Minggu, 03 Februari 2019

Jangan Terperdaya oleh Latah Musiman


Beberapa tahun dahulu beredar di tengah-tengah masyarakat sebuah ungkapan "Banyak anak banyak rezeki." Ungkapan itu sedikit banyaknya mempengaruhi pandangan masyarakat awam perihal ‘memproduksi’ keturunan. Dalam konteks dahulu, pandangan seperti itu mungkin sah-sah saja. Karena pada masa itu tenaga manusia memang sangat diperlukan untuk membuka lahan yang masih luas dan tidak terbatas.

Mereka yang mempunyai anak yang banyak, apa lagi laki-laki, tentu akan sangat membantu orang tuanya, ikut membuka lahan, menanami, makin banyak lahan yang ditanami, makin banyak rezeki yang di dapat. Di sini berlaku, banyak anak, banyak rezeki.

Lain dulu, lain sekarang. Kalau dulu orang punya anak banyak, akan berkelimpahan rezeki. Zaman sekarang itu mungkin tidak begitu relevan lagi. Bisa saja banyak anak, bukannya rezeki yang didapat tetapi malah bencana, atau malah bisa membikin bangkrut, apabila anak-anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang mamadai.

Saat ini di pedesaan, apalagi perkotaan, tanah dan lahan yang dimiliki oleh masyarakat tidak seluas dulu lagi. Tanah dan lahan yang dahulu subur kini sudah beralihfungsi menjadi tempat pemukiman yang padat. Kalaupun masih dalam bentuk lahan, itupun tidak dimiliki sepenuhnya oleh para petani. Kebanyakan lahan sudah dikuasai oleh korporasi. Jadilah masyarakat hanya sebagai buruh dari lahan-lahan yang dahulunya kepunyaannya itu.

Pekerjaan makin sulit didapat. Lahan makin sempit. Itulah yang dirasakan masyarakat kelas bawah saat ini. Mereka yang punya tanggungan keluarga lebih banyak tentu harus berpikir keras untuk dapat menghidupi keluarganya. Itu baru untuk menghidupi lho, belum lagi kalau berbicara masalah pendidikannya. Dapat dibayangkan bagaimana susahnya.

Pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat. Umat manusia sudah sangat banyak, bumi ini sudah semakin sesak. Manusia yang dilahirkan lebih banyak dari manusia meninggal. Jadilah bumi yang satu-satunya ini sebagai tempat kehidupan menjadi rebutan. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, jadilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, karena ketiadaan pemerataan. Bukan karena bumi dan alam ini tidak mampu menyediakan kebutuhan penghuninya, masalahnya adalah, kekayaan yang dimilikinya hanya dikuasai oleh segelintir manusia rakus yang tidak pernah puas kecuali bumi (baca tanah) itu sendiri yang diciumkan ke hidung mereka.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat itu ternyata hanya sebuah selogan belaka. Dulu di masa orde baru, ketika kami masih sekolah SD, sambil berdiri tegak dan bersuara lantang, kalimat inilah yang kami dengungkan setiap pagi sebelum belajar dimulai. Namun, justeru rezim itulah yang menggasak kekayaan alam ini selama lebih dari 3 dasawarsa. Keadilan itu bukan bagi seluruh rakyatnya, tapi bagi antek-anteknya.

Setelah cengkraman rezim itu berlalu, asa untuk mendapatkan kedilan itu kembali bertunas. Namun harapan tinggal harapan, kenyataannya keadilan tak kunjung tiba. Dulu saja, ketika semua orang mulai dari para elit sampai rakyat jelata, hapal di luar kepala sila-sila itu hingga sila ke lima, itupun, mereka tak perduli kepada rakyat. Apalagi kini, mereka, para elit penyelenggara negara itu justeru tak hapal dasar negara. Ah, kita ragu semua itu. Jangan-jangan keadilan itu hanya sebagai alat pemanis kata untuk meninabobokan kita.

Hutan-hutan digunduli, isi bumi di kuras habis-habisan. Tambang batu bara, minyak bumi, batu besi, timah, emas, dan lain-lain, siapa penikmatnya? Segelintir orang. Lalu rakyat dapat apa? Dari dulu rakyat hanya dapat asap polusi dari pembakaran hutan. Rakyat harus puas dengan menghirup asap dan debu batu bara. Rakyat harus menanggung derita karena ancaman banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sekali lagi di mana letak keadilan.

Sudah berapa kali berganti kepala negara, adakah yang berubah dari rakyat jelata? Sudah berapa kali berganti pemimpin adakah yang berubah dari kita? Dari pemilu ke pemilu, kita merangkai asa di dalam bilik keramat itu untuk mendapatkan pemimpin yang adil. Dari pemilu ke pemilu juga kita ditipu mentah-mentah oleh mereka.

Kini hajatan akbar itu hampir tiba, seperti biasa rakyat kembali di elu-elukan. Tiba-tiba saja mereka seolah dekat dengan rakyat. Segala cara di tempuh hanya untuk mendapatkan suara rakyat. Semua daya dan upaya dikerahkan, tak perduli hukum dan tatak rama, semuanya di langgar, asal dapat mendulang suara. Berita-berita hoax dihembuskan. Isu dan fitnah disebarkan. Ketenangan rakyat diobok-obok. Mereka yang dulunya hampir tak kenal agama, tiba-tiba bersuara lantang tentang agama. Ah, begitukan pemimpin yang akan kita pilih dan memimpin kita lima tahun kedepan?

Tiba-tiba saja simbol-simbol keislaman bermunculan, lihatlah; Kiai, santri, tauhid, ulama, masjid, dan lain-lain menjadi ramai diperbincangkan. Kalau perlu orang yang di dalam kuburan pun mereka bangunkan demi syahwat berkuasa. Simbol-simbol agama yang harusnya sakral itu dipolitisasi sedemikian rupa.

Sudahlah, kita jangan lagi terperdaya oleh latah musiman itu.


Kuta Bataguh: Sebuah Kerajaan yang Hilang




Cerita tentang sebuah kota yang hilang (the lost city) yang kemudian ditemukan kembali dengan cara-cara yang tidak terduga. Berawal dari penemuan tembikar seperti dalam film The Lost City of Z, terjadi juga di kampung kami Handil Kota Kelurahan Pulau Kupang Kecamatan Bataguh Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.

Kejadiannya hampir sama, sekitar akhir tahun 80-han, seorang petani pendatang yang keheranan setiap kali meratakan tanah atau membikin bedengan dengan peralatan tani tradisionalnya, seperti cangkul dan lain-lain menemukan berbagai macam jenis tembikar. Dengan iseng petani ini mencoba mengais-ngais tanah dan mencermatinya dengan seksama, tiba-tiba ia melihat pancaran cahanya kekuning-kuningan dari balik tumpukan tanah. Kemudian ia memungutnya untuk meyakinkan, ternyata betul saja, benda itu adalah emas, logam mulia yang sangat bernilai.

Kalau dalam film The Lost City of Z sang penemu, karena rasa penasaran membawanya pada penyelidikan. Penyelidikan menjelma menjadi petualangan. Petualangan melahirkan cerita untuk dikenang terlepas dari sang petualang berhasil atau gagal. Di sini justeru temuan artefak sejarah yang amat sangat bernilai ini diserbu oleh masyarakat beramai-ramai. Apalagi kalau bukan karena kilauan si logam mulia ini. Walaupun yang mereka kejar adalah emas, tetapi semua benda-benda peninggalan bersejarah itu ikut hancur seiring dengan makin meluasnya wilayah eksplorasi.

Sebenarnya penemuan yang tidak disadari tentang situs sejarah ini sudah jauh terjadi sebelum ditemukan emas yang kebanyakan dalam bentuk jadi atau dalam bentuk leburan itu. Hampir semua masyarakat disekitar situs mencabuti dan mengambil kayu ulin bekas benteng sisa peninggalan kerajaan yang disebut dengan ‘Kuta’ itu. Kayu-kayu itu sebagian telah dijadikan sebagai bahan membuat rumah oleh penduduk sekitar. Salahkan mereka? Saya kira kurang tepat dan agak terlambat mempersalahkan mereka.

Sebagian penduduk yang lahir belakangan di wilayah ini kurang begitu mengerti dengan sebutan ‘kuta’, banyak diantaranya mengartikan kata kuta dengan kota. Mereka mengira bahwa dahulunya di daerah ini merupakan sebuah kota yang kini sudah ditinggalkan oleh penduduknya entah ke mana. Padahal kata kuta sendiri bermakna benteng dalam bahasa Dayak. Kesalahan itu terlihat pada penulisan nama kampung kami dengan nama Handil Kota, bukan Hadil Kuta.

Beberapa tahun terakhir, setelah aktifitas ‘penambangan’ sudah tidak ada lagi, karena emas yang dicari sudah habis dan lokasi bekas penambangan sudah menjadi hutan kembali, beberapa orang Tim Arkeologi dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah datang meneliti situs Kerajaan Bataguh ini. Menurut hasil laporan dari penelitian, yang tersisa dari benteng dan benda-benda lainnya hanya sekitar 5 persen saja. Sementara 95 persenya diduga telah hilang atau bisa juga sebagiannya masih tertimbun di dalam tanah.

Menariknya, walaupun situs ini nyaris tidak tersisa tapi bekas-bekasnya dapat terlihat melalui poto satelit. Anda dapat melihatnya melalui aplikasi google map, bekas kerajaan tersebut terlihat bundar menyerupai telur dengan luas hampir 5.000 meter. Kalau melihat dari luasannya situs Kuta Kerajaan Bataguh ini merupakan penguasa besar. Jika dibandingkan dengan kuta yang lain seperti yang ada di Kabupaten Gunung Mas. Dari sejumlah artefak yang ditemukan oleh masyarakat setempat seperti alat kayu pemintal, manik-manik dan logam. Termasuk temuan artepak kayu ulin yang digali oleh tim arkelog sendiri. Kayu ulin tersebut usianya diperkirakan 700 tahun masehi.



Uniknya lagi kerjaan Bataguh dulunya dipimpin seorang wanita cantik. Namanya Nyai Undang. Dia seorang raja yang cantik dan berambut panjang. Nyai Undang selain berani juga terkenal sakti.

Untuk artikel lainnya tentang Kerjaan Nyai Undang ini, silahkan diklik pada tautan ini: https://www.kompasiana.com/muhamadramli/5a8ab734f13344290b06d725/the-lost-city-menelusuri-jejak-nyai-undang-dari-kuta-bataguh


Selasa, 13 November 2018

CARA KAMI 'MENCIPTAKAN' KEBAHAGIAAN


Di daerah kami Kalimantan, Saat menanan atau mengetam padi para petani biasanya melakukannya bersama-sama (bergotong royong) dengan melibatkan banyak orang.  Laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak beramai-ramai pergi ke pahumaan (sawah) ketika musim tanam atau musim panen tiba.  Musim tanam dan musim panen biasanya tidak serempak antara satu kampung dengan kampung lainnya.  Sekalipun mayoritas petani menanam menyesuaikan dengan keadaan alam (sawah tadah hujan). Sawah-sawah yang berada di daerah dekat dengan aliran sungai utama biasanya memulai menanam agak lebih lambat dari sawah-sawah berada lebih jauh. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan air di sawah-sawah mereka.

Petani-petani yang padinya sudah siap ditanami atau dipanen mengambil jasa dari kampung lain yang belum masanya menanam atau memanen. Atau, bisa juga mereka datang sendiri ke kampung-kampung menawarkan jasanya. Siklus yang tidak merata ini tentu saja memudahkan para petani, terutama bagi mereka yang memerlukan banyak tenaga dan, tentu saja menambah pemasukkan bagi pemberi jasa (pambilupahan), termasuk bagi para buruh tani.

Begitulah suatu penomena biasanya melahirkan penomena lain yang menjadi turunannya. Berkumpulnya orang-orang terutama muda mudi sering kali dimanfaatkan sebagai ajang perkenalan atau pencarian jodoh. Sering kali para muda mudi mendapatkan jodohnya melalui peristiwa musiman ini. Di kampung-kampung jarang sekali ada perkumpulan-perkumulan yang dapat mempertemuan laki dan perempuan, terutama para muda mudi.  Pada awalnya mungkin mereka hanya berkenalan saja, atau bahkan hanya selorohan saja oleh orang-orang untuk memanas-manasi, dan hal tersebut bisa membuat mereka terpancing, dan justeru itulah yang menjadikan mereka menemukan jodohnya.

Saya ketika masih kecil sering ikut kegiatan ini, menanam atau memanen, terutama bila dilaksanakan di tempat orang tua saya. Disamping rasa senang dan riang juga sebagai ajang belajar bagi saya agar terampil menggunakan alat-alat pertanian yang sangat tradisional. Saya belum berani ikut mambilupah karena kemampuan saya masih belum sehebat dan seprofesional orang-orang. Selain itu saya senang mendengar orang-orang sambil bekerja sambil berceloteh, bercerita ngalur ngidul, menyerempet kesana kemari, sambil diiring dengan canda tawa hingga payah bekerja di tengah terik matahari tidak begitu terasa.

Masyarakat kami (sebagian besar suku Banjar dan Dayak) memang pandai bercanda, membangun cerita dan tokoh emajener seperti yang terkenal dengan tokohnya si Palui. Ada banyak cerita, sebagian cerita ini terulang-ulang dikisahkan. Biasanya cerita yang sama diceritakan oleh orang yang berbeda melahirkan kelucuan terendiri. Atau malah sama sekali tidak lucu.

Diam-diam saya mendengarkan dan mencermati apa yang mereka bicarakan, jujur saja aku merasa terhibur dengan celotehan-celotehan itu. Tidak terasa hari sudah beranjak siang, pertanda istirahat dari bekerja sebentar lagi tiba. Kegiatan ini biasanya dimulai sejak pukul 07.00 dan berakhir sekitar pukul 12.00, atau lebih awal lagi. Sekitar pukul 10.00-han biasanya ada istirahat untuk makan-makan. Makanan yang disajikan bisa makanan ringan atau bisa juga makanan yang lengkap, nasi, sayur, plus lauk-pauk yang enak. Makan di tengah sawah, sehabis capek dari bekerja sungguh nikmat sekali, walaupun dengan lauk-pauk dan sayuran seadanya. Karena itulah para petani rata-rata porsi makannya banyak-banyak.

Dangdut adalah musik yang akrab menemani mereka saat bekerja. Kenapa musik dangdut? Karena lagu-lagu dangdut mudah dicerna sehingga tidak susah untuk diterima. Bahasanya yang lugas dan sederhana sangat mudah dipahami oleh masyarakat kelas bawah, seperti kami para petani. Irama musiknya yang sangat melankolik sangat cocok dengan kehidupan kami para petani dalam mengekspresikan kehidupan yang kami jalani.

Karena itulah ketika berangkat ke tempat kerja, baik ke sawah, kebun atau lainnya yang tidak bisa ketinggalan selain bekal, 'peralatan perang', serta rokok dan korek api, adalah radio kecil. Mereka setia mendengarkan channel-channel radio yang memutarkan (karena dahulu menggunakan kaset) lagu-lagu dangdut sebagai penghibur sambil bekerja. Saat ini yang dibawa bukan lagi radio, tapi HP yang bisa digunakan untuk memutar radio kesayangan atau memutar lagu koleksi mereka sendiri melalui aplikasi yang ada di handphone tersebut.

Begitulah, sesulit apapun dan seberat apapun suatu pekerjaan ternyata ada cara-cara tersendiri yang bisa dilakukan untuk menciptakan kebahagiaan. Begitupun pula orang-orang yang telah saya ceritakan di atas. Mereka telah menciptakan kebagiannya sendiri tak perduli apa yang terjadi yang penting bisa bekerja dan menghasilkan, orang Banjar mengatakan “asal dapur haja kawa bakukus,” artinya masih ada yang bisa dimasak yang berarti bahwa perut bisa kenyang, yang berarti juga bisa menyambung hidup untuk hari esok.

Senin, 12 November 2018

Hulu dan Hilir, Ketika Keduanya Bertemu



Photo: Ekslusif

Ada perbedaan yang mencolok antara orang yang hidup di pesisir dengan mereka yang hidup di daerah hulu dan pedalaman ketika berbicara.
Orang-orang yang hidup dipesisir terbiasa dengan hiruk-pikuk dan bergelut dengan berbagai macam kesibukan. Aktifitas dengan mobilitas yang tinggi menimbulkan suara-suara yang menyebabkan kebisingan. Untuk bisa didengar ketika berbicara mereka biasanya meninggikan volume suaranya. Kebiasaan ini terbawa-bawa ketika berada di luar aktifitas keseharian yang sudah tidak bising lagi. Bagi anda yang tidak terbiasa mungkin saja menyangka orang-orang ini sedang marah-marah, tetapi ketika melihat raut wajahnya anda akan mengerti bahwa cara berbicara mereka memang begitu adanya.

Berbeda dengan mereka yang hidup di daerah hulu atau pedalaman, berprofesi sebagai petani atau berkebun, biasanya ketika berbicara nadanya biasa-biasa saja, datar-datar saja dan tidak cenderung meninggi. Profesi dan keseharian mereka yang cenderung sunyi, sepi, penuh dengan ketenangan, jauh dari hiruk pikuk tidak mempengaruhi gaya berbicaranya.

Lucunya ketika dua kelompok ini bertemu sekilas anda akan mengira mereka lagi berantem, padahal tidak. Pertemuan mereka biasanya terjadi di pasar-pasar tradisional, untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Selasa, 23 Oktober 2018

Buku Riwajat Manusia: Djiwa Jang Besar M. Arsjad Bandjar Surgi Hadji Besar Kalampajan


Photo: Ekslusif

Buku ini berjudul "Riwajat Manusia: Djiwa Jang Besar M. Arsjad Bandjar Surgi Hadji Besar Kalampajan", di tulis oleh H. Achmad Basuni 4 tahun sebelum Indonesia merdeka yakni pada tahun 1941 di Barabai Hulu Sungai Selatan Kalimantan Selatan. Ditulis masih menggunakan ejaan lama, diterbitkan oleh P.B. Musjawaratutthalibin Kandangan. Tidak ada informasi yang detil tentang penulis kecuali bahwa beliau menyebutkan bahwa buku ini telah selesai ditulis ketika beliau masih menjabat sebagai Redaktur "Warta Mingguan" dan peladjar (mungkin mahasiswa) dari "Persatuan Perguruan Islam" di Pantai Hambawang Barabai.

Lazimnya seorang sejarawan dalam menulis tentang sejarah mesti terjadi penafsiran-penafsiran atau interpretasi-interpretasi dari penulis yang berhubungan dengan tokoh yang diceritakannya. Ada beberapa hal yang saya tangkap ketika beliau menguraikan tentang beografi tokoh Syekh Muhammad Arsyad Albanjari ini.

Pertama, ketika beliau mengisahkan tentang kemumpunian ilmu Syekh Arsyad Albanjari sepulang beliau dari menuntut ilmu di Mekkah selama 30 tahun dengan menguasai tidak kurang dari 35 disiplin ilmu. Bukan hanya ilmu agama yang beliau tekuni tapi juga ilmu-ilmu keduniaan, seperti falak, handasah, hisab, ilmu bumi, ilmu tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.

Beliau mengulas ini dengan mengatakan bahwa pandangan Albanjari tentang ilmu jauh kedepan, bahwa seorang alim dalam Islam itu, bukan hanya penuh batinnya dengan pengetahun agama, tetapi juga harus menguasai ilmu pengetahuan umum yang dapat berguna untuk masyarakat diberbagai lapisan.

Penulis mengkritik ulama-ulama di zamanya yang mengabaikan pengetahun umum; "...sebagian ulama kita jang sampai sekarang seakan-akan masih mengabaikan pengetahuan umum itu, bahkan ada jang berkata, bahwa pengetahuan umum itu tak disuruh oleh agama Islam untuk mempeladjarinya".

Kedua, bahwa Albanjari digambarkan sebagai seorang yang pandai bergaul dan mempunyai kepercayaan diri yang tinggi. Albanjari tidak pernah segan dan kikuk ketika berhadapan dengan pembesar-pembesar Belanda dan pendeta-pendeta Nasrani ketika beliau datang pertama kali ke Jakarta. Sebagaimana yang dikatakan penulis: "Beliau tak ada mempunjai perasaan: "minderwaardigheids gevoel" alias perasaan lebih rendah.

Dimasa penjajahan, sebagai bangsa yang sekian lama terjajah tentu saja perasaan minder, tidak percaya diri dihadapan kekuatan penjajah menjadikan mental anak bangsa ini berada pada titik terlemah, terlebih ketika berhadapan dengan tuan-tuan pembesar Belanda ketika itu. Hal inilah yang ditekankan oleh penulis bahwa para ulama tidak hanya bergulat di desa-desa mengerjakan rukun-merukun, bahkan seharusnya juga berjuang dilapangan yang lebih luas, yang lebih menekankan kemampuan akal pikiran.

Ketiga, kritik terhadap budaya masyarakat, terutama budaya masyarakat Banjar yang merasa malu meminta laki-laki untuk menjadikan menantu atau suami dari anaknya. Beliau membandingkan Albanjari yang meminta kepada temannya sendiri Abdul Wahab Bugis untuk menjadi mantunya dengan mengawini anaknya Syarifah. Padahal ini penting dilakukan untuk kepentingan agama yang menghajatkan pertalian batin yang teguh, sebagaimana yang dilakukan Nabi Saw kepada dua orang sahabatnya Utsman dan Ali.

Beliau juga menyebutkan bahwa orang Kalimantan lebih terbuka dalam hal ikatan tali perkawinan dengan bangsa apapun, asal saja sama-sama seagama. Ini tidak berlaku buat orang Minangkabau waktu itu. Dimana masih terdapat adat yang keras bagi anak laki-laki atau perempuan mereka menikah dengan orang luar Minangkabau. Menurutnya jika saat ini bangsa Indonesia menginginkan persatuan orang Kalimantan sudah melakukan itu sejak ratusan tahun yang lalu.

Keempat, bahwa Albanjari menempatkan perempuan sejajar dengan laki-laki terutama dalam hal ilmu pengetahuan. Beliau menginginkan bukan hanya kaum laki-laki yang perlu dipenuhi otaknya dengan pengetahun, tetapi kaum perempuan pun juga harus medapatkan forsi yang sama. Sayang menurut beliau contoh dan teladan yang diberikan Albanjari ini dalam beberapa waktu lamanya telah hilang, larut dibawa oleh arus sungai Tabalong, Martapura dan Barito.

Dan kini, menurut penulis, kita mestilah harus bersyukur bahwa awan kekolotan itu telah makin menipis. Orang-orang tua kita sudah bayak yang mau membukakan pintu bagi anak-anak perempuan mereka untuk keluar rumah menuntut ilmu. Maka bagi tuan-tuan, dan ibu-ibu yang telah mengakui kealiman Albanjari, marilah meniru apa yang telah dicontohkan. Marilah menyerahkan putra dan putri tuan-tuan keperguruan, ketempat pengajian, baik perguruan agama maupun keperguruan umum.

Membaca karya H. Ahmad Basuni ini mengingatkan saya ketika membaca karya-karya Buya Hamka atau karya K.H. Saifuddin Zuhri.

Sabtu, 02 Juni 2018

Tuan Guru K.H. Muhammad Sani

TUAN GURU KH. MUHAMMAD SANI




Guru Sani, pendiri pondok pesantren Al Falah terkenal sebagai seorang figur yang sangat dipercaya oleh masyarakat di zamanya, karena kejujuran dan itegritas serta kepribadian yang terpuji yang dimiliknya. Beliau sering, dan bahkan secara rutin meminta bantuan sumbangan dari para pedagang di pasar-pasar di dekat kediaman beliau. Konon Guru Sani sempat diberi gelar sebagai tukang tagih pajak (penadah pajak) disebabkan ketegasan beliau dalam melaksanakan penagihan, Guru Sani bahkan menentukan sediri besaran yang harus disumbangkan oleh para dermawan. Karen itulah Guru Sani sangat dikenal oleh para pedagang, khususnya masyarakat Alabio, dan dianggap sebagai tuan guru mereka. 

Pada bulan puasa Guru Sani juga suka menjamu berbuka puasa masyarakat di sekitar langgar beliau. Sepanjang hidup beliau tercatat sebanyak 22 kali berhaji baik sendiri maupun membawa rombongan. Pada tahun 1980 Raja Arab Saudi memberikan sumbangan sebesar Rp. 63.704.110 dari dana ini kemudian dibangunkan asrama di pondok pesantren Al Falah Putra oleh beliau.

Konon K.H. Muhammad Sani berteman karib dengan Dr.K.H. Idham Chalid seorang tokoh NU asal Kalimantan Selatan. Suatu saat Guru Sani, begitu ia sering disapa, dipercayakan oleh Idham Khalid untuk membangun sebuah Madrasah di Jakarta yang diberi nama Darul Ma’arif. Setelah pembangunan madrasah selesai, Guru Sani ditawari oleh Idham Chalid untuk memimpin madrasah tersebut. Namun tawaran Idham Chalid ditolak dengan halus. 

Beliau mengatakan bahwa masyarakat Kalimantan Selatan masih perlu perhatian dalam hal pendidikan. Menurut pandangan Guru Sani masyarakat Kalimantan, khususnya Kalimantan Selatan masih sangat tertinggal jauh jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara ini.
HUBUNGAN KIAI SANTRI

Kiai Mustofa Bisri (Gus Mus) mengisahkan tentang hubungan yang luar biasa antara kiai dan santri di pesantren-pesantresn salaf. Menurut Gus Mus di pesantren, kiai-kiai yang mukhlis mereka memang betul-betul ikhlas dalam segala tindakannya lillah, hanya karena Allah. Bahkan banyak kiai yang menganggap tabu beramal lighairillah, beramal tidak karena Allah tapi agar dihormati oleh orang lain.

Gus Mus mencontohkan, misalnya pesantrin salaf pada umumnya adalah benar-benar milik kiai. Santri hanya datang dengan bekal hidupnya sendiri di pesantren. Bahkan ada atau banyak santri yang hanya untuk hidupnya pun menumpang’ dari kiai.
Kiai semacam ini menurutnya ibarat mewakafkan diri dan seluruh miliknya untuk para santri. Dia memikirkan, mendidik, mengajar dan mendo’akan santrinya tanpa pamrih. Bukan saja saat santri itu mondok di pesantrennya, tetapi juga ketika mereka sudah terjun di masyarakat.

Contoh lain adalah ayahanda Gus Mus sendiri, Kiai Bisri Musofa, beliau sering diundang pengajian ke luar kota dan tidak jarang panitia memaksanya untuk mengisi pengajian pada hari-hari dimana pesantren tidak libur. Bila harus melakukan hal yang seperti itu, beliau selalu bermunajat kepada Allah sebelum naik mimbar, “Ya Allah, Engaku tahu hamba datang ke sini karena diminta saudara-saudara hamba untuk menyampaikan firman-firman-Mu dan sabda-sabda Rasul-Mu; namun sementara hamba di sini, santri-santri hamba yang hamba tinggal di pesantren prei tidak hamba ajar. Oleh karena itu, ya Allah, apabila amal hamba di sini ada pahalanya, hamba mohon tidak usah Engkau berikan kepada hamba; ganti saja pahala itu dengan kefutuhan hati santri-santri hamba tersebut.” 

Gus Mus juga menyebutkan beberapa kiai lain yang dengan penuh keikhlasan berkhidmat demi kebaikan santrinya. Seorang kiai di Solo, pernah meminta kepada lurah pondok pesantrenya untuk menuliskan daftar santri yang ternakal agar ketika bertahajut mendo’akan para santri beliau bisa mengkhususkan nama-nama santri ternakal tersebut. 

Kiai Maksum, di Lasem, menurut Gus Mus, bukan hanya setiap waktu membangunkan santri-santrinya untuk sholat dan belajar, mendo’akan mereka setiap kali berdo’a, dan kemanapun beliau pergi selalu menyempatkan berkunjung ke rumah beliau yang beliau lewati, sekedar untuk melihat keadaannya.