Senin, 12 November 2018

Hulu dan Hilir, Ketika Keduanya Bertemu



Photo: Ekslusif

Ada perbedaan yang mencolok antara orang yang hidup di pesisir dengan mereka yang hidup di daerah hulu dan pedalaman ketika berbicara.
Orang-orang yang hidup dipesisir terbiasa dengan hiruk-pikuk dan bergelut dengan berbagai macam kesibukan. Aktifitas dengan mobilitas yang tinggi menimbulkan suara-suara yang menyebabkan kebisingan. Untuk bisa didengar ketika berbicara mereka biasanya meninggikan volume suaranya. Kebiasaan ini terbawa-bawa ketika berada di luar aktifitas keseharian yang sudah tidak bising lagi. Bagi anda yang tidak terbiasa mungkin saja menyangka orang-orang ini sedang marah-marah, tetapi ketika melihat raut wajahnya anda akan mengerti bahwa cara berbicara mereka memang begitu adanya.

Berbeda dengan mereka yang hidup di daerah hulu atau pedalaman, berprofesi sebagai petani atau berkebun, biasanya ketika berbicara nadanya biasa-biasa saja, datar-datar saja dan tidak cenderung meninggi. Profesi dan keseharian mereka yang cenderung sunyi, sepi, penuh dengan ketenangan, jauh dari hiruk pikuk tidak mempengaruhi gaya berbicaranya.

Lucunya ketika dua kelompok ini bertemu sekilas anda akan mengira mereka lagi berantem, padahal tidak. Pertemuan mereka biasanya terjadi di pasar-pasar tradisional, untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Selasa, 23 Oktober 2018

Buku Riwajat Manusia: Djiwa Jang Besar M. Arsjad Bandjar Surgi Hadji Besar Kalampajan


Photo: Ekslusif

Buku ini berjudul "Riwajat Manusia: Djiwa Jang Besar M. Arsjad Bandjar Surgi Hadji Besar Kalampajan", di tulis oleh H. Achmad Basuni 4 tahun sebelum Indonesia merdeka yakni pada tahun 1941 di Barabai Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan. Ditulis masih menggunakan ejaan lama, diterbitkan oleh P.B. Musjawaratutthalibin Kandangan. Tidak ada informasi yang detil tentang penulis kecuali bahwa beliau menyebutkan bahwa buku ini telah selesai ditulis ketika beliau masih menjabat sebagai Redaktur "Warta Mingguan" dan peladjar (mungkin mahasiswa) dari "Persatuan Perguruan Islam" di Pantai Hambawang Barabai.

Lazimnya seorang sejarawan dalam menulis tentang sejarah mesti terjadi penafsiran-penafsiran atau interpretasi-interpretasi dari penulis yang berhubungan dengan tokoh yang diceritakannya. Ada beberapa hal yang saya tangkap ketika beliau menguraikan tentang beografi tokoh Syekh Muhammad Arsyad Albanjari ini.

Pertama, ketika beliau mengisahkan tentang kemumpunian ilmu Syekh Arsyad Albanjari sepulang beliau dari menuntut ilmu di Mekkah selama 30 tahun dengan menguasai tidak kurang dari 35 disiplin ilmu. Bukan hanya ilmu agama yang beliau tekuni tapi juga ilmu-ilmu keduniaan, seperti falak, handasah, hisab, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.

Beliau mengulas ini dengan mengatakan bahwa pandangan Albanjari tentang ilmu jauh kedepan, bahwa seorang alim dalam Islam itu, bukan hanya penuh batinnya dengan pengetahun agama, tetapi juga harus menguasai ilmu pengetahuan umum yang dapat berguna untuk masyarakat diberbagai lapisan.

Penulis mengkritik ulama-ulama di zamanya yang mengabaikan pengetahun umum; "...sebagian ulama kita jang sampai sekarang seakan-akan masih mengabaikan pengetahuan umum itu, bahkan ada jang berkata, bahwa pengetahuan umum itu tak disuruh oleh agama Islam untuk mempeladjarinya".

Kedua, bahwa Albanjari digambarkan sebagai seorang yang pandai bergaul dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Albanjari tidak pernah segan dan kikuk ketika berhadapan dengan pembesar-pembesar Belanda dan pendeta-pendeta Nasrani ketika beliau datang pertama kali ke Jakarta. Sebagaimana yang dikatakan penulis: "Beliau tak ada mempunjai perasaan: "minderwaardigheids gevoel" alias perasaan lebih rendah.

Dimasa penjajahan, sebagai bangsa yang sekian lama terjajah tentu saja perasaan minder, tidak percaya diri dihadapan kekuatan penjajah menjadikan mental anak bangsa ini berada pada titik terlemah, terlebih ketika berhadapan dengan tuan-tuan pembesar Belanda ketika itu. Hal inilah yang ditekankan oleh penulis bahwa para ulama tidak hanya bergulat di desa-desa mengerjakan rukun-merukun, bahkan seharusnya juga berjuang dilapangan yang lebih luas, yang lebih menekankan kemampuan akal pikiran.

Ketiga, kritik terhadap budaya masyarakat, terutama budaya masyarakat Banjar yang merasa malu meminta laki-laki untuk menjadikan menantu atau suami dari anaknya. Beliau membandingkan Albanjari yang meminta kepada temannya sendiri Abdul Wahab Bugis untuk menjadi mantunya dengan mengawini anaknya Syarifah. Padahal ini penting dilakukan untuk kepentingan agama yang menghajatkan pertalian batin yang teguh, sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw kepada dua orang sahabatnya Utsman dan Ali.

Beliau juga menyebutkan bahwa orang Kalimantan lebih terbuka dalam hal ikatan tali perkawinan dengan bangsa apapun, asal saja sama-sama seagama. Ini tidak berlaku buat orang Minangkabau waktu itu. Dimana masih terdapat adat yang keras bagi anak laki-laki atau perempuan mereka menikah dengan orang luar Minangkabau. Menurutnya jika saat ini bangsa Indonesia menginginkan persatuan orang Kalimantan sudah melakukan itu sejak ratusan tahun yang lalu.

Keempat, bahwa Albanjari menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki terutama dalam hal ilmu pengetahuan. Beliau menginginkan bukan hanya kaum laki-laki yang perlu dipenuhi otaknya dengan pengetahun, tetapi kaum perempuan pun juga harus medapatkan forsi yang sama. Sayang menurut beliau contoh dan teladan yang diberikan Albanjari ini dalam beberapa waktu lamanya telah hilang, larut dibawa oleh arus sungai Tabalong, Martapura dan Barito.

Dan kini, menurut penulis, kita mestilah harus bersyukur bahwa awan kekolotan itu telah makin menipis. Orang-orang tua kita sudah bayak yang mau membukakan pintu bagi anak-anak perempuan mereka untuk keluar rumah menuntut ilmu. Maka bagi tuan-tuan, dan ibu-ibu yang telah mengakui kealiman Albanjari, marilah meniru apa yang telah dicontohkan. Marilah menyerahkan putra dan putri tuan-tuan keperguruan, ketempat pengajian, baik perguruan agama maupun keperguruan umum.

Membaca karya H. Ahmad Basuni ini mengingatkan saya ketika membaca karya-karya Buya Hamka atau karya K.H. Saifuddin Zuhri.

Sabtu, 02 Juni 2018

Tuan Guru K.H. Muhammad Sani

TUAN GURU KH. MUHAMMAD SANI




Guru Sani, pendiri pondok pesantren Al Falah terkenal sebagai seorang figur yang sangat dipercaya oleh masyarakat di zamanya, karena kejujuran dan itegritas serta kepribadian yang terpuji yang dimiliknya. Beliau sering, dan bahkan secara rutin meminta bantuan sumbangan dari para pedagang di pasar-pasar di dekat kediaman beliau. Konon Guru Sani sempat diberi gelar sebagai tukang tagih pajak (penadah pajak) disebabkan ketegasan beliau dalam melaksanakan penagihan, Guru Sani bahkan menentukan sediri besaran yang harus disumbangkan oleh para dermawan. Karen itulah Guru Sani sangat dikenal oleh para pedagang, khususnya masyarakat Alabio, dan dianggap sebagai tuan guru mereka. 

Pada bulan puasa Guru Sani juga suka menjamu berbuka puasa masyarakat di sekitar langgar beliau. Sepanjang hidup beliau tercatat sebanyak 22 kali berhaji baik sendiri maupun membawa rombongan. Pada tahun 1980 Raja Arab Saudi memberikan sumbangan sebesar Rp. 63.704.110 dari dana ini kemudian dibangunkan asrama di pondok pesantren Al Falah Putra oleh beliau.

Konon K.H. Muhammad Sani berteman karib dengan Dr.K.H. Idham Chalid seorang tokoh NU asal Kalimantan Selatan. Suatu saat Guru Sani, begitu ia sering disapa, dipercayakan oleh Idham Khalid untuk membangun sebuah Madrasah di Jakarta yang diberi nama Darul Ma’arif. Setelah pembangunan madrasah selesai, Guru Sani ditawari oleh Idham Chalid untuk memimpin madrasah tersebut. Namun tawaran Idham Chalid ditolak dengan halus. 

Beliau mengatakan bahwa masyarakat Kalimantan Selatan masih perlu perhatian dalam hal pendidikan. Menurut pandangan Guru Sani masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan masih sangat tertinggal jauh jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara ini.
HUBUNGAN KIAI SANTRI

Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) mengisahkan tentang hubungan yang luar biasa antara kiai dan santri di pesantren-pesantresn salaf. Menurut Gus Mus di pesantren, kiai-kiai yang mukhlis mereka memang betul-betul ikhlas dalam segala tindakannya lillah, hanya karena Allah. Bahkan banyak kiai yang menganggap tabu beramal lighairillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati oleh orang lain.

Gus Mus mencontohkan, misalnya pesantrin salaf pada umumnya adalah benar-benar milik kiai. Santri hanya datang dengan bekal hidupnya sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak santri yang hanya untuk hidupnya pun menumpang’ dari kiai.
Kiai semacam ini menurutnya ibarat mewakafkan diri dan seluruh miliknya untuk para santri. Dia memikirkan, mendidik, mengajar dan mendo’akan santrinya tanpa pamrih. Bukan saja saat santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.

Contoh lain adalah ayahanda Gus Mus sendiri, Kiai Bisri Musofa, beliau sering diundang pengajian ke luar kota dan tidak jarang panitia memaksanya untuk mengisi pengajian pada hari-hari dimana pesantren tidak libur. Bila harus melakukan hal yang seperti itu, beliau selalu bermunajat kepada Allah sebelum naik mimbar, “Ya Allah, Engaku tahu hamba datang ke sini karena diminta saudara-saudara hamba untuk menyampaikan firman-firman-Mu dan sabda-sabda Rasul-Mu; namun sementara hamba di sini, santri-santri hamba yang hamba tinggal di pesantren prei tidak hamba ajar. Oleh karena itu, ya Allah, apabila amal hamba di sini ada pahalanya, hamba mohon tidak usah Engkau berikan kepada hamba; ganti saja pahala itu dengan kefutuhan hati santri-santri hamba tersebut.” 

Gus Mus juga menyebutkan beberapa kiai lain yang dengan penuh keikhlasan berkhidmat demi kebaikan santrinya. Seorang kiai di Solo, pernah meminta kepada lurah pondok pesantrenya untuk menuliskan daftar santri yang ternakal agar ketika bertahajut mendo’akan para santri beliau bisa mengkhususkan nama-nama santri ternakal tersebut. 

Kiai Maksum, di Lasem, menurut Gus Mus, bukan hanya setiap waktu membangunkan santri-santrinya untuk sholat dan belajar, mendo’akan mereka setiap kali berdo’a, dan kemanapun beliau pergi selalu menyempatkan berkunjung ke rumah beliau yang beliau lewati, sekedar untuk melihat keadaannya.

Minggu, 27 Mei 2018

CERITA LUCU PARA KIAI BERSAMA MOBIL BUTUT

KH. Saifuddin Zuhri menulis pengalaman lucunya bersama KH. Idham Chalid di buku otobiografinya yang berjudul Guruku Orang-Orang Dari Pesantren.
Suatu hari Idham Chalid datang ke parlemen dengan mobil merk “Human” berwarna hijau tua. Mobil ini adalah mubil bekas. Maklumlah waktu itu (sekitar tahun 1950-han) tidak semua orang punya mobil walaupun berstatus sebagai anggota parlemen. Kalaupun ada tentu saja itu adalah mobil bekas butut dan sudah sangat tue.
Idham Khalid berbisik kepada Saifuddin Zuhri bahwa ia membawa sebuah mobil, sambil menunjuk kearah mobil kecil yang terparkir di bawah pohon beringin di depan gedung parlemen.
“Dapat dari mana?” tanya Saifuddin Zuhri.
“Ada kiriman uang dari Kalimantan. Saya beli mobil seharga Rp. 18.000,” jawab Idham Chalid.
“Kok mahal banget?” tanggap Saifuddin Zuhri.
“Apa mahal! Lihat dulu barangnya, mesinnya masih tokcer!” jawab Idham Chalid.
Tiba-tiba Kiai Ilyas keluar dari sidang parlemen dengan Ahmad Achsien. Saifuddi Zuhri memberitahukan kepadanya bahwa Idham Chalid membawa mobil “baru”. Ia kepengen juga mencoba hendak menebeng sampai ke rumahnya. Adapun Ahmad Achsien sudah punya mobil sendiri, maka ia pulang dengan mobilnya.
Idham Chalid lalu duduk di kursi kemudi, ia hendak mengemudikan sendiri. Saifuddin Zuhri membatin “Kapan Idham Chalid belajar mengemudi?”. Saifuddin Zuhri-pun meyakinkan di dalam hati bahwa Idham Chalid sudah pandai mengemudi mobil, kemudian ia berdiam.
Mobil keluar dari halaman parlemen menuju arah jalan Pejambon. Jalannya mobil tidak lurus, tidak stabil. Pedal rem sering diinjak tiba-tiba, lalu tancap gas tak kepalang tanggung. Kiai Ilya melirik kepada Saifuddin Zuhri, dalam hati beliau barang kali mengatakan: “kok begini menyetirnya?” Tetapi Saifuddin Zuhri tidak membalas lirikannya. Ia Cuma diam saja. Sejak tadi ia membaca shalawat di dalam hati.
Mobil nyaris menyenggol pengendara sepeda di dekat Stasiun Gambir. Kiai Ilyas berteriak nyaring!
“Ya akhi, kalau ada orang jualan rokok di depan itu, berhenti sebentar!” seru Kiai Ilyas kepada Idham Chalid.
Di depan penjual rokok, Idham Chalid menghentikan mobilnya, agak keterusan. Kiai Ilyas turun dari mobil. Dikira ia akan membeli rokok, ternyata ia berjalan menuju trotoar.
“Mengapa? Hayo naiklah!” ajak Saifuddin kepada Kiai Ilyas.
“Terima kasih! Jalan kaki lebih aman!” Kiai Ilya terus mempercepat langkahnya menuju arah Prapatan.
“Penakut!” teriak Idham Chalid.
Saifuddin Zuhri yang mulanya duduk dibelakang pindah duduk di kursi samping Idham Chalid. Mesin kemudian dihidupkan kembali, mobil mulai jalan. Sepanjang jalan Saifuddin Zuhri membiarkan Idham Chalid mengemudikan mobilnya sekehendak hatinya. Ia diam saja, namun dihatinya memperbanyak membaca shalawat. Syukurlah, akhirnya mereka sampai juga ke tujuan dengan selamat, walaupun menurut Saifuddin Zuhri ia tidak begitu sehat. Kepalanya pening.


PUASA



Puasa bagi sebagian orang mungkin biasa-biasa saja, tidak ada yang banyak berbeda kecuali berubahnya waktu makan, yang biasanya siang hari menjadi malam hari. Tapi tidak demikian bagi mereka yang berprofesi sebagai pekerja kasar seperti petani, nelayan, tukang bangunan, kuli, sopir dan lain-lain. Berpuasa adalah ibadah yang sangat berat bagi mereka. Hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melaksanakan ibadah puasa ketika mereka bekerja. Bagi mereka yang mampu berpuasa, itu adalah sebuah jihad yang luar biasa. Kita acungkan jempor buat mereka yang sanggup berpuasa pada keadaan yang tidak biasa itu.
Saya adalah anak seorang petani, kakek dan bahkan saudara saya sebagian berprofesi sebagai petani. Tidak mudah bagi petani berpuasa ketika bulan Ramadhan tiba. Saya pernah merasakan betapa beratnya bekerja di sawah ketika sedang puasa. Berjemur di tengah teriknya sinar matahari ditambah dengan tuntutan pekerjaan yang harus menggunakan tenaga ekstra, keringat terus menerus keluar, sehingga dehedrasi cepat sekali menyerang. Tidak beberapa lama kemudian tenaga makin melemah, tenggorokan kering dan terasa pekat, air liur terasa pahit. Siapakah yang sanggup berpuasa dengan keadaan seperti ini. Ya, hanya orang-orang yang tangguh saja, yang kuat imannya dan saya berkeyakian bagi mereka yang sanggup berpuasa dengan keadaan seperti itu adalah pahala yang sangat besar bagi mereka.
Ketika musim panen tiba, biasanya terjadi pada musim kemarau. Ketika musim panen bertepatan dengan bulan Ramadhan sungguh berat sekali berpuasa. Padi yang sudah menguning tidak dapat di tunda-tunda untuk di tuai. Mau tidak mau para petani harus turun ke sawah, kalau tidak, padinya akan menurun kualitasnya, atau malah dilalap api, karena biasanya di lahan gambut apabila kemarau tiba rentan sekali dengan kebakaran.


Salut buat para buruh tani, nelayan, buruh pabrik, kuli panggul, tukang bangunan, tukang ojek, abang becak dan lain-lain. Yang dalam kondisi dan keadaan berat yang mereka pikul masih kuat untuk berpuasa, walaupun dalam keadaan-keadaan tertentu mereka dibenarkan untuk tidak berpuasa. Mereka adalah para pejuang yang berjihad melawan hawa nafsu, mencari nafkah yang halal untuk keluarga dan berupaya bertahan di jalan-Nya.

Kamis, 08 Maret 2018

Permainan Simbolik Kaum Tradisionalis dan Modernis Dalam Kegiatan Literasi

Dulu, sekitar tahun 60-han terdapat sebuah garis yang sangat jelas memisahkan komunitas Muslim ke dalam kelompok "tradisionalis" dan "modernis" (baca: NU dan Muhammadiyah).

Kelompok pertama biasanya mempelajari agama secara ekslusif melalui kitab kuning. Sedangkan kelompok kedua membaca dan menulis "buku butih", yang ditulis dalam bahasa Indonesia berhuruf latin. Buku-buku yang ditulis dengan tulisan Arab di sebut "kitab", sedangkan yang ditulis dengan huruf Latin disebut "buku".

Di kalangan Muslim Tradisionalis muncul sikap negatif terhadap buku putih. Di beberapa pesantren tradisional buku semacam ini masih dilarang. Para ulama tradisionalis menulis buku-buku atau risalah-risalah singkat, baik yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah, selalu menggunakan bahasa Arab, dan kebanyakan mereka tetap menggunakannya sampai sekarang.

Sementara di kalangan muslim modernis, juga muncul sikap demikian. Para pengarang buku putih berpijak pada upaya untuk kembali kepada sumber-sumber asli Al-Qur'an dan Hadits. Kitab-kitab klasik warisan ulama abad pertengahan dianggap kolot dan ketinggalan jaman.

Namun, sekarang ini garis pembeda itu sudah menipis dan mulai memudar. Kelompok modernis umumnya menjadi kurang radikal dalam hal penolakan mereka terhadap tradisi kitab kuning. Sekarang terdapat beberapa pesantren Muhammadiyah yang menawarkan suatu kombinasi kurikulum tradisional (kitab kuning) dan kurikulum modern.

Demikian pula kaum tradisional, para kiai sudah menjadi semakin universal, atau meluas bacaan mereka. Banyak diantara mereka yang sekarang menulis dalam bahasa Indonesia di samping bahasa Arab, Melayu atau Jawa. Huruf Arab, walaupun masih merupakan tanda yang paling jelas dari orientasi tradisionalis, bukan lagi prasyarat utama.