Selasa, 28 Desember 2021

BUKU 'LAKU HIDUP DI PESANTREN' 


Sekitar pertengahan tahun 1996 saya berdua dengan seorang teman diantar oleh ayah saya dan ayahnya untuk memondok di sebuah pesantren. Setelah perjalanan lama, dari Kalimantan Tengah maka sampailah kami di tempat yang dituju, yaitu Pondok Pesantren Al Falah Putera, tepatnya  di kelometer 23,5 Kelurahan Landasan Ulin Tengah, Kecamatan Landasan Ulin (sekarang berubah menjadi Kecamatan Liang Anggang) Kota Banjarbaru. 

Sejak saat itu maka resmilah saya menjadi seorang santri pada salah satu pondok pesantren terbesar di Kalimantan Selatan ini. Seperti halnya saya, begitu juga ayah, kami sama-sama tidak menyangka apalagi sempat terpikirkan saat mengantar saya ke pesantren untuk pertama kali, bahwa disinilah kelak saya akan tinggal menetap dan tidak bisa lagi lepas dari pesantren, karena ia telah menjadi rumah bagi saya.

Menulis tentang pesantren bagi saya sama dengan menulis diri saya sendiri. Atau paling tidak menulis tentang rumah saya sendiri. Karena seperti yang telah saya sebutkan di atas bahwa, sejak pertama kali ayah mengantar untuk belajar di pesantren, maka sejak itulah saya tidak pernah benar-benar lepas dan terpisah dari pesantren.

Setamat dari pendidikan di pesantren, saya justru dipinta untuk mengabdi di almamater saya sendiri. Kemudian saya melanjutkan pendidikan tinggi di perguruan tinggi yang ada di pesantren. Saya juga diberi tempat tinggal di dalam komplek pesantren, beristri orang yang berlatarbelakang pendidikan pesantren, hingga beranak pinak di dalam pesantren pula.

Karena itu dapat dikatakan bahwa jiwa dan raga saya ini adalah pesantren. Ketika menulis tentang pesantren, tentu saja, bias dan subjektifitas dalam setiap tulisan mungkin terjadi. Tetapi tulisan-tulisan yang ada dalam buku ini bukanlah laiknya karya ilmiah yang menekankan objektifitas itu. Ia hanyalah sebuah refleksi dan pandangan-pandangan seorang santri terhadap dirinya sendiri atau rumahnya sendiri. Dan kalaulah ada hal-hal positif dan sekiranya dapat memberikan manfaat dan pelajaran bagi para pembaca maka itulah tujuan ditulisnya buku ini.

Adapun tulisan-tulisan yang ada di dalam buku ini adalah kumpulan tulisan yang sebagian saya tulis di media-media online, seperti alif.id, islami.co  dan BANGKIT-MEDIA.COM. Sebagian lagi adalah tulisan-tulisan yang pernah saya fublikasikan lewat blog peribadi dan media sosial facebook yang sebaginnya telah saya sunting ulang. Tulisan-tulisan ini sebagian besarnya bertemakan tentang kiai, santri dan segenap kegiatan dan perilaku orang-orang yang hidup di pesantren. 

Bagi kawan-kawan yang berminat terhadap buku ini silahkan memesan lewat nomor WA 0852 5260 2939. 



Kamis, 27 Februari 2020

Anggapan Keliru tentang Pesantren







Photo: Ekslusif 



Banyak para orang tua yang masih berpandangan keliru tentang pesantren. Mereka beranggapan bahwa pesantren layaknya sebuah bengkel. Sehingga ketika anak-anak mereka bermasalah maka, pesantren adalah tempat yang tepat untuk mendidik anak-anaknya.

Tugas bengkel adalah memperbaiki kerusakan.  Tidak semua pesantren dapat melakukan hal ini.  Ibarat sebuah motor yang sudah rusak, orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada  bengkel, selanjutnya permasalahan selesai. Begitukah? Itulah anggapan yang keliru yang saya maksud di atas. Ada memang beberapa pesantren, yang berkhusus bidangnya di sini, bisa menangani orang-orang yang (maaf) ‘sudah rusak' seperti itu, yang kita kenal sebagai pesantren rehabilitasi. Tetapi itu tidak sembarang pesantren, sebagian besar pesantren justru menolak keras dengan melakukan tes yang ketat saat penerimaan santri baru.

Disamping itu, ada pula para orang tua yang ingin memasukkan anaknya karena terdesak oleh lingkungan, --baik lingkungan dalam keluarga maupun lingkungan luar (sekitar)-- dan khawatir anaknya terpengaruh terhadap lingkungan yang rusak (tidak kondusif) itu. Bahkan, ada juga orang tua yang memasukkan anaknya karena tren saja. Misalnya saat ini yang tren di masyarakat, terutama di media televisi atau media sosial dan lainnya. Fenomena ini kita kenal dengan tren berhijrah yang marak dipromosikan oleh para ustadz atau ustadzah selebritis.

Alasan-alasan di atas tidak sepenuhnya salah. Namun, mestinya orang tua yang bijak tidak memasukkan anak-anak mereka ke pesantren dengan sekonyong-konyong atau secara tiba-tiba. Harusnya orang tua, paling tidak, mengenalkan kepada anak-anak mereka sejak dini tentang pesantren. Kalau misalnya orang tuanya tidak berlatar belakang pendidikan pesantren, bisa mengajak anak-anak mereka berkunjung ke pesantren. Dengan demikian di dalam diri anak ditumbuhkan sejak dini kecintaan terhadap pesantren dan kehidupan yang ada di dalamnya. Dengan pengenalan ini membuat anak tidak merasa begitu asing lagi dengan dunia dimana nantinya ia akan dididik.

Persiapan waktu yang panjang, ditambah dengan pengenalan tentang kehidupan  sebagai seorang santri, akan membantu anak untuk mengenal lebih jauh lingkungan dan kegiatan dimana ia belajar nantinya. Persiapan itu tidak hanya dari segi materi dan fisik saja, tetapi yang teramat penting adalah persiapan mental untuk mau belajar dan tinggal di pesantren. Dengan demikian, anak tidak merasa terkejut dan terasing begitu jauh, karena mereka sudah memiliki mental juang dan semangat yang tinggi untuk mengecap kehidupan sebagai seorang santri.

Di pesantren hidup tidaklah mudah, dengan seabrek kegiatan dari mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi. Para santri diajarkan dengan kemandirian. Mereka dididik supaya hidup berdisiplin, dengan sederet peraturan plus dengan sangsi terhadap pelanggarnya. Hanya mereka yg bermental baja sajalah yg mampu melaluinya.

Bagi mereka yg bermental 'kerupuk,' karena terpaksa atau dipaksa oleh orang tuanya, lantaran tidak sanggup lagi mendidiknya, tidak akan dapat bertahan lama. Mereka inilah yang berpeluang melanggar peraturan-peraturan yg ditetapkan pesantren. Karena itulah para orang tua yang mendapatkan anaknya bermasalah dan tidak sanggup lagi mendidiknya agar memikirkan kembali untuk memasukkan anaknya ke pesantren.

Oleh Sebab itu, hal pertama yang ditanyakan kepada santri, setiap kali penerimaan santri baru adalah berkenaan dengan motivasi masuk ke pesantren. Kalau ada anak yang merasa terpaksa atau dipaksa oleh orang tuanya, maka besar kemungkian anak ini tidak akan bakalan lulus saat tes masuk. Kalaupun ada, 'kebohongan' ini nantinya akan terbongkar juga, karena ketika bermasalah atau disengaja bikin masalah, mereka mengakui bahwa masuk ke pesantren karena dipaksa atau takut pada orang tua.

Pengalaman saya selama mengajar di pesantren, rata-rata santri yang bermasalah dan melanggar peraturan adalah mereka yang memang tidak betul-betul ingin belajar di pesantren dengan berbagai macam alasannya. Ya, mungkin ada beberapa santri yang mulanya tidak ingin ke pesantren tetapi betah dan mampu bertahan sampai selesai. Saya rasa mereka tidak banyak. Rata-rata mereka banyak yang berhenti di pertengahan jalan atau, malah hanya mampu beberapa hari bertahan di pesantren.

Walhasil, perlu adanya kerjasama antara orang tua dan pihak pesantren untuk mensukseskan pendidikan anak-anak mereka. Tanpa adanya kerjasama yang baik diantara keduanya, maka tujuan yang ingin dicapai baik oleh orang tua, anak dan pesantren itu sendiri akan sulit untuk diraih.[]


Sabtu, 16 November 2019

Jihad Zaman Now

Jihad Zaman Now



Photo: Eksklusif


Bagaimana cara mengartikan jihad di zaman now? Sehingga tidak tersalah mengartikan jihad hanya sebatas perang melawan orang kafir saja. Tulisan singkat ini mencoba untuk mengulik hal itu. 

Berjuang mempertahankan hidup demi tercapainya sebuah cita-cita merupakan bagian dari jihad. Kalau melihat dari makna jihad itu sendiri, yaitu; bersungguh-sungguh. Yakni bersungguh -bermujahadah- untuk menjadikan masa depan lebih baik. Sehingga tidak mudah terbawa kepada hal-hal yang bersifat negatif.

Mereka yang bersekolah dengan tujuan agar tidak menjadi terbelakang, karena miskin pengetahun yang berdampak pada sulitnya mendapatkan pekerjaan --walaupun tidak terlalu tepat bila sekolah selalu dikaitkan dengan dunia kerja-- adalah bagian dari jihad tadi. Mereka yang berjuang keras agar generasi dibelakangnya tidak menjadi generasi yang lemah, baik dari segi mental, fisik dan lain sebagainya juga bagian dari jihad. 


Jihad jangan diartikan secara sempit, hanya sebatas mengangkat senjata untuk memerangi orang kafir saja. Mengartikan jihad hanya pada sebatas perang bisa menyebabkan kita terjebak pada penyempitan makna jihad itu sendiri. Kita sudah berada pada zaman yang jauh berbeda dari zaman ketika kita masih dijajah oleh orang-orang koloneal. Jihad sekarang bukan lagi mengangkat pedang untuk memerangi orang kafir di medan perang. Tapi jihad saat ini adalah bagaimana kita mengangkat pena agar terhindar dari keterbelakangan. Bagaimana kita bisa lepas dari jerat kemiskinan, baik miskin materi, lebih-lebih lagi miskin pengetahuan.


Kemiskinan ibarat mata rantai yang sambung menyambung yang sangat sulit untuk diputuskan. Perlu usaha keras untuk bisa memutus mata rantai kemiskinan. Miskin dari segi materi mungkin tidak terlalu berbahaya, namun miskin pengetahun akan berakibat kepada miskin pikiran. Orang mungkin, bisa dengan mudah keluar dari miskin materi, asal mau bekerja sedikit lebih keras, gigih, tapi tidak dengan miskin pengetahuan. 


Orang-orang yang miskin pengetahuan (baca tidak berilmu) akan mudah diombang ambingkan keadaan, karena ketiadaan (minimnya) nalar dalam merespon informasi yang didapat. Jadilah semua informasi ditelan mentah-mentah tanpa ada proses penyaringan. Mereka yang punya pengetahuan akan mampu memfelter setiap informasi yang diterima, kemudian menyaringnya dan memilah mana informasi yang laik dikonsumsi dan mana yang tidak.


Begitu masif dan derasnya informasi yang kita terima, terutama dari media-media seperti televisi, media sosial dan lain sebagainya, bila tidak barengi dengan penyaringan yang baik bukannya menjadikan kita bertambah cerdas, malah bisa-bisa menjadi sebaliknya. Jadilah bodoh di zaman berkelimpahan ilmu pengetahuan atau malah menjadi gila di zaman di mana orang-orang berlomba-lomba untuk menjadi waras. 


Jadi, jihad di zaman now adalah jihad memerangi diri kita sendiri, yakni jihad melawan kebodohan agar kita senantiasa menjadi orang yang waras, tidak gila.


Wassalam...

Minggu, 15 September 2019

Santri, Kitab Kuning dan Keberkahan



Dimanakah Anda mengenal pertama kali kitab kuning? Mungkin sebagian besar akan menjawab ketika berada di pesantren. Ya, kitab kuning dan pesantren memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan, selain dari beberapa unsur lainnya, seperti asrama/pondok, Kiyai, santri dan masjid/mushalla sebagai pusat kegiatan ibadah, pembelajaran, maupun kegiatan keagamaan lainnya.

Kitab kuning atau kitab klasik (al-kutub al-shafra' atau al-kutub al-qadimah) dikalangan pesantren dikenal dengan ‘kitab gundul’ karena tidak menggunakan baris atau harokat. Sebagai seorang santri menenteng kitab kuning ketika berangkat ke kelas atau ke pengajian merupakan kebanggaan tersendiri. Wajar saja, karena kitab kuning merupakan elan vital yang menjadi ciri khas dalam tradisi akademik pesantren.

Kitab kuning sangat dihormati, ia dijadikan sebagai acuan berfikir dan bertingkah laku dikalangan santri di pesantren dan dianggap paling absah. Kitab kuning juga dianggap sakral, ia diletakkan ditempat yang tinggi, dibawa dengan diletakkan di atas dada, dicium setelah dibaca, hal ini karena kitab kuning ditulis oleh ulama dengan kualifikasi ganda, keilmuan yang tinggi dan hati yang disinari cahaya Ilahi. Karena itulah menghormati orang yang berilmu dan memuliakan karya-karya mereka adalah hal yang diharuskan dalam dunia pesantren.

Mengkoleksi kitab kuning, menyusunnya berjejer dengan rapi dan memajangnya di rak pribadi apalagi cetakan Beirut, bagi santri atau mereka yang pernah bersekolah di pesantren adalah pemandangan yg sering kita lihat. Selain mengharap berkah, barangkali ini adalah semacam pengukuhan identitas diri di masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional dan religius.




Tahun pertama berada di pesantren, kami belum diwajibkan mempelajari kitab kuning. Tahun pertama adalah kelas persiapan (tajhiziyah) sebelum memasuki jenjang Wustha (tingkat menengah). Melihat para santri pada tingkat yang lebih tinggi, menenteng kitab yang besar-besar ketika berangkat maupun pulang belajar membuat kami yang baru berada ditingkat awal ini merasa ngiri. Betapa keren dan gagahnya  mereka dalam pandangan kami sebagai santri baru. Rasanya tidak sabar inggin naik tingkat kelas supaya bisa juga menenteng kitab-kitab itu seperti mereka. Padahal saat itu belum terpikirkan apakah kami dapat membaca kitab-kitab itu nantinya.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa, mereka yang bersekolah di pesantren semuanya pasti bisa membaca kitab kuning. Kenyataannya tidak. Selama enam atau tujuh tahun sekolah di pesantren tidak menjamin santri bisa dengan mudah membaca kitab kuning. Tanpa memahami dan menguasai ilmu-ilmu alat, seperti Nahwu, shoraf, ditambah dengan perbendaharaan kosa kata bahasa Arab yang memadai, dijamin orang tidak akan bisa dengan mudah membaca kitab kuning. 

Ilmu Nahwu selain hapalan titik tekannya adalah pada pemahaman. Ilmu shoraf juga pemahaman tapi titik tekannya pada hapalan, demikian juga bahasa, harus banyak-bayak hafal kosa kata, flus sering-sering latihan. Dengan menguasai ketiga disiplin ilmu inilah seorang santri kelak dapat membaca dan memahami kitab kuning. Untuk mendapatkan kemampuan dan pemahaman yang lebih bagus lagi para santri harus menambah lagi dengan pengetahuan pendukungya, yaitu; ilmu Mantiq dan Balaghah.

Begitulah, perlu bertahun-tahun bagi santri untuk dapat membaca dan memahami kitab kuning, itupun mesti harus dibarengi dengan kerja keras dan ketekunan yang mendalam. Karena itulah tidak jarang kita temui --artinya masih banyak-- santri yang relatif lama bersekolah di pesantren, namun penguasaannya dalam membaca dan memahami kitab kuning masih lemah.

Karena itulah guru-guru selalu menasehati kepada kami para santrinya agar senantiasa belajar dan terus mutalaah kalau benar-benar ingin bisa membaca dan memahami kitab kuning dengan baik. Jangan sampai seperti Alquran karam (bahasa Banjar, untuk menyebutkan Alquran yang sudah lusuh yang halamannya sebagian sudah tidak lengkap lagi). Dibaca kada kawa (dibaca tidak bisa, karena sebagian halamannya sudah hilang), dibuang mangatulahani (dibuang bisa bikin kualat). Artinya santri yang memilki ilmu yang tanggung hampir-hampir tidak ada gunanya di masyarakat nanti apabila sudah selesai di pesantren.




Namun, kata guru lagi, senakal-nakalnya orang yang pernah bersekolah di pesantren, masih ada batasannya. Maksudnya walaupun ia nakal, suatu saat dia pasti akan bertaubat dan akan menjadi orang baik. Begitulah cara guru-guru kami mendidik kami, do’a mereka selalu menyertai walau bagaimanapun keadaaan para santrinya, mereka tetap dido’akan supaya mereka mendapat keberkahan dalam hidupnya kelak.

Kami dan Kecintaan terhadap Tanah Air






Tentara Sekutu memasuki kota Bandung bulan Oktober 1945, para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang dalam pergulatan untuk melaksanakan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari tangan tentara Jepang.

Tentara Sekutu menuntut supaya senjata-senjata yang diperoleh dari hasil pelucutan tentara Jepang dan berada di tangan para pemuda, diserahkan kepada Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama, agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga keamanan.

Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Republik, sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan-pasukan Sekutu. Batas kota bagian utara dan bagian selatan adalah rel kereta api yang melintasi kota Bandung.

Untuk kedua kalinya pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. Kali ini supaya TRI mengosongkan seluruh kota Bandung.
Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung, tetapi sementara itu dari markas TRI di Yogyakarta datang intruksi lain, yaitu supaya kota Bandung tidak dikosongkan.

Akhirnya TRI di Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung pejuang-pejuang Republik melancarkan serangan umum ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu dan membumi hangus kota Bandung Selatan.

Jadilah kota Bandung bagian selatan dibakar menjadi lautan api oleh para pejuang sebelum meninggalkan kota Bandung pada tanggal 23 Maret 1946. Peristiwa ini dikenal sebagai “Bandung lautan api”. Oleh seniman terkenal Ismail Marzuki diabadikan dengan suatu mars perjuangan yang sangat terkenal, ‘Halo-Halo Bandung”.

Halo, Halo Bandung,
Ibukota Pariangan,
Halo, Halo Bandung,
Kota kenang-kenangan.

Sudah lama beta,
Tidak bejumpa dengan kau,
Sekarang telah menjadi lautan api,
Mari Bung rebut kembali.

Ketika masih sekolah dasar kami dengan semagat kami menghapal lagu-lagi wajib yang di ajarkan di sekolah. Lagu-lagu perjuangan kami nyanyikan dengan penuh semangat, temasuk mars Halo, halo Bandung ini.

Masalahnya, kami anak-anak Kalimantan yang sebagian besar dari suku Dayak dan Banjar tidak mengenal istilah 'beta' atau 'bung'. Jadilah ketika menyanyikan bait terakhir lagu Halo, Halo Bandung yang mestinya: "Mari Bung rebut kembali", malah terpeleset menjadi berbunyi: "Maribung ribut kembali..." Dengan peninggikan pada bunyi bung dan but..nya.

Sebenarnya bukan itu saja lagu-lagu perjuangan yang kami sering terpeleset dalam penyebutnya, misalnya lagu Garuda Pancasila, pada bait: "Pribadi Bangsaku" alih-alih menyebutnya "pribadi bangsaku, kami justeru menyebutnya dengan: "Ribang-ribang satu..." Masih lagu yang sama, yang seharusnya dinyanyikan dengan: "Akulah pendukungmu", kami justeru menyanyikan dengan: "Akulah panduku muu.."

Sekalipun kadang tersalah menyebut dalam menyanyikan, tapi tidak mengurangi semangat kami untuk mencintai negeri ini. Kami selalu bersemangat menyanyikannya dalam setiap kesempatan, walaupun ketika itu kami belum tahu bahwa Ibukota negara akan dipindahkan ke Kalimantan...





Kamis, 20 Juni 2019

Sarung, Identitas Kaum Santri


Sarung, Identitas Kaum Santri





Beberapa kurun dahulu, kaum santri terkenal ndeso, lugu, jorok, serta seabrek predikat miring yang ditujukan kepada mereka. Santri juga identik dengan kaum Islam tradisional atau kaum sarungan, dan pemakai sandal jepit. Wajar, karena banyak santri yang memiliki latar belakang ekonomi menengah ke bawah, meskipun para santri juga ada yang berasal dari kalangan menengah ke atas.

Tetapi di balik anggapan miring yang ditujukan kepada kaum sarungan ini, banyak nilai-nilai positif yang bisa diteladani, seperti: kehidupannya yang sederhana, keimanan yang kokoh, serta cintanya terhadap tanah air yang tak pernah lekang.

Suatu ketika K.H. Hasyim Muzadi pernah berujar tentang santri dan perihal kebiasaan bersarung mereka. Begini: “Ini lomba selawatan di Surabaya. Yang menang ternyata anak-anak Muhammadiyah. Mereka pakai piano, pakai jas, dasi. Lah, anak-anak NU pakai sarung; gak tahu, pakai celana dalam apa tidak!?.”

Terlepas dari pakai celana dalam atau tidak, sarung memang lekat dengan kaum yang satu ini. Bahkan salah satu gelar yang diberikan kepada mereka adalah 'kaum sarungan.' Kalau masih penasaran, Anda bisa melakukan survei kepada beberapa santri apakah pakai dalaman atau tidak. Yang penting pakai sarung itu bikin sejuk, adem dan tidak gerah...hahaha..

Pertama-tama masuk ke pesantren mengenakan sarung memang susah-susah gampang. Selain susah rapinya, bundelannya juga besar-besar. Jadinya malah tidak praktis, susah kalau mau berkegiatan. Namun itu tidak berjalan lama. Tidak sampai satu bulan memondok para santri sudah mahir menggunakan pakaian khas masyarakat muslim Indonesia ini.

Selagi masih di pesantren atau pun ketika sudah pulang ke rumah, mereka tetap betah menggunaakan sarung. Santri tidak canggung lomba lari hingga main sepak bola menggunakan sarung. Kalau pertama kali menggunakan sarung dikatakan tidak praktis, ribet dan sebagainya, justeru lama kelamaan menjadi ketagihan dan dianggap lebih praktis daripada pakai celana. Soalnnya kalau mau cepet-cepet dan tergesa-gesa mau buang air atau yang lainnya tinggal buka saja, urusan selesai.

Pada masa penjajahan sarung identik dengan perjuangan melawan kolonial serta budaya yang mereka bawa. Busana ini melekat sebagai identitas kaum santri yang pada waktu itu menjadi simpul gerakan rakyat di akar rumput. Bagi para santri, sarung adalah identitas diri yang membedakan mereka dari kaum abangan yang komitmennya terhadap kemerdekaan cenderung tidak stabil. Tidak sedikit dari kaum abangan ini yang begitu mengagumi dan meniru budaya kolonial, sehinggan nasionalisme mereka diragukan.

Setelah kemerdekaan, kesetiaan para santri terhadap sarung tidak pernah lekang, malah sarung dijadikan sebagai symbol kebudayaan bangsa yang otentik. Tidak sulit untuk mendapatkan contoh tentang ini. Adalah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Abdul Wahab Chasbullah suatu ketika pernah diundang oleh presiden Soekarno. Protokol kepresidenan meminta beliau untuk berpakaian lengkap dengan jas dan dasi. Namun, saat menghadiri upacara resmi kenegaraan itu, beliau malah datang dengan menggunakan sarung. Padalah pada acara-acara resmi seperti itu, biasanya orang datang memakai jas lengkap dan memakai celana.

Sebagai seorang pejuang yang sering berperang melawan penjajah Belanda dan Jepang, Kiai Wahab tetap konsisten menggunakan sarung sebagai simbol oposisi terhadap budaya Barat. Beliau ingin menunjukkan martabat bangsanya di hadapan siapa saja, termasuk di hadapan penguasa negerinya, dan generasi penerus selanjutnya.

Sekarang, setelah jauh berlalu, sarung sudah menjadi busana nasional yang marak dekenakan oleh hampir semua kalangan, mulai dari presiden hingga rakyat jelata. Karena sarung yang telah menjadi busana khas Nusantara ini benar-benar sangat simple, praktis.

Seorang santri sangat bangga memakainya. Kelak setelah menjadi orang ternama seperti; presiden, menteri, dubes, gubernur, walikota, bupati, hakim, tentara, polisi, dokter, dosen, atau yang lainnya, sarung tetap setia menemani mereka, dan menjadi busana yang menyenangkan dan tidak akan ditinggalkan.

Saat ini banyak para santri yang melanjutkan menuntut ilmu ke luar negeri, terutama negara-negara Arab (Timur Tangah), seperti di Mekah, Madinah, Yaman, Syiria, Lebanon yang selalu memakai pakaian khas Arab; gamis atau jubbah. Tetapi mereka tidak pernah meninggalkan sarung, malah justeru mengawinkannya. Mereka memakai gamis dan jubbah, tetapi dalamannya memakai sarung.[]



Wirid dan Kaum Sarungan



Sumber Photo: NU Online



Wiridan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan santri di pesanren. Bahkan wirid bisa dikatakan sebagai ruh nya pesantren. Dimanapun santri berada, mesti tidak lepas dari wiridan. Kumpulan wiridan ini disebut dengan awrad. Makna wirid sendiri berarti sesuatu yang di ulang-ulang. Dalam pengertian yang lebih luas, wirid adalah amalan yang dikerjakan secara tetap dan tertib. Wirid juga dapat berupa ibadah secara tertib termasuk zikir yang dikerjakan terus menerus, tidak pernah ditinggalkan.

Beberapa wirid dibaca sebelum dan sesudah sholat lima waktu. Beberapa lagi berdasarkan waktu, misalnya dibaca di pagi hari atau di sore hari. Di pesantren kami, wirid biasanya dibaca bersama-sama dan sebagian lagi dibaca sendiri. 

Pada santri pemula pembacaan wirid dijaga dan kontrol dengan ketat. Mereka diwajibkan memegang buku kecil kumpulan wirid yang sudah disusun terlebih dahulu, yakni amalan harian. Pengontrolan ini dimaksudkan agar para santri betul-betul fokus membaca dan melafalkan secara benar untuk kemudian menghafalkannya. Pada kegiatan tertentu sejumlah wirid diperlombakan untuk memotivasi para santri agar lebih bersemangat menghafalkannya.

Jamaknya, wirid berisi ayat-ayat Aquran, shalawat, zikir, nama-nama Allah (al-Asma’ al-Husna), do'a-do'a dan lain-lain. Tetapi di pesantren, kitab-kitab, seperti matan Jurumiyyah, Alfiyah dan kitab matan lainnya bisa menjadi wiridan. Wirid dijadikan sebagai teknik untuk menghapal kitab-kitab matan. Atau, bisa juga, difungsikan untuk mendaras sebelum atau sesudah menghafalkan.

Begitu pentingnya wirid, di pesantren beredar sebuah ungkapan yang berbunyi: "man laisa lahu al-wirdu fahua al-qirdu" (barang siapa yang tidak mau berwirid maka dia sama dengan binatang kera). Entah bagaimana caranya menghubungkan antara orang yang tidak suka berwirid dengan binatang kera, sampai sekarang bagi saya masih belum jelas. Mungkin saja, orang yang tidak berwirid, prilakunya dianggap seperti binatang kera yang culas, rakus dan tetap jail, sekalipun telah diberi makan banyak oleh pemiliknya.

Setelah selesai sholat lima waktu, orang harus berwirid terlebih dulu, yang sebagian isinya adalah ayat-ayat Alquran, zikir dan puji-pujian kepada Allah. Mereka yang langsung berdo'a setelah sholat dianggap sebagai orang yang kurang beradab. Dan sebagai seorang santri, adab harus dipegang di atas segalanya, sebuah ungkapan berbunya; "man laisa lahu al-adab fahua al-dhab" (orang yang tidak punya adab maka dia seperti binatang dhab --sejenis biawak).

Sebagai seorang yang sejak kecil hidup di lingkungan yang kental dengan kultur NU kemudian bersekolah di pesantren, ketika suatu saat dihadapkan dengan kultur yang berbeda, tentu ada semacam keanehan yang menghinggapi dipikiran dan perasaan. Setidaknya perasaan itu muncul saat pertama kali. Misalnya dilingkungan Muhammadiyah setelah selesai sholat orang tidak berwirid secara berjamaah, tapi masing-masing. Atau hal-hal lainnya yang berbeda seperti qunut pada sholat subuh, rakaat dan ritual sholat Tarawih dan lain-lain. 

Sebagian kaum santri yang agak fanatik, mungkin akan memilih dulu masjid sebelum melaksanakan sholat jum'at atau tarawih karena permasalahan wirid ini. []