Kamis, 20 Juni 2019

Tak Ada Sistem Zonasi di Pesantren



Yang agak ribet di pesantren setiap awal tahun ajaran baru adalah mengurusin santri baru. Salah satunya minta pulang, karena tidak betah atau belum kerasan, baik oleh anaknya maupun orang tuanya.

Suatu pagi seorang santri yang belum genap dua hari berada di pesantren mengetuk pintu rumah saya. Setelah saya membuka pintu, nampaklah sosok seorang santri dengan mata sembab, terisak-isak sambil menangis.

Saya: "Ada apa? Kok menangis?"

Santri: "Ijinkan saya pulang, sebentaaar saja ustadz."

Saya: "Kan kemaren sudah disampaikan bahwa santri tidak dibolehkan pulang kecuali, setelah tiga bulan dahulu di pondok".

Tetiba si Santri berjongkok, setengah tiarap dia memohon-mohon dengan menangis sekeras-kerasnya. 

"Ustaaaaad....saya mau pulang, saya mau pulaaang."

Sontak saja tetangga kanan kiri terkejut dibuatnya. Mereka kompak menanyakan: Apakah itu santri baru? Setelah saya mengiyakan, mereka memakluminya, sambil menutup tangan ke mulut kerena menahan tawa, mereka berpaling lagi ke dalam rumah. 

Akhirnya dengan beberapa nasihat si Santri bersedia untuk tidak pulang dahulu dan kembali ke asramanya dengan masih terisak setelah menangis keras.

Kurang lebih seminggu setelah kejadian itu, saya masuk kelas di mana si Santri berada. Saya melihat raut mukanya sudah jauh berbeda dari seminggu yang lalu. Terlihat lebih ceria. Saya tanyakan apakah masih ingin pulang ke rumah. Dia menjawab: Tidak ingin lagi, karena sudah merasa betah.

Tahun ini anak itu telah menyelesaikan pendidikannya di pesantren dengan beberapa prestasi, termasuk dalam bidang Bahasa Inggris.

Bagi orang tua yang tidak terlalu senang dengan sistem zonasi yang diterapkan oleh sekolah-sekolah saat ini, bisa memasukkan anaknya ke pesantren, karena di pesantren sistem itu tidak berlaku. Dengan syarat, siap-siap orang tua dan anaknya membendung air mata, menahan tangis...

Minggu, 03 Februari 2019

Fenomena Ziarah



Ziarah kubur adalah bagian terpenting dalam tradisi keberagamaan kaum santri, baik ketika masih berada di pesantren maupun ketika sudah berada di luar pesantren. Secara bahasa ziarah berarti mengunjungi, dengan makna yang umum. Bila kita tambahkan kata dibelakangnya "ziarah kubur", berarti "mengunjungi kuburan". Lazimnya ziarah kubur berarti datang ke kubur orang yang telah meninggal dengan tujuan mendo'akan agar mendapat ampunan dan terhindar dari azab 'alam barzakh (alam kubur).

Kaum santri, paling tidak, membagi ziarah kepada dua bagian;  pertama kepada orang biasa, seperti teman, keluarga, atau orang tua yang telah meniggal dunia. Ziarah kepada teman atau keluarga biasanya bertujuan untuk mendoakan agar orang yang diziarahi mendapat ampunan dari Allah atas dosa-dosanya selama hidup di dunia. Demikian juga ziarah kepada kedua orang tua.

Kedua, ziarah kepada orang-orang shalih, ulama dan para wali. Bagi santri, ziarah kepada orang-orang ini tidaklah bertujuan untuk mendoakan agar diampuni dosa-dosa mereka. Bagi mereka para wali, orang shalih dan alim adalah orang-orang yang terpelihara dari dosa. Alih-alih mendoakan, malah justeru kita yang minta barokah kepada mereka agar diberikan petunjuk oleh Allah dalam mengarungi kehidupan.

Makam para wali dan orang-orang alim ini selalu ramai dikunjungi sepanjang waktu, yang sebagian besar terdiri dari kaum santri. Di sinilah mereka bermunajat, memohon kepada Allah agar dikabulkan hajat dan dimudahkan segala urusan. Bagi sebagian lagi, ziarah dijadikan sebagai sarana untuk bertafakur, merefleksi diri, serta melembutkan hati dengan mengingat mati.

Wisata Ziarah

Beberapa tahun belakangan terjadi penomena baru soal ziarah ini. Ziarah tidak melulu soal akhirat, sakral dan tidak ada hubungannya dengan keduniaan. Orang-orang menjadikan ziarah selain untuk berdoa juga sekaligus untuk bewisata. Penomena ini dikenal juga dengan wisata relijius. Selain beribadah dalam rangka berziarah kepada para wali --daerah Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan, menyebutnya ziarah kepada para datu-- sekaligus juga dijadikan sebagai wahana untuk berekreasi. Bagi beberapa daerah ziarah kubur justeru dijadikan sebagai alternatif pengembangan tradisi yang bermanfaat secara sosial dan ekonomi.

Yang kita khawatirkan adalah bahwa akan terjadi pendangkalan (kehilangan) makna yang sesungguhnya dari ziarah itu sendiri. Orang bisa saja lupa bahwa tujuan berziarah adalah sebagai sarana untuk bertafakur, merefleksin diri, melembutkan hati dengan mengingat kepada kematian.

Karena itu beberapa tokoh berkelakar soal penomena ini. Kalau orang dari hulu sungai berziarah kepada para datu, nanti perjalanan terakhirnya ditutup berziarah kepada datu mall. (pelesetan dari sebuah tempat perbelanjaan terbesar di Kalimantan Selatan; Duta Mall). Jangan-jangan selama perjalanan ziarah itu orang berfikir yang utama adalah ke tempat perbelanjaannya, bukan ziarah kepada para wali dan datu tadi.

Demikian juga ketika ziarah ke pulau Jawa, orang-orang ziarah mulai dari Jawa Timur di Surabaya dengan perjalanan panjang berziarah kepada wali-wali, terutama sembilan wali. Nanti terakhirnya ditutup ziarah ke Tugu Monomen Nasional (Monas) di Jakarta dan tempat perbelanjaan Pasar Tanah Abang, misalnya.[]




Saya, Hantu dan Kuburan


Salah satu hal yang paling saya takuti sebelum bersekolah di pesantren adalah kuburan. Kuburan bagi saya ibarat sarang hantu, tempat berkumpulnya para jin, setan dan segala hal yang menakutkan. Ketika berjalan di malam hari, tempat yang paling saya hindari adalah kuburan. Mimpi-mimpi yang paling horor bagi saya adalah tentang orang mati. Mendengar kabar tetangga meninggal saja, cukup membuat saya tidak keruan tidur semalaman.

Di ujung kampung, di desa kami, terdapat kuburan tua yang terkenal angker. Konon perilaku dan penampilan orang yang dimakamkan di kuburan itu ketika masih hidup sangat aneh dan ganjil.  Di pingang dan lehernya bergelantungan puluhan botol-botol kecil berisi berbagai minyak yang mempunyai kekuatan magis, mulai dari yang tahan terhadap senjata tajam (kebal) hingga dapat memiliki kekuatan super. Orang ini menggunakan kekuatan ilmu hitam.

Minyak-minyak itu, kami menyebutnya Untalan. Menggunakan Untalan untuk mendapatkan kesaktian, kekebalan dan sebagainya adalah hal yang lumrah di tengah masyarakat kami. Untalan adalah sejenis minyak yang dapat menjadikan orang yang menelannya menjadi sakti atau kebal.

Dalam kepercayaan masyarakat kami orang-orang yang menggunakan Untalan ini, apabila ia meninggal, jika tidak sempat dikeluarkan untalan tersebut dari dalam tubuh, maka bisa mengakibatkan orang itu mati dengan tidak wajar (mati jadi hantu). Ketidak-wajaran ini sudah terlihat tanda-tandanya sebelum si mayit dikuburkan. Ketika saat dimandikan atau ketika saat disalatkan. Puncaknya adalah pada senja hari pertama sejak ia dikuburkan. 

Menurut cerita, ketika senja tiba dari atas kuburan tua di ujung kampung kami itu keluar asap berwarna kekuningan. Itu adalah pertanda sang hantu akan keluar dari peraduannya. Karenanya saat senja hari yang berwarna kekuningan --terjadi sebelum atau sehabis hujan, kami dilarang keras keluar rumah, karena dipercaya iblis dan hantu berkeliaran saat itu.

Hari-hari pertama kematian, konon si hantu jadi-jadian akan menemui kerabat dekatnya. Di senja hari ia akan mengetuk pintu, dan memperlihatkan dirinya dalam bentuk yang mengerikan. Ia datang seolah ingin mengabarkan kepada kerabat tentang keadaan dirinya kini. Ia tidak akan beranjak dari rumah itu sampai kerabat atau keluarga yang didatangi mengatkan: "Sudah, saya sudah melihat kamu, jangan kembali lagi ke sini." Biasanya bila sudah mendengar itu ia akan menghilang dengan sendirinya dan tidak akan pernah kembali lagi.

Urang tua kami biasanya, menakut-nakuti kami dengan menyebut hantu si makam tua yang ada di ujung kampung itu. Tidak perduli siang atau malam, kami sangat takut ketika melewati makam itu. Ketakutan saya rupanya tidak hanya kepada makam tua itu, bahkan semua makam. Ketika sendirian melewati kuburan imajinasi tentang hantu berseleweran di kepala saya. Hingga mimpi-mimpi horor saya adalah tentang kuburan dan orang mati.

Ketika berada di pesantren, ada hal yang berbeda dalam persepsi saya tentang kuburan. Kuburan setidaknya tidak menakutkan seperti ketika masih berada di kampung. Di pesantren, tepatnya dibagian kiri setelah masuk pintu gerbang kedua, terdapat makam pendiri pesantren. Setiap subuh Jumat kami diajak berziarah ke makam beliau, atau, kalau tidak, dilakukan secara bergiliran. Beberapa asrama kena giliran subuh Jumat ini, beberapa asrama lainnya subuh Jumat berikutnya, begitu terus berputar. Di beberapa kesempatan saya berziarah sendiri di luar jadwal yang telah ditentukan ke makam mu'allim kami ini.

Selain berbeziarah ke makam pendiri pesantren, sehabis salat Jumat saya sering mampir berziarah ke makam orang alim di luar komplek. Di sini beberapa santri sering saya dapati juga berziarah seperti saya. Rasa-rasanya sejak inilah mulai tumbuh kecintaan berziarah di dalam diri saya. Bagi saya berziarah selain membaca Alquran, Tahlil dan berzikir adalah berdo'a. Berdo'a tidak hanya untuk orang yang diziarahi, tetapi juga berdo'a untuk diri sendiri, orang tua dan keluarga-keluarga saya.

Berdo'a di kubur orang-orang alim serasa lebih husuk di banding tempat-tempat lainnya. Di sini kuburan dibikin nyaman, sehingga orang-orang yang berziarah dapat betah berada di dalamnya. Beda sekali ketika masih di kampung dahulu, kuburan terletak di ujung kampung, berada di bawah pohon besar atau di dekat pohon bambu yang rimbun, gelap, penuh semak belukar, terkadang berada di rawa dan bernyamuk. Sehingga berada dikuburan bisa memancing imajinasi-imajinasi horor.

Begitulah, sampai saat ini berziarah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kebiasaan saya, sekalipun tidak sesering dahulu. Pada beberapa kesempatan ketika berjalan-jalan bersama keluarga ke beberapa daerah di Kalimantan Selatan ataupun ke luar daerah lainnya, kami selalu menyempatkan diri untuk berziarah ke makam orang-orang alim, sekedar berdo'a ataupun mengharap berkah.

Begitupun pula ketika pulang kampung halaman, selain berkunjung ke keluarga yang masih hidup, kami juga berziarah ke kuburan keluarga yang telah meninggal dunia, mendahului kami.[]

Ngalap Berkah Ala Santri


Kita yang pernah belajar di pesantren tentunya tidak asing lagi dengan istilah berkah. Misalnya yang paling kita ingat adalah ketika berebut sisa makanan atau minuman para guru kita.




Kata berkah atau dalam bahasa arab barokah berarti 'bertambah'. Ungkapan lainnya adalah 'tabaruk' atau 'tabarukan', yang bisa diatrikan 'mengambil' atau 'mencari berkah'. Ngalap berkah dalam istilah Jawanya.

Berkah atau barokah dalam bahasa Arab diartikan dengan ziyadatul khair, yaitu bertambahnya kebaikan pada diri seseorang. Adapun makna barokah dalam Alquran dan sunnah adalah langgengnya kebaikan.

Dalam praktiknya, usaha santri dalam meraih keberkahan tidak hanya dengan belajar saja, artinya yang berkaitan dengan keilmuan saja. Tetapi juga dalam bentuk seperti yang disebutkan tadi di atas, bisa juga dalam bentuk berziarah ke makam guru, kiai atau orang alim, berdo'a, mengaji, atau tahlilan.

Tabarukan, mengambil berkah juga bisa minta do'akan kepada guru, kiai atau orang alim tadi, karena kaum santri meyakini bahwa do'a mereka mustajab lantaran kezuhudan dan kealimannya. Nilai dan restu dari guru, kiai dan orang alim bagi para santri tidak bisa ditukar dengan materi.

Mencium tangan para guru, kiai atau orang alim juga bentuk tabarukan lainnya yang dilakukan oleh kaum santri. Tidak hanya sampai di situ, bahkan menyusun atau menata sandal (alas kaki) dengan menghadapkannya ke arah guru, kiai atau orang alim ketika mereka ke masjid atau di suatu majlis.



Bahkan, dalam kebiasaan santri, keberkahan juga bisa dikaitkan dengan membawa oleh-oleh ketika acara selamatan atau hajatan selesai dilaksanakan.


Jangan Terperdaya oleh Latah Musiman


Beberapa tahun dahulu beredar di tengah-tengah masyarakat sebuah ungkapan "Banyak anak banyak rezeki." Ungkapan itu sedikit banyaknya mempengaruhi pandangan masyarakat awam perihal ‘memproduksi’ keturunan. Dalam konteks dahulu, pandangan seperti itu mungkin sah-sah saja. Karena pada masa itu tenaga manusia memang sangat diperlukan untuk membuka lahan yang masih luas dan tidak terbatas.

Mereka yang mempunyai anak yang banyak, apa lagi laki-laki, tentu akan sangat membantu orang tuanya, ikut membuka lahan, menanami, makin banyak lahan yang ditanami, makin banyak rezeki yang di dapat. Di sini berlaku, banyak anak, banyak rezeki.

Lain dulu, lain sekarang. Kalau dulu orang punya anak banyak, akan berkelimpahan rezeki. Zaman sekarang itu mungkin tidak begitu relevan lagi. Bisa saja banyak anak, bukannya rezeki yang didapat tetapi malah bencana, atau malah bisa membikin bangkrut, apabila anak-anaknya tidak mendapatkan pendidikan yang mamadai.

Saat ini di pedesaan, apalagi perkotaan, tanah dan lahan yang dimiliki oleh masyarakat tidak seluas dulu lagi. Tanah dan lahan yang dahulu subur kini sudah beralihfungsi menjadi tempat pemukiman yang padat. Kalaupun masih dalam bentuk lahan, itupun tidak dimiliki sepenuhnya oleh para petani. Kebanyakan lahan sudah dikuasai oleh korporasi. Jadilah masyarakat hanya sebagai buruh dari lahan-lahan yang dahulunya kepunyaannya itu.

Pekerjaan makin sulit didapat. Lahan makin sempit. Itulah yang dirasakan masyarakat kelas bawah saat ini. Mereka yang punya tanggungan keluarga lebih banyak tentu harus berpikir keras untuk dapat menghidupi keluarganya. Itu baru untuk menghidupi lho, belum lagi kalau berbicara masalah pendidikannya. Dapat dibayangkan bagaimana susahnya.

Pertumbuhan penduduk dari tahun ke tahun terus meningkat. Umat manusia sudah sangat banyak, bumi ini sudah semakin sesak. Manusia yang dilahirkan lebih banyak dari manusia meninggal. Jadilah bumi yang satu-satunya ini sebagai tempat kehidupan menjadi rebutan. Yang kuat menindas yang lemah, yang kaya menindas yang miskin, jadilah yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin, karena ketiadaan pemerataan. Bukan karena bumi dan alam ini tidak mampu menyediakan kebutuhan penghuninya, masalahnya adalah, kekayaan yang dimilikinya hanya dikuasai oleh segelintir manusia rakus yang tidak pernah puas kecuali bumi (baca tanah) itu sendiri yang diciumkan ke hidung mereka.

Keadilan sosial bagi seluruh rakyat itu ternyata hanya sebuah selogan belaka. Dulu di masa orde baru, ketika kami masih sekolah SD, sambil berdiri tegak dan bersuara lantang, kalimat inilah yang kami dengungkan setiap pagi sebelum belajar dimulai. Namun, justeru rezim itulah yang menggasak kekayaan alam ini selama lebih dari 3 dasawarsa. Keadilan itu bukan bagi seluruh rakyatnya, tapi bagi antek-anteknya.

Setelah cengkraman rezim itu berlalu, asa untuk mendapatkan kedilan itu kembali bertunas. Namun harapan tinggal harapan, kenyataannya keadilan tak kunjung tiba. Dulu saja, ketika semua orang mulai dari para elit sampai rakyat jelata, hapal di luar kepala sila-sila itu hingga sila ke lima, itupun, mereka tak perduli kepada rakyat. Apalagi kini, mereka, para elit penyelenggara negara itu justeru tak hapal dasar negara. Ah, kita ragu semua itu. Jangan-jangan keadilan itu hanya sebagai alat pemanis kata untuk meninabobokan kita.

Hutan-hutan digunduli, isi bumi di kuras habis-habisan. Tambang batu bara, minyak bumi, batu besi, timah, emas, dan lain-lain, siapa penikmatnya? Segelintir orang. Lalu rakyat dapat apa? Dari dulu rakyat hanya dapat asap polusi dari pembakaran hutan. Rakyat harus puas dengan menghirup asap dan debu batu bara. Rakyat harus menanggung derita karena ancaman banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Sekali lagi di mana letak keadilan.

Sudah berapa kali berganti kepala negara, adakah yang berubah dari rakyat jelata? Sudah berapa kali berganti pemimpin adakah yang berubah dari kita? Dari pemilu ke pemilu, kita merangkai asa di dalam bilik keramat itu untuk mendapatkan pemimpin yang adil. Dari pemilu ke pemilu juga kita ditipu mentah-mentah oleh mereka.

Kini hajatan akbar itu hampir tiba, seperti biasa rakyat kembali di elu-elukan. Tiba-tiba saja mereka seolah dekat dengan rakyat. Segala cara di tempuh hanya untuk mendapatkan suara rakyat. Semua daya dan upaya dikerahkan, tak perduli hukum dan tatak rama, semuanya di langgar, asal dapat mendulang suara. Berita-berita hoax dihembuskan. Isu dan fitnah disebarkan. Ketenangan rakyat diobok-obok. Mereka yang dulunya hampir tak kenal agama, tiba-tiba bersuara lantang tentang agama. Ah, begitukan pemimpin yang akan kita pilih dan memimpin kita lima tahun kedepan?

Tiba-tiba saja simbol-simbol keislaman bermunculan, lihatlah; Kiai, santri, tauhid, ulama, masjid, dan lain-lain menjadi ramai diperbincangkan. Kalau perlu orang yang di dalam kuburan pun mereka bangunkan demi syahwat berkuasa. Simbol-simbol agama yang harusnya sakral itu dipolitisasi sedemikian rupa.

Sudahlah, kita jangan lagi terperdaya oleh latah musiman itu.


Kuta Bataguh: Sebuah Kerajaan yang Hilang




Cerita tentang sebuah kota yang hilang (the lost city) yang kemudian ditemukan kembali dengan cara-cara yang tidak terduga. Berawal dari penemuan tembikar seperti dalam film The Lost City of Z, terjadi juga di kampung kami Handil Kota Kelurahan Pulau Kupang Kecamatan Bataguh Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah.

Kejadiannya hampir sama, sekitar akhir tahun 80-han, seorang petani pendatang yang keheranan setiap kali meratakan tanah atau membikin bedengan dengan peralatan tani tradisionalnya, seperti cangkul dan lain-lain menemukan berbagai macam jenis tembikar. Dengan iseng petani ini mencoba mengais-ngais tanah dan mencermatinya dengan seksama, tiba-tiba ia melihat pancaran cahanya kekuning-kuningan dari balik tumpukan tanah. Kemudian ia memungutnya untuk meyakinkan, ternyata betul saja, benda itu adalah emas, logam mulia yang sangat bernilai.

Kalau dalam film The Lost City of Z sang penemu, karena rasa penasaran membawanya pada penyelidikan. Penyelidikan menjelma menjadi petualangan. Petualangan melahirkan cerita untuk dikenang terlepas dari sang petualang berhasil atau gagal. Di sini justeru temuan artefak sejarah yang amat sangat bernilai ini diserbu oleh masyarakat beramai-ramai. Apalagi kalau bukan karena kilauan si logam mulia ini. Walaupun yang mereka kejar adalah emas, tetapi semua benda-benda peninggalan bersejarah itu ikut hancur seiring dengan makin meluasnya wilayah eksplorasi.

Sebenarnya penemuan yang tidak disadari tentang situs sejarah ini sudah jauh terjadi sebelum ditemukan emas yang kebanyakan dalam bentuk jadi atau dalam bentuk leburan itu. Hampir semua masyarakat disekitar situs mencabuti dan mengambil kayu ulin bekas benteng sisa peninggalan kerajaan yang disebut dengan ‘Kuta’ itu. Kayu-kayu itu sebagian telah dijadikan sebagai bahan membuat rumah oleh penduduk sekitar. Salahkan mereka? Saya kira kurang tepat dan agak terlambat mempersalahkan mereka.

Sebagian penduduk yang lahir belakangan di wilayah ini kurang begitu mengerti dengan sebutan ‘kuta’, banyak diantaranya mengartikan kata kuta dengan kota. Mereka mengira bahwa dahulunya di daerah ini merupakan sebuah kota yang kini sudah ditinggalkan oleh penduduknya entah ke mana. Padahal kata kuta sendiri bermakna benteng dalam bahasa Dayak. Kesalahan itu terlihat pada penulisan nama kampung kami dengan nama Handil Kota, bukan Hadil Kuta.

Beberapa tahun terakhir, setelah aktifitas ‘penambangan’ sudah tidak ada lagi, karena emas yang dicari sudah habis dan lokasi bekas penambangan sudah menjadi hutan kembali, beberapa orang Tim Arkeologi dari Balai Arkeologi Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah datang meneliti situs Kerajaan Bataguh ini. Menurut hasil laporan dari penelitian, yang tersisa dari benteng dan benda-benda lainnya hanya sekitar 5 persen saja. Sementara 95 persenya diduga telah hilang atau bisa juga sebagiannya masih tertimbun di dalam tanah.

Menariknya, walaupun situs ini nyaris tidak tersisa tapi bekas-bekasnya dapat terlihat melalui poto satelit. Anda dapat melihatnya melalui aplikasi google map, bekas kerajaan tersebut terlihat bundar menyerupai telur dengan luas hampir 5.000 meter. Kalau melihat dari luasannya situs Kuta Kerajaan Bataguh ini merupakan penguasa besar. Jika dibandingkan dengan kuta yang lain seperti yang ada di Kabupaten Gunung Mas. Dari sejumlah artefak yang ditemukan oleh masyarakat setempat seperti alat kayu pemintal, manik-manik dan logam. Termasuk temuan artepak kayu ulin yang digali oleh tim arkelog sendiri. Kayu ulin tersebut usianya diperkirakan 700 tahun masehi.



Uniknya lagi kerjaan Bataguh dulunya dipimpin seorang wanita cantik. Namanya Nyai Undang. Dia seorang raja yang cantik dan berambut panjang. Nyai Undang selain berani juga terkenal sakti.

Untuk artikel lainnya tentang Kerjaan Nyai Undang ini, silahkan diklik pada tautan ini: https://www.kompasiana.com/muhamadramli/5a8ab734f13344290b06d725/the-lost-city-menelusuri-jejak-nyai-undang-dari-kuta-bataguh


Selasa, 13 November 2018

CARA KAMI 'MENCIPTAKAN' KEBAHAGIAAN


Di daerah kami Kalimantan, Saat menanan atau mengetam padi para petani biasanya melakukannya bersama-sama (bergotong royong) dengan melibatkan banyak orang.  Laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak beramai-ramai pergi ke pahumaan (sawah) ketika musim tanam atau musim panen tiba.  Musim tanam dan musim panen biasanya tidak serempak antara satu kampung dengan kampung lainnya.  Sekalipun mayoritas petani menanam menyesuaikan dengan keadaan alam (sawah tadah hujan). Sawah-sawah yang berada di daerah dekat dengan aliran sungai utama biasanya memulai menanam agak lebih lambat dari sawah-sawah berada lebih jauh. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan air di sawah-sawah mereka.

Petani-petani yang padinya sudah siap ditanami atau dipanen mengambil jasa dari kampung lain yang belum masanya menanam atau memanen. Atau, bisa juga mereka datang sendiri ke kampung-kampung menawarkan jasanya. Siklus yang tidak merata ini tentu saja memudahkan para petani, terutama bagi mereka yang memerlukan banyak tenaga dan, tentu saja menambah pemasukkan bagi pemberi jasa (pambilupahan), termasuk bagi para buruh tani.

Begitulah suatu penomena biasanya melahirkan penomena lain yang menjadi turunannya. Berkumpulnya orang-orang terutama muda mudi sering kali dimanfaatkan sebagai ajang perkenalan atau pencarian jodoh. Sering kali para muda mudi mendapatkan jodohnya melalui peristiwa musiman ini. Di kampung-kampung jarang sekali ada perkumpulan-perkumulan yang dapat mempertemuan laki dan perempuan, terutama para muda mudi.  Pada awalnya mungkin mereka hanya berkenalan saja, atau bahkan hanya selorohan saja oleh orang-orang untuk memanas-manasi, dan hal tersebut bisa membuat mereka terpancing, dan justeru itulah yang menjadikan mereka menemukan jodohnya.

Saya ketika masih kecil sering ikut kegiatan ini, menanam atau memanen, terutama bila dilaksanakan di tempat orang tua saya. Disamping rasa senang dan riang juga sebagai ajang belajar bagi saya agar terampil menggunakan alat-alat pertanian yang sangat tradisional. Saya belum berani ikut mambilupah karena kemampuan saya masih belum sehebat dan seprofesional orang-orang. Selain itu saya senang mendengar orang-orang sambil bekerja sambil berceloteh, bercerita ngalur ngidul, menyerempet kesana kemari, sambil diiring dengan canda tawa hingga payah bekerja di tengah terik matahari tidak begitu terasa.

Masyarakat kami (sebagian besar suku Banjar dan Dayak) memang pandai bercanda, membangun cerita dan tokoh emajener seperti yang terkenal dengan tokohnya si Palui. Ada banyak cerita, sebagian cerita ini terulang-ulang dikisahkan. Biasanya cerita yang sama diceritakan oleh orang yang berbeda melahirkan kelucuan terendiri. Atau malah sama sekali tidak lucu.

Diam-diam saya mendengarkan dan mencermati apa yang mereka bicarakan, jujur saja aku merasa terhibur dengan celotehan-celotehan itu. Tidak terasa hari sudah beranjak siang, pertanda istirahat dari bekerja sebentar lagi tiba. Kegiatan ini biasanya dimulai sejak pukul 07.00 dan berakhir sekitar pukul 12.00, atau lebih awal lagi. Sekitar pukul 10.00-han biasanya ada istirahat untuk makan-makan. Makanan yang disajikan bisa makanan ringan atau bisa juga makanan yang lengkap, nasi, sayur, plus lauk-pauk yang enak. Makan di tengah sawah, sehabis capek dari bekerja sungguh nikmat sekali, walaupun dengan lauk-pauk dan sayuran seadanya. Karena itulah para petani rata-rata porsi makannya banyak-banyak.

Dangdut adalah musik yang akrab menemani mereka saat bekerja. Kenapa musik dangdut? Karena lagu-lagu dangdut mudah dicerna sehingga tidak susah untuk diterima. Bahasanya yang lugas dan sederhana sangat mudah dipahami oleh masyarakat kelas bawah, seperti kami para petani. Irama musiknya yang sangat melankolik sangat cocok dengan kehidupan kami para petani dalam mengekspresikan kehidupan yang kami jalani.

Karena itulah ketika berangkat ke tempat kerja, baik ke sawah, kebun atau lainnya yang tidak bisa ketinggalan selain bekal, 'peralatan perang', serta rokok dan korek api, adalah radio kecil. Mereka setia mendengarkan channel-channel radio yang memutarkan (karena dahulu menggunakan kaset) lagu-lagu dangdut sebagai penghibur sambil bekerja. Saat ini yang dibawa bukan lagi radio, tapi HP yang bisa digunakan untuk memutar radio kesayangan atau memutar lagu koleksi mereka sendiri melalui aplikasi yang ada di handphone tersebut.

Begitulah, sesulit apapun dan seberat apapun suatu pekerjaan ternyata ada cara-cara tersendiri yang bisa dilakukan untuk menciptakan kebahagiaan. Begitupun pula orang-orang yang telah saya ceritakan di atas. Mereka telah menciptakan kebagiannya sendiri tak perduli apa yang terjadi yang penting bisa bekerja dan menghasilkan, orang Banjar mengatakan “asal dapur haja kawa bakukus,” artinya masih ada yang bisa dimasak yang berarti bahwa perut bisa kenyang, yang berarti juga bisa menyambung hidup untuk hari esok.