Selasa, 30 Januari 2018

Photo: Orang Tua Santri Mendaftarkan Anaknya ke PP. Al Falah Putera
Photo: Panitia Pelaksana Penerimaan Santri Baru PP. Al Falah Putera
Photo: Suasana Penerimaan Santri Baru di PP. Al Falah Putera

Photo: Presesi Wisuda Metode Amtsilati di PP. Al Falah Putera Banjarbaru
Photo: Tausiyah oleh Muallif  Kitab Metode Amtsilati di PP. Al Falah Putera 
Photo: Pelaksanaan Wisuda Metode Cepat Membaca Kita Kuning (Amtsilati)
di PP. Al Falah Putera Banjarbaru


Photo: Semangat Santri Ketika Pelaksanaan Bazar Buku di PP. Al Falah Putera
Photo: Toko Kitab di PP. Al Falah Banjarbaru
Photo: Toko Kitab di PP. Pesantren Al Falah Putera

Photo: Pengawan oleh guru dalam proses pembelajaran di PP. Al Falah Putera

Photo: Peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW di PP. Al Falah Putera

Photo: Peringatan Isra' Mi'raj Nabi Muhammad SAW di PP. Al Falah Putera

Senin, 29 Januari 2018

Photo: Kegiatan Pembelajaran di PP. Al Falah Putera Banjarbaru

Photo: Bazar Buku dari Penerbit Mizan di PP. Al Falah Putera Banjarbaru

Senin, 15 Januari 2018

KAMI, SUNGAI DAN HANDIL

KAMI, SUNGAI DAN HANDIL

Sungai, setidaknya dia telah menjadi urat nadi kehidupan manusia sejak berabad-abad lamanya. Sebelum alat tranfortasi darat mendominasi, sungai mempunyai fungsi yang sangat penting dalam kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Sungailah yang menghubungkan antara satu daerah ke daerah lainnya. Ini wajar saja karena hampir 60 % wilayah di Indonesia dikelilingi oleh air.

Kalau melihat sejarah perekembangan masyarat di beberapa daerah, terutama di daerah Kalimantan dan Sumatera, pemukiman masyarakat awal-awal di bangun di sekitar pesisir sungai. Sungai merupakan sumbar penghidupan, karena sungai selain digunakan sebagai tempat pemenuhan keperluan sehari-hari juga berfungsi sebagai jalan untuk menghubungkan antar satu daerah-dengan daerah lainnya, bahkan dijadikan sebagai sumber penghasilan.

Deminian pula bagi kami yang hidup di pesisir, sungai adalah urat nadi kehidupan. Ia berfungsi sebagai jalan yang menghubungkan antara satu kampung ke kampung yang lain, antara satu desa ke desa yang lainya, bahkan antar daerah, terhubung melalui sungai.

Di sisi kanan kiri sungai bermuara ratusan anak-anak sungai, kami menyebutnya handil. Air mengalir dari anak-anak sungai menuju sungai yang lebih besar yang bermuara di laut. Tetapi tidak selamanya begitu, terkadang air juga datang dari laut memenuhi sungai dan sampai ke anak-anak sungai. Peristiwa pertama kami sebut dengan pasang, sedangkan peristiwa kedua kami menyebutnya pandit (surut).

Pada waktu-waktu tertentu, jika pasang tiba, terkadang air menghilangkan sebagian daratan dan memenuhi sebagian rumah-rumah penduduk di pesisir sungai. Warga sudah mafhum dengan dengan beristiwa ini, sebagian warga membangun rumah dengan meninggikannya supaya air tidak lagi naik ketika pasang tiba. Tonggak-tonggak yang digunakan untuk meninggikan rumah ini terbuat dari kayu ulin (kayu besi) yang memang terkenal kuat dan tidak mudah lapuk.

Di tepian sungai, rumah-rumah warga dibagun di bahu-bahu kanan kiri sungai, separu dari rumah masuk ke sungai, bahkan lama kelamaan rumah warga sudah benar-benar sepenuhnya berada di sungai karena tepian-tepian sungai tergerus oleh air. Kecuali rumah-rumah warga yang berada di tepian anak-anak sungai (handil), rumah-rumah warga dibangun lebih kedaratan.

Handil ibarat gang-gang di kota-kota besar. Kalau di kota, gang diberi nama dengan nama-nama tertentu, begitu juga handil. Seperti Handil Asam, Handil Nyiur, Handil Batu, Handil Semangat dan lain-lain, layaknya nama-nama gang-gang atau jalan kecil yang ada di kota.

Di pinggiran sungai yang tidak ada pemukiman tumbuh subur pohon Rambai Padi (sejenis mangruf). Pohon inilah yang berfungsi sebagai pagar hidup untuk mengurangi abrasi tepian sungai. Akar-akarnya yang kuat menghunjam ke tanah dan ujungnya yang muncul kepermukaan meruncing seperti sudah didesain Sang Pencipta untuk menahan tepian sungai dari longsor.

Kuncup bunganya apabila telah mekar berbentuk seperti bintang, tetap menempel sampai buahnya matang.  Apabila buahnya telah matang dan jatuh dibawa oleh arus air sungai, akan mudah tersangkut di tepian sungai. Kemudian buah yang tersangkut itu membusuk dan bijinya yang ratusan itu tersebar kemana-mana, kemudian tumbuh membentuk tunas-tunas baru. Ternyata begitulah cara alam melestarikan lingkungannya.

Kami anak-anak pesisir sering memanjat pohon-pohon ini,  mencari cabang yang menjulur ke sungai kemudian melompat ke dalam air sambil menyelam dalam-dalam kemudian muncul di bawah pohonnya untuk naik kembali dan terjun, berulang-ulang sampai kami puas. Sesekali kami memetik buahnya yang sudah matang yang rasanya kecut sedikit manis untuk menganjal perut yang lapar.

Warga di pesisir menjadikan hampir seluruh aktivitas keseharian mereka di sungai. Mulai dari aktivitas MCK sampai keperluan air minum hingga memasak pun terkadang diambil dari  sungai. Tidak mudah merubah kebiasaan ini.  Mereka sudah terbiasa sejak lama, bahkan turun temurun. Walaupun ada himbawan dari pemerintah agar merubah kebiasaan ini, terutama masalah sanitasi.

Seiring berjalannya waktu, saat ini sungai tidak lagi sepenting dulu. Mobilitas masyarakat tidak lagi sepenuhnya di sungai. Daratan sudah menjadi tanah harapan baru. Jalan-jalan sudah dibangun lengkap dengan jembatan-jembatannya yang gagah dan kokoh melintasi sungai. Namun terkadang jembatan dibangun terlalu rendah hingga menyulitkan aktivitas di sangai, dan menambah sulitnya warga yang masih setia dengan angkutan sungai yang kini telah mulai ditinggalkan.

Pergeseran pola hidup masyarakat dari orientasi sungai ke daratan menyebabkan sungai tidak lagi sepenting dahulu. Jika dahulunya perumahan penduduk menghadap ke arah sungai, sekarang berubah menjadi 'memantatin' sungai. Hal ini terjadi karena fungsi rumah bukan hanya sebagai tempat tinggal tetapi dijadikan sebagai tempat usaha, seperti warung atau toko yang berada pada bagian rumah yang menghadap ke jalan.


Ketidakramahan masyarakat terhadap sungai dan handil saat ini telihat dari banyaknya sungai yang sudah hampir mati dan bahkan beberapa handil diperkotaan telah hilang dan berubah menjadi pemukiman. 

Minggu, 07 Januari 2018

ISLAMOPHOBIA Vs ISLAMOPHILIA


Islamophobia, adalah sebuah fenomena ketakutan non-muslim terhadap Islam dan umat Islam. Kalangan Islamophobia tak henti-hentinya menuduh bahwa umat Islam adalah ekstremis, pembuat onar, anti Kristen, anti Yahudi, menolak demokrasi, opensif terhadap wanita, dan memaksakan penerapan hukum Islam yg kejam.

Jika kalangan Islamophobia cenderung menjelek-jelekkan Islam, Islamophilia adalah kalangan yang cenderung membaik-baikkan Islam. Munculnya Islamophilia di kalangan Muslim bertujuan untuk menampilkan citra positif bagi Islam dan sebagai respon atas kuatnya propaganda kalangan Islamophobia.

Kedua-duanya sama tidak baiknya. Kaum Islamophobik karena bencinya terhadap Islam sampai-sampai berkesimpulan bahwa Al Qur'an bukanlah kitab Allah, tetapi ayat-ayat setan, cerita bohong, dan produk pikiran yg sakit dari Nabi Muhammad. kemudian mereka beranggapan bahwa masalah terorisme bukan pada kesalahan pemahaman muslim terhadap Al Qur'an, tetapi Al Qur'an itu sendiri yg bermasalah. Jadi, selama orang-orang masih mengimani Al Qur'an maka akan terus bermunculan teror dan intoleransi di muka bumi.

Sementara itu kaum Islamophilik menyatakan bahwa Islam adalah agama toleran, Islam senantiasa mengutamakan cinta kasih dan perdamaian, Islam bukan para teroris. Namun, pada saat yg bersamaan mereka juga sering mengesampingkan elemen-elemen intoleran yg terjadi dalam tradisi sejarah umat Islam. Seharusnyalah ketidakjujuran kaum Islamophilia ini harus dihindarkan.

Kita mestinya menyadari bahwa tradisi pemikiran Islam mempunyai banyak wajah. Tidak sedikit ulama klasik yg cenderung eksklusif, intoleran, dan gigih menyebarkan teologi kebencian. Di lain pihak kita juga banyak mendapatkan ulama klasik yg sangat toleran, menjunjung tinggi spirit Islam yg damai.

Sayangnya, saat ini pemikiran ulama klasik yg intoleran tersebut sering dicomot oleh kelompok radikal untuk membenarkan tindakan mereka atas nama agama. Kita tentu melihat dan mendengar kekerasan yg terjadi mulai dari hujat menghujat, ujaran kebencian, saling hina menghina sampai aksi teror yg terjadi diberbagai belahan dunia. Hal inilah yg melangengkan dan meneguhkan kebencian kaum Islamophobia terhadap Islam dan umat Islam.

Sabtu, 06 Januari 2018

ARTI SEORANG AYAH BAGIKU

ARTI SEORANG AYAH Bagiku.

Seorang ayah adalah figur yang sangat berarti bagi saya, dari beliaulah saya banyak belajar, terutama tentang bagaimana cara hidup. Pelajaran yang ayah berikan selain dari nasehat adalah prilaku yang luar biasa, yang beliau contohkan.

Ayah adalah orang yang sangat gigih. Jarang sekali saya melihat beliau terlihat santai, bahkan ketika berada di rumah sehabis pulang dari sawah. Ada saja yang beliau kerjakan seperti membaca buku, mengisi raport, melengkapi berkas-untuk pengajuan surat-surat nikah ke KUA dan lain-lain. Ayah bukanlah orang yang terbiasa tidur di siang hari, bahkan ketika tidak ada kegiatan rutin.

Ayah saya berprofesi ganda, selain sebagai petani beliau juga mengajar sebagai guru honor di madrasah Ibtidaiyah swasta dan juga diangkat sebagai penghulu di kampung. Pagi hari beliau pergi ke sawah bersama ibu, kemudian pada siang harinya beliau mengajar. Sesekali jika hari libur saya ikut ke sawah membantu mereka menanam padi jika musim tanam tiba atau mengetam (menuai) padi jika musim panen tiba.

Penghasilan sebagai seorang guru honorer, di sekolah swasta pula, jauh dari mencukupi. Gajinya pun tidak diberikan setiap bulan melainkan setahun sekali. Yaitu selepas panen tiba, bukan uang tapi padi. Setiap siswa membayar sekitar 5 blek padi. Kalau diuangkan sekarang sekitar 300 ribu perorang pertahunnya. Paling banyak setahunnya ayah haya dapat 150 blek, atau jika diuangkan sekitar 4,5 juta pertahun. Murah banget bukan.

Ya, kalau kita bandingkan dengan sekarang memang sangat murah. Tapi saya yakin mengajar tujuan utamanya bagi ayah bukanlah materi, tetapi karena panggilan jiwa. Ia mengajar karena bertujuan untuk mendidik orang-orang di sekitarnya agar paham dan mengerti tentang agama. Mungkin jauh berbeda dengan guru zaman sekarang. Kita sulit menjumpai pendidik yg benar-benar ikhlas. Sebagian guru tidak lagi mendidik dengan ikhlas, tugas mengajar sulit dibedakan dengan transaksi bisnis. Keikhlasan guru sudah ternodai oleh kecenderungan untuk "menjual ilmu" kepada siswa. Akibatnya setelah selesai menyampaikan pelajaran, guru menganggap selesai pula tugasnya dan lepas pula tanggung jawabnya.

****
Selain mengajar ayah juga sering dipanggil ke rumah-rumah warga untuk memberikan nasehat-nasehat agama, terutama pada momen-momen tertentu seperti hari-hari besar Islam. Atau terkadang dipinta untuk membacakan manaqib (sejarah orang-orang sholeh), memimpin tahlilan, dzikiran dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti ini biasanya dilakukan di malam hari, selepas sholat isya.


Ketika mengadiri acara-acara tersebut ayah selalu mengajak saya dan menyuruh saya duduk di sampingnya. Sering kali saya tertidur ketika beliau memberikan nasehat-nasehat agamanya kepada warga, dan ayah tidak pernah marah atau jera membawa saya untuk ikut bersamanya. Waktu itu saya masih usia sekolah dasar. Belakangan saya menyadari, rupanya inilah cara ayah mendidik saya, ketika ia menasehati orang lain secara tidak langsung dia juga menasehati anaknya, walaupun sering tertidur tetapi tidak semuanya apa yang ayah sampaikan itu lewat begitu saja ditelinga saya.

Saya adalah anak tertua dari sembilan bersaudara, jarak antar saya dan adik-adik sangat berdekatan, sekitar dua sampai tiga tahun. Sebelum adik laki-laki paling bungsu saya lahir, waktu itu saya adalah satu-satunya anak laki-laki, tujuh orang adik saya berturut-turut semuanya perempuan.

Ibu saya bukanlah seperti ibu rumah tangga biasa, ia tidak terbiasa diam di rumah. Ketika ayah berangkat ke sawah, ibupun ikut ke sawah. Lalu bagaimana dengan kami, anak-anaknya yang masih kecil-kecil yang belum bersekolah? Ya, bagaimana lagi kamipun juga digiring ke sawah. Adik saya yang masih kecil, yang belum kuat berjalan dibuatkan oleh ayah pondok kecil untuk melindunginya dari hujan dan panas matahari. Di dalam pondok kecil itu dibikinkan buaian (ayunan) untuk menidurkan adik saat ibu bekerja. Ayah membikin pondok kecil yang bisa dipindah-pindah, agar kami tetap dekat dengan mereka.

*****
Ketika di pesantren, terpisah dengan orang tua, ketika semangat mulai pudar dan menurun dalam belajar, atau terpuruk dalam kesedihan, membayangkan ayahlah yang melecut dan memompa semangat saya untuk tetap bangkit mengejar cita-cita. Demikian pula ketika telah berkeluarga dan mempunyai anak, ayah tetap menjadi teladan terbaik bagiku yang patut saya tiru, terutama kesabarannya dan kegigihannya.


Begitulah ayah, dengan segala keterbatasannya, dia terus bejuang untuk masa depan kami anak-anaknya. Letih dan lelah seolah tak pernah berarti baginya. Mengeluh, berputus asa ketika ditimpa kesusahan dalam hidup bukanlah kamusnya. Setidaknya itulah yang tergambar dalam diri saya sampai hari ini tentang ayah.

Terima kasih Ayah…

Jumat, 05 Januari 2018

Asal Usul "KITAB KUNING", dan Perkembangannya Kini.

Photo: http://www.islamsantri.com/2017/03/awas-kitab-kuning-rawan-di-palsukan.html

Istilah Kitab Kuning pada mulanya diperkenalkan oleh kalangan luar pesantren sekitar beberapa dasawarsa yang silam dengan nada merendahkan. Dalam pandangan mereka, ia dianggap sebagai kitab yang berkadar rendah, ketinggalan zaman dan menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi berfikir umat Islam (Mochtar, 2009: 32).

"Kitab Kuning" awalnya digunakan sebagai istilah untuk melecehkan dan menghinakan oleh orang-orang yang tidak senang dengan ulama. Mereka mengejek dengan mengatakan, "Apa yang diketahui oleh ulama tentang urusan Negara, sementara mereka tidak membaca  kecuali kitab kuning saja" (Ali Mustafa Yaqub, 2016: 23).

Awalnya sangat menyakitkan memang, tetapi kemudian nama Kitab Kuning diterima sebagai salah satu istilah teknis dalam studi kepesantrenan. Sekarang justru istilah Kitab Kuning menjadi bentuk kemuliaan. Ketika ada yang berfatwa dalam masalah agama, masyarakat langsung berkomentar, "Bagaimana mungkin orang ini berfatwa, sementara membaca kitab kuning saja ia tidak bisa.

Karena itulah ketika pelaksanaan Simposium Nasional I di Bogor 25 - 27 Januari 1994 KH. Masyhuri Syahid, MA mengusulkan agar simposium ini dapat membuat rekomendasi untuk mengganti istilah kitab kuning dengan istilah yang lebih baik, misalnya dengan istilah al-kutub al-qadimah.

Sementara itu, pengertian yang lebih umum beredar dikalangan pemerhati masalah kepesantrenan, bahwa Kitab Kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa arab, atau berhuruf arab, sebagai produk pemikiran ulama-ulama masa lampau (as-salaf) yang ditulis dengan format khas pra-modern, sebelum abad ke-17-an M. 

Secara lebih terperinci bahwa yang termasuk kitab kuning adalah kitab-kitab yang 1) ditulis oleh ulama 'asing', tapi secara turun temurun menjadi referensi yang dipedomani oleh para ulama Indonesia, 2) ditulis oleh ulama Indonesia sebagai karya tulis 'independen', dan 3) di tulis oleh ulama Indonesia sebagai komentar atau terjemahan atas kitab karya ulama asing (Mochtar, 2009: 33), yang jumlahnya sekitar 900 judul. Kebayakan ditulis dalam bahasa Arab, Melayu, Jawa, Sunda, Madura dan Aceh (Bruinessen, 2015: 151).

Di wilayah Timur Tengah, Kitab Kuning ini disebut dengan al-kutub al-qadimah, sebagai kebalikan dari al-kutub al-'ashriyyah.

Di kalangan pesantren Kitab Kuning, karena tidak dilengkapi dengan sandangan; fathah, dlammah, kasrah, kerap disebut dengan "Kitab Gundul", dan karena rentang waktu sejarah yang jauh dari kemunculannya sekarang, Kitab Kuning itu pun tidak luput dari sebutan "Kitab Kuno" (Mochtar, 2009: 34).

Kitab Kuning ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) penyusunannya dari yang lebih besar terinci ke yang lebih kecil, seperti kitabun, babun, fashlun, far'un, dan seterusnya; 2) tidak menggunakan tanda baca yang lazim, tidak memakai titik koma, tanda seru, tanda tanya dan lain sebagainya; dan 3) selalu digunakan istilah dan rumus-rumus tertentu seperti untuk menyatakan pendapat yang kuat dengan memakai istilah al-madzhab, al-ashlah, al-shahih, al-arjah, al-rajih dan seterusnya, untuk menyatakan kesepakatan antar ulama beberapa madzhab digunakan istilah ijtima'an, sedang untuk menyatakan kesepakatan antar ulama satu madzhab digunakan istilah ittifaqan (Qomar, 2004: 172). Pergeseran dari satu sub topik ke sub topik yang lain, tidak dengan menggunakan alinea baru, tetapi dengan pasal-pasal atau kode sejenis seperti: tatimmah, muhimmah, tanbih, par' dan lain sebagainya (Mas'udi, 1979).

Kitab-kitab kuning di pesantren secara umum terdiri dari tiga jenis yaitu kitab matn, kitab syarah (komentar) dan kitab hasyiyah (komentar atas kitab komentar). Tiga jenis kitab ini juga menunjukkan tingkat kedalaman dan kesulitan tertentu. Kitab matn paling mudah dikuasai, kitab hasyiyah paling rumit, sedang kitab syarh berada di antara keduanya. Tampaknya kitab syarh ini yang paling banyak dipelajari di pesantren (Qomar, 2004: 127).

Spesfikasi Kitab Kuning secara umum terletak pada formatnya (lay-out), yang terdiri dari dua bagian, matn selalu diletakkan dibagian pinggir (margin, baik sebelah kanan mupun kiri), sementara syarh di letakkan di ruang tengah di dalam kurung (halaman). Ukuran panjang-lebar kertas yang digunakan pada umumnya kira-kira 26 cm ukuran quarto.

Ciri khas lainnya terletak pada pejilidannya yang tidak dijilid seperti buku. Ia hanya dilipat setiap kelompok halaman, misalnya 20 halaman, yang dikenal dengan istilah korasan. Tujuannya mungkin agar mudah dibawa secara terpisah, karena setiap berangkat ke pengajian santri biasanya hanya membawa korasan tertentu saja sebagai bagian yang akan dipelajari bersama sang kiai (Mochtar, 2009: 34). Selain itu juga lebih memudahkan pembaca untuk menelaahnya sambil santai atau tiduran, tanpa harus menghotong semua 'tubuh' kitab yang kadang mencapai ratusan halaman.

Surat kabar adalah satu-satunya jenis bacaan populer pada masa kini yang masih menganut sistem korasan yang panatik. (Masdar F. Masudi dalam Raharjo, 1985: 56). Beda dengan surat kabar, Kitab Kuning saat ini sudah merubah wajahnya, ia tidak lagi menggunakan sistem korasan.  Kitab Kuning cetakan baru sudah memakai kertas putih, sebagian sudah diberi syakl (tidak gundul lagi), terkadang dibubuhi dengan tanda baca serta diberi alinea, untuk memudahkan membacanya, dan sebagian besar telah dijilid rapi. Bahkan lantaran respon dunia Islam terhadap kebudayaan modern, maka muncul berbagai kitab modern, kitab-kitab akademis yang banyak menggunakan metode penulisan dan analisis Barat, sehingga berbeda dengan kitab-kitab klasik.

Suatu saat Kitab Kuning bisa saja tinggal namanya saja, tidak menunjukkan kepada makna yang sebenarnya, bahwa Kitab Kuning adalah kitab klasik yang dicetak menggunakan kertas berwarna kuning. Anak cucu kita yang belajar di pesantren bisa saja kebingungan kenapa kitab-kitab yang dipelajarinya di sebut dengan Kitab Kuning, padahal  kitab-kitab itu dicetak dengan kertas berwarna putih. Atau bisa juga nama Kitab Kuning menjadi redup dan menghilang di telan zaman sehingga tidak disebut sebagai Kitab Kuning lagi.

Wallahu'alam..








BIJAK MENYIKAPI PERBEDAAN

Beragama sejatinya menjadikan seseorang menjadi lebih baik. Namun, pemahaman keagamaan yang tidak tepat justeru akan menjadikan seseorang ke arah sebaliknya. Tidak sedikit kita lihat kekejian, penindasan dan intimidasi yang terjadi di berbagai belahan dunia ini berlatarbelakang agama (pemahaman keagamaan yang tidak tepat).

Kita mungkin bertanya-tanya kenapa dari ajaran agama yang satu saja terjadi banyak perbedaan pemahaman. Apalagi ketika itu sudah berbeda agama, tentu akan semakin banyak pula perbedaannya. Walaupun demikian tentunya tidak harus menjadikan kita saling sikut, saling mencerca, saling menghina, saling menista dan lain sebagainya.


Bukankah perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan. Bukankah perbedaan itu sudah menjadi kodrat Sang Pencipta. Bahwa kita sebagai manusia diciptakan berbeda, tidak sama. Justru dengan perbedaan itulah yang menjadikan kita begitu bermakna hidup di dunia ini.


Dengan menyadari bahwa manusia memang diciptakan berbeda, maka tidak ada lagi keinginan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain. Biarlah orang beribadah, melakukan pengabdiannya kepada tuhannya dengan caranya sendiri. Kita tidak usah menghakimi orang lain dengan tindakan-tindakan yang justru jauh dari makna beragama itu sendiri.