Minggu, 15 September 2019

Santri, Kitab Kuning dan Keberkahan



Dimanakah Anda mengenal pertama kali kitab kuning? Mungkin sebagian besar akan menjawab ketika berada di pesantren. Ya, kitab kuning dan pesantren memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan, selain dari beberapa unsur lainnya, seperti asrama/pondok, Kiyai, santri dan masjid/mushalla sebagai pusat kegiatan ibadah, pembelajaran, maupun kegiatan keagamaan lainnya.

Kitab kuning atau kitab klasik (al-kutub al-shafra' atau al-kutub al-qadimah) dikalangan pesantren dikenal dengan ‘kitab gundul’ karena tidak menggunakan baris atau harokat. Sebagai seorang santri menenteng kitab kuning ketika berangkat ke kelas atau ke pengajian merupakan kebanggaan tersendiri. Wajar saja, karena kitab kuning merupakan elan vital yang menjadi ciri khas dalam tradisi akademik pesantren.

Kitab kuning sangat dihormati, ia dijadikan sebagai acuan berfikir dan bertingkah laku dikalangan santri di pesantren dan dianggap paling absah. Kitab kuning juga dianggap sakral, ia diletakkan ditempat yang tinggi, dibawa dengan diletakkan di atas dada, dicium setelah dibaca, hal ini karena kitab kuning ditulis oleh ulama dengan kualifikasi ganda, keilmuan yang tinggi dan hati yang disinari cahaya Ilahi. Karena itulah menghormati orang yang berilmu dan memuliakan karya-karya mereka adalah hal yang diharuskan dalam dunia pesantren.

Mengkoleksi kitab kuning, menyusunnya berjejer dengan rapi dan memajangnya di rak pribadi apalagi cetakan Beirut, bagi santri atau mereka yang pernah bersekolah di pesantren adalah pemandangan yg sering kita lihat. Selain mengharap berkah, barangkali ini adalah semacam pengukuhan identitas diri di masyarakat, terutama pada masyarakat tradisional dan religius.




Tahun pertama berada di pesantren, kami belum diwajibkan mempelajari kitab kuning. Tahun pertama adalah kelas persiapan (tajhiziyah) sebelum memasuki jenjang Wustha (tingkat menengah). Melihat para santri pada tingkat yang lebih tinggi, menenteng kitab yang besar-besar ketika berangkat maupun pulang belajar membuat kami yang baru berada ditingkat awal ini merasa ngiri. Betapa keren dan gagahnya  mereka dalam pandangan kami sebagai santri baru. Rasanya tidak sabar inggin naik tingkat kelas supaya bisa juga menenteng kitab-kitab itu seperti mereka. Padahal saat itu belum terpikirkan apakah kami dapat membaca kitab-kitab itu nantinya.

Sebagian orang mungkin beranggapan bahwa, mereka yang bersekolah di pesantren semuanya pasti bisa membaca kitab kuning. Kenyataannya tidak. Selama enam atau tujuh tahun sekolah di pesantren tidak menjamin santri bisa dengan mudah membaca kitab kuning. Tanpa memahami dan menguasai ilmu-ilmu alat, seperti Nahwu, shoraf, ditambah dengan perbendaharaan kosa kata bahasa Arab yang memadai, dijamin orang tidak akan bisa dengan mudah membaca kitab kuning. 

Ilmu Nahwu selain hapalan titik tekannya adalah pada pemahaman. Ilmu shoraf juga pemahaman tapi titik tekannya pada hapalan, demikian juga bahasa, harus banyak-bayak hafal kosa kata, flus sering-sering latihan. Dengan menguasai ketiga disiplin ilmu inilah seorang santri kelak dapat membaca dan memahami kitab kuning. Untuk mendapatkan kemampuan dan pemahaman yang lebih bagus lagi para santri harus menambah lagi dengan pengetahuan pendukungya, yaitu; ilmu Mantiq dan Balaghah.

Begitulah, perlu bertahun-tahun bagi santri untuk dapat membaca dan memahami kitab kuning, itupun mesti harus dibarengi dengan kerja keras dan ketekunan yang mendalam. Karena itulah tidak jarang kita temui --artinya masih banyak-- santri yang relatif lama bersekolah di pesantren, namun penguasaannya dalam membaca dan memahami kitab kuning masih lemah.

Karena itulah guru-guru selalu menasehati kepada kami para santrinya agar senantiasa belajar dan terus mutalaah kalau benar-benar ingin bisa membaca dan memahami kitab kuning dengan baik. Jangan sampai seperti Alquran karam (bahasa Banjar, untuk menyebutkan Alquran yang sudah lusuh yang halamannya sebagian sudah tidak lengkap lagi). Dibaca kada kawa (dibaca tidak bisa, karena sebagian halamannya sudah hilang), dibuang mangatulahani (dibuang bisa bikin kualat). Artinya santri yang memilki ilmu yang tanggung hampir-hampir tidak ada gunanya di masyarakat nanti apabila sudah selesai di pesantren.




Namun, kata guru lagi, senakal-nakalnya orang yang pernah bersekolah di pesantren, masih ada batasannya. Maksudnya walaupun ia nakal, suatu saat dia pasti akan bertaubat dan akan menjadi orang baik. Begitulah cara guru-guru kami mendidik kami, do’a mereka selalu menyertai walau bagaimanapun keadaaan para santrinya, mereka tetap dido’akan supaya mereka mendapat keberkahan dalam hidupnya kelak.

Kami dan Kecintaan terhadap Tanah Air






Tentara Sekutu memasuki kota Bandung bulan Oktober 1945, para pemuda dan pejuang di kota Bandung sedang dalam pergulatan untuk melaksanakan pemindahan kekuasaan dan merebut senjata dan peralatan dari tangan tentara Jepang.

Tentara Sekutu menuntut supaya senjata-senjata yang diperoleh dari hasil pelucutan tentara Jepang dan berada di tangan para pemuda, diserahkan kepada Sekutu. Tanggal 21 November 1945, tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama, agar kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya tanggal 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga keamanan.

Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Republik, sehingga sejak saat itu sering terjadi insiden dengan pasukan-pasukan Sekutu. Batas kota bagian utara dan bagian selatan adalah rel kereta api yang melintasi kota Bandung.

Untuk kedua kalinya pada tanggal 23 Maret 1946 tentara Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. Kali ini supaya TRI mengosongkan seluruh kota Bandung.
Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar TRI mengosongkan kota Bandung, tetapi sementara itu dari markas TRI di Yogyakarta datang intruksi lain, yaitu supaya kota Bandung tidak dikosongkan.

Akhirnya TRI di Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun dengan berat hati. Sebelum meninggalkan kota Bandung pejuang-pejuang Republik melancarkan serangan umum ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu dan membumi hangus kota Bandung Selatan.

Jadilah kota Bandung bagian selatan dibakar menjadi lautan api oleh para pejuang sebelum meninggalkan kota Bandung pada tanggal 23 Maret 1946. Peristiwa ini dikenal sebagai “Bandung lautan api”. Oleh seniman terkenal Ismail Marzuki diabadikan dengan suatu mars perjuangan yang sangat terkenal, ‘Halo-Halo Bandung”.

Halo, Halo Bandung,
Ibukota Pariangan,
Halo, Halo Bandung,
Kota kenang-kenangan.

Sudah lama beta,
Tidak bejumpa dengan kau,
Sekarang telah menjadi lautan api,
Mari Bung rebut kembali.

Ketika masih sekolah dasar kami dengan semagat kami menghapal lagu-lagi wajib yang di ajarkan di sekolah. Lagu-lagu perjuangan kami nyanyikan dengan penuh semangat, temasuk mars Halo, halo Bandung ini.

Masalahnya, kami anak-anak Kalimantan yang sebagian besar dari suku Dayak dan Banjar tidak mengenal istilah 'beta' atau 'bung'. Jadilah ketika menyanyikan bait terakhir lagu Halo, Halo Bandung yang mestinya: "Mari Bung rebut kembali", malah terpeleset menjadi berbunyi: "Maribung ribut kembali..." Dengan peninggikan pada bunyi bung dan but..nya.

Sebenarnya bukan itu saja lagu-lagu perjuangan yang kami sering terpeleset dalam penyebutnya, misalnya lagu Garuda Pancasila, pada bait: "Pribadi Bangsaku" alih-alih menyebutnya "pribadi bangsaku, kami justeru menyebutnya dengan: "Ribang-ribang satu..." Masih lagu yang sama, yang seharusnya dinyanyikan dengan: "Akulah pendukungmu", kami justeru menyanyikan dengan: "Akulah panduku muu.."

Sekalipun kadang tersalah menyebut dalam menyanyikan, tapi tidak mengurangi semangat kami untuk mencintai negeri ini. Kami selalu bersemangat menyanyikannya dalam setiap kesempatan, walaupun ketika itu kami belum tahu bahwa Ibukota negara akan dipindahkan ke Kalimantan...