru kita.




Kata berkah atau dalam bahasa arab barokah berarti 'bertambah'. Ungkapan lainnya adalah 'tabaruk' atau 'tabarukan', yang bisa diatrikan 'mengambil' atau 'mencari berkah'. Ngalap berkah dalam istilah Jawanya.

Berkah atau barokah dalam bahasa Arab diartikan dengan ziyadatul khair, yaitu bertambahnya kebaikan pada diri seseorang. Adapun makna barokah dalam Alquran dan sunnah adalah langgengnya kebaikan.

Dalam praktiknya, usaha santri dalam meraih keberkahan tidak hanya dengan belajar saja, artinya yang berkaitan dengan keilmuan saja. Tetapi juga dalam bentuk seperti yang disebutkan tadi di atas, bisa juga dalam bentuk berziarah ke makam guru, kiai atau orang alim, berdo'a, mengaji, atau tahlilan.

Tabarukan, mengambil berkah juga bisa minta do'akan kepada guru, kiai atau orang alim tadi, karena kaum santri meyakini bahwa do'a mereka mustajab lantaran kezuhudan dan kealimannya. Nilai dan restu dari guru, kiai dan orang alim bagi para santri tidak bisa ditukar dengan materi.

Mencium tangan para guru, kiai atau orang alim juga bentuk tabarukan lainnya yang dilakukan oleh kaum santri. Tidak hanya sampai di situ, bahkan menyusun atau menata sandal (alas kaki) dengan menghadapkannya ke arah guru, kiai atau orang alim ketika mereka ke masjid atau di suatu majlis.



Bahkan, dalam kebiasaan santri, keberkahan juga bisa dikaitkan dengan membawa oleh-oleh ketika acara selamatan atau hajatan selesai dilaksanakan.