Selasa, 13 November 2018

CARA KAMI 'MENCIPTAKAN' KEBAHAGIAAN


Di daerah kami Kalimantan, Saat menanan atau mengetam padi para petani biasanya melakukannya bersama-sama (bergotong royong) dengan melibatkan banyak orang.  Laki-laki, perempuan, tua, muda, bahkan anak-anak beramai-ramai pergi ke pahumaan (sawah) ketika musim tanam atau musim panen tiba.  Musim tanam dan musim panen biasanya tidak serempak antara satu kampung dengan kampung lainnya.  Sekalipun mayoritas petani menanam menyesuaikan dengan keadaan alam (sawah tadah hujan). Sawah-sawah yang berada di daerah dekat dengan aliran sungai utama biasanya memulai menanam agak lebih lambat dari sawah-sawah berada lebih jauh. Hal ini dipengaruhi oleh ketersediaan air di sawah-sawah mereka.

Petani-petani yang padinya sudah siap ditanami atau dipanen mengambil jasa dari kampung lain yang belum masanya menanam atau memanen. Atau, bisa juga mereka datang sendiri ke kampung-kampung menawarkan jasanya. Siklus yang tidak merata ini tentu saja memudahkan para petani, terutama bagi mereka yang memerlukan banyak tenaga dan, tentu saja menambah pemasukkan bagi pemberi jasa (pambilupahan), termasuk bagi para buruh tani.

Begitulah suatu penomena biasanya melahirkan penomena lain yang menjadi turunannya. Berkumpulnya orang-orang terutama muda mudi sering kali dimanfaatkan sebagai ajang perkenalan atau pencarian jodoh. Sering kali para muda mudi mendapatkan jodohnya melalui peristiwa musiman ini. Di kampung-kampung jarang sekali ada perkumpulan-perkumulan yang dapat mempertemuan laki dan perempuan, terutama para muda mudi.  Pada awalnya mungkin mereka hanya berkenalan saja, atau bahkan hanya selorohan saja oleh orang-orang untuk memanas-manasi, dan hal tersebut bisa membuat mereka terpancing, dan justeru itulah yang menjadikan mereka menemukan jodohnya.

Saya ketika masih kecil sering ikut kegiatan ini, menanam atau memanen, terutama bila dilaksanakan di tempat orang tua saya. Disamping rasa senang dan riang juga sebagai ajang belajar bagi saya agar terampil menggunakan alat-alat pertanian yang sangat tradisional. Saya belum berani ikut mambilupah karena kemampuan saya masih belum sehebat dan seprofesional orang-orang. Selain itu saya senang mendengar orang-orang sambil bekerja sambil berceloteh, bercerita ngalur ngidul, menyerempet kesana kemari, sambil diiring dengan canda tawa hingga payah bekerja di tengah terik matahari tidak begitu terasa.

Masyarakat kami (sebagian besar suku Banjar dan Dayak) memang pandai bercanda, membangun cerita dan tokoh emajener seperti yang terkenal dengan tokohnya si Palui. Ada banyak cerita, sebagian cerita ini terulang-ulang dikisahkan. Biasanya cerita yang sama diceritakan oleh orang yang berbeda melahirkan kelucuan terendiri. Atau malah sama sekali tidak lucu.

Diam-diam saya mendengarkan dan mencermati apa yang mereka bicarakan, jujur saja aku merasa terhibur dengan celotehan-celotehan itu. Tidak terasa hari sudah beranjak siang, pertanda istirahat dari bekerja sebentar lagi tiba. Kegiatan ini biasanya dimulai sejak pukul 07.00 dan berakhir sekitar pukul 12.00, atau lebih awal lagi. Sekitar pukul 10.00-han biasanya ada istirahat untuk makan-makan. Makanan yang disajikan bisa makanan ringan atau bisa juga makanan yang lengkap, nasi, sayur, plus lauk-pauk yang enak. Makan di tengah sawah, sehabis capek dari bekerja sungguh nikmat sekali, walaupun dengan lauk-pauk dan sayuran seadanya. Karena itulah para petani rata-rata porsi makannya banyak-banyak.

Dangdut adalah musik yang akrab menemani mereka saat bekerja. Kenapa musik dangdut? Karena lagu-lagu dangdut mudah dicerna sehingga tidak susah untuk diterima. Bahasanya yang lugas dan sederhana sangat mudah dipahami oleh masyarakat kelas bawah, seperti kami para petani. Irama musiknya yang sangat melankolik sangat cocok dengan kehidupan kami para petani dalam mengekspresikan kehidupan yang kami jalani.

Karena itulah ketika berangkat ke tempat kerja, baik ke sawah, kebun atau lainnya yang tidak bisa ketinggalan selain bekal, 'peralatan perang', serta rokok dan korek api, adalah radio kecil. Mereka setia mendengarkan channel-channel radio yang memutarkan (karena dahulu menggunakan kaset) lagu-lagu dangdut sebagai penghibur sambil bekerja. Saat ini yang dibawa bukan lagi radio, tapi HP yang bisa digunakan untuk memutar radio kesayangan atau memutar lagu koleksi mereka sendiri melalui aplikasi yang ada di handphone tersebut.

Begitulah, sesulit apapun dan seberat apapun suatu pekerjaan ternyata ada cara-cara tersendiri yang bisa dilakukan untuk menciptakan kebahagiaan. Begitupun pula orang-orang yang telah saya ceritakan di atas. Mereka telah menciptakan kebagiannya sendiri tak perduli apa yang terjadi yang penting bisa bekerja dan menghasilkan, orang Banjar mengatakan “asal dapur haja kawa bakukus,” artinya masih ada yang bisa dimasak yang berarti bahwa perut bisa kenyang, yang berarti juga bisa menyambung hidup untuk hari esok.

Senin, 12 November 2018

Hulu dan Hilir, Ketika Keduanya Bertemu



Photo: Ekslusif

Ada perbedaan yang mencolok antara orang yang hidup di pesisir dengan mereka yang hidup di daerah hulu dan pedalaman ketika berbicara.
Orang-orang yang hidup dipesisir terbiasa dengan hiruk-pikuk dan bergelut dengan berbagai macam kesibukan. Aktifitas dengan mobilitas yang tinggi menimbulkan suara-suara yang menyebabkan kebisingan. Untuk bisa didengar ketika berbicara mereka biasanya meninggikan volume suaranya. Kebiasaan ini terbawa-bawa ketika berada di luar aktifitas keseharian yang sudah tidak bising lagi. Bagi anda yang tidak terbiasa mungkin saja menyangka orang-orang ini sedang marah-marah, tetapi ketika melihat raut wajahnya anda akan mengerti bahwa cara berbicara mereka memang begitu adanya.

Berbeda dengan mereka yang hidup di daerah hulu atau pedalaman, berprofesi sebagai petani atau berkebun, biasanya ketika berbicara nadanya biasa-biasa saja, datar-datar saja dan tidak cenderung meninggi. Profesi dan keseharian mereka yang cenderung sunyi, sepi, penuh dengan ketenangan, jauh dari hiruk pikuk tidak mempengaruhi gaya berbicaranya.

Lucunya ketika dua kelompok ini bertemu sekilas anda akan mengira mereka lagi berantem, padahal tidak. Pertemuan mereka biasanya terjadi di pasar-pasar tradisional, untuk membeli kebutuhan sehari-hari.