Sabtu, 06 Januari 2018

ARTI SEORANG AYAH BAGIKU

ARTI SEORANG AYAH Bagiku.

Seorang ayah adalah figur yang sangat berarti bagi saya, dari beliaulah saya banyak belajar, terutama tentang bagaimana cara hidup. Pelajaran yang ayah berikan selain dari nasehat adalah prilaku yang luar biasa, yang beliau contohkan.

Ayah adalah orang yang sangat gigih. Jarang sekali saya melihat beliau terlihat santai, bahkan ketika berada di rumah sehabis pulang dari sawah. Ada saja yang beliau kerjakan seperti membaca buku, mengisi raport, melengkapi berkas-untuk pengajuan surat-surat nikah ke KUA dan lain-lain. Ayah bukanlah orang yang terbiasa tidur di siang hari, bahkan ketika tidak ada kegiatan rutin.

Ayah saya berprofesi ganda, selain sebagai petani beliau juga mengajar sebagai guru honor di madrasah Ibtidaiyah swasta dan juga diangkat sebagai penghulu di kampung. Pagi hari beliau pergi ke sawah bersama ibu, kemudian pada siang harinya beliau mengajar. Sesekali jika hari libur saya ikut ke sawah membantu mereka menanam padi jika musim tanam tiba atau mengetam (menuai) padi jika musim panen tiba.

Penghasilan sebagai seorang guru honorer, di sekolah swasta pula, jauh dari mencukupi. Gajinya pun tidak diberikan setiap bulan melainkan setahun sekali. Yaitu selepas panen tiba, bukan uang tapi padi. Setiap siswa membayar sekitar 5 blek padi. Kalau diuangkan sekarang sekitar 300 ribu perorang pertahunnya. Paling banyak setahunnya ayah haya dapat 150 blek, atau jika diuangkan sekitar 4,5 juta pertahun. Murah banget bukan.

Ya, kalau kita bandingkan dengan sekarang memang sangat murah. Tapi saya yakin mengajar tujuan utamanya bagi ayah bukanlah materi, tetapi karena panggilan jiwa. Ia mengajar karena bertujuan untuk mendidik orang-orang di sekitarnya agar paham dan mengerti tentang agama. Mungkin jauh berbeda dengan guru zaman sekarang. Kita sulit menjumpai pendidik yg benar-benar ikhlas. Sebagian guru tidak lagi mendidik dengan ikhlas, tugas mengajar sulit dibedakan dengan transaksi bisnis. Keikhlasan guru sudah ternodai oleh kecenderungan untuk "menjual ilmu" kepada siswa. Akibatnya setelah selesai menyampaikan pelajaran, guru menganggap selesai pula tugasnya dan lepas pula tanggung jawabnya.

****
Selain mengajar ayah juga sering dipanggil ke rumah-rumah warga untuk memberikan nasehat-nasehat agama, terutama pada momen-momen tertentu seperti hari-hari besar Islam. Atau terkadang dipinta untuk membacakan manaqib (sejarah orang-orang sholeh), memimpin tahlilan, dzikiran dan lain sebagainya. Kegiatan-kegiatan seperti ini biasanya dilakukan di malam hari, selepas sholat isya.


Ketika mengadiri acara-acara tersebut ayah selalu mengajak saya dan menyuruh saya duduk di sampingnya. Sering kali saya tertidur ketika beliau memberikan nasehat-nasehat agamanya kepada warga, dan ayah tidak pernah marah atau jera membawa saya untuk ikut bersamanya. Waktu itu saya masih usia sekolah dasar. Belakangan saya menyadari, rupanya inilah cara ayah mendidik saya, ketika ia menasehati orang lain secara tidak langsung dia juga menasehati anaknya, walaupun sering tertidur tetapi tidak semuanya apa yang ayah sampaikan itu lewat begitu saja ditelinga saya.

Saya adalah anak tertua dari sembilan bersaudara, jarak antar saya dan adik-adik sangat berdekatan, sekitar dua sampai tiga tahun. Sebelum adik laki-laki paling bungsu saya lahir, waktu itu saya adalah satu-satunya anak laki-laki, tujuh orang adik saya berturut-turut semuanya perempuan.

Ibu saya bukanlah seperti ibu rumah tangga biasa, ia tidak terbiasa diam di rumah. Ketika ayah berangkat ke sawah, ibupun ikut ke sawah. Lalu bagaimana dengan kami, anak-anaknya yang masih kecil-kecil yang belum bersekolah? Ya, bagaimana lagi kamipun juga digiring ke sawah. Adik saya yang masih kecil, yang belum kuat berjalan dibuatkan oleh ayah pondok kecil untuk melindunginya dari hujan dan panas matahari. Di dalam pondok kecil itu dibikinkan buaian (ayunan) untuk menidurkan adik saat ibu bekerja. Ayah membikin pondok kecil yang bisa dipindah-pindah, agar kami tetap dekat dengan mereka.

*****
Ketika di pesantren, terpisah dengan orang tua, ketika semangat mulai pudar dan menurun dalam belajar, atau terpuruk dalam kesedihan, membayangkan ayahlah yang melecut dan memompa semangat saya untuk tetap bangkit mengejar cita-cita. Demikian pula ketika telah berkeluarga dan mempunyai anak, ayah tetap menjadi teladan terbaik bagiku yang patut saya tiru, terutama kesabarannya dan kegigihannya.


Begitulah ayah, dengan segala keterbatasannya, dia terus bejuang untuk masa depan kami anak-anaknya. Letih dan lelah seolah tak pernah berarti baginya. Mengeluh, berputus asa ketika ditimpa kesusahan dalam hidup bukanlah kamusnya. Setidaknya itulah yang tergambar dalam diri saya sampai hari ini tentang ayah.

Terima kasih Ayah…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar