Kamis, 27 Februari 2020

Anggapan Keliru tentang Pesantren







Photo: Ekslusif 



Banyak para orang tua yang masih berpandangan keliru tentang pesantren. Mereka beranggapan bahwa pesantren layaknya sebuah bengkel. Sehingga ketika anak-anak mereka bermasalah maka, pesantren adalah tempat yang tepat untuk mendidik anak-anaknya.

Tugas bengkel adalah memperbaiki kerusakan.  Tidak semua pesantren dapat melakukan hal ini.  Ibarat sebuah motor yang sudah rusak, orang tua menyerahkan sepenuhnya kepada  bengkel, selanjutnya permasalahan selesai. Begitukah? Itulah anggapan yang keliru yang saya maksud di atas. Ada memang beberapa pesantren, yang berkhusus bidangnya di sini, bisa menangani orang-orang yang (maaf) ‘sudah rusak' seperti itu, yang kita kenal sebagai pesantren rehabilitasi. Tetapi itu tidak sembarang pesantren, sebagian besar pesantren justru menolak keras dengan melakukan tes yang ketat saat penerimaan santri baru.

Disamping itu, ada pula para orang tua yang ingin memasukkan anaknya karena terdesak oleh lingkungan, --baik lingkungan dalam keluarga maupun lingkungan luar (sekitar)-- dan khawatir anaknya terpengaruh terhadap lingkungan yang rusak (tidak kondusif) itu. Bahkan, ada juga orang tua yang memasukkan anaknya karena tren saja. Misalnya saat ini yang tren di masyarakat, terutama di media televisi atau media sosial dan lainnya. Fenomena ini kita kenal dengan tren berhijrah yang marak dipromosikan oleh para ustadz atau ustadzah selebritis.

Alasan-alasan di atas tidak sepenuhnya salah. Namun, mestinya orang tua yang bijak tidak memasukkan anak-anak mereka ke pesantren dengan sekonyong-konyong atau secara tiba-tiba. Harusnya orang tua, paling tidak, mengenalkan kepada anak-anak mereka sejak dini tentang pesantren. Kalau misalnya orang tuanya tidak berlatar belakang pendidikan pesantren, bisa mengajak anak-anak mereka berkunjung ke pesantren. Dengan demikian di dalam diri anak ditumbuhkan sejak dini kecintaan terhadap pesantren dan kehidupan yang ada di dalamnya. Dengan pengenalan ini membuat anak tidak merasa begitu asing lagi dengan dunia dimana nantinya ia akan dididik.

Persiapan waktu yang panjang, ditambah dengan pengenalan tentang kehidupan  sebagai seorang santri, akan membantu anak untuk mengenal lebih jauh lingkungan dan kegiatan dimana ia belajar nantinya. Persiapan itu tidak hanya dari segi materi dan fisik saja, tetapi yang teramat penting adalah persiapan mental untuk mau belajar dan tinggal di pesantren. Dengan demikian, anak tidak merasa terkejut dan terasing begitu jauh, karena mereka sudah memiliki mental juang dan semangat yang tinggi untuk mengecap kehidupan sebagai seorang santri.

Di pesantren hidup tidaklah mudah, dengan seabrek kegiatan dari mulai bangun tidur sampai akan tidur lagi. Para santri diajarkan dengan kemandirian. Mereka dididik supaya hidup berdisiplin, dengan sederet peraturan plus dengan sangsi terhadap pelanggarnya. Hanya mereka yg bermental baja sajalah yg mampu melaluinya.

Bagi mereka yg bermental 'kerupuk,' karena terpaksa atau dipaksa oleh orang tuanya, lantaran tidak sanggup lagi mendidiknya, tidak akan dapat bertahan lama. Mereka inilah yang berpeluang melanggar peraturan-peraturan yg ditetapkan pesantren. Karena itulah para orang tua yang mendapatkan anaknya bermasalah dan tidak sanggup lagi mendidiknya agar memikirkan kembali untuk memasukkan anaknya ke pesantren.

Oleh Sebab itu, hal pertama yang ditanyakan kepada santri, setiap kali penerimaan santri baru adalah berkenaan dengan motivasi masuk ke pesantren. Kalau ada anak yang merasa terpaksa atau dipaksa oleh orang tuanya, maka besar kemungkian anak ini tidak akan bakalan lulus saat tes masuk. Kalaupun ada, 'kebohongan' ini nantinya akan terbongkar juga, karena ketika bermasalah atau disengaja bikin masalah, mereka mengakui bahwa masuk ke pesantren karena dipaksa atau takut pada orang tua.

Pengalaman saya selama mengajar di pesantren, rata-rata santri yang bermasalah dan melanggar peraturan adalah mereka yang memang tidak betul-betul ingin belajar di pesantren dengan berbagai macam alasannya. Ya, mungkin ada beberapa santri yang mulanya tidak ingin ke pesantren tetapi betah dan mampu bertahan sampai selesai. Saya rasa mereka tidak banyak. Rata-rata mereka banyak yang berhenti di pertengahan jalan atau, malah hanya mampu beberapa hari bertahan di pesantren.

Walhasil, perlu adanya kerjasama antara orang tua dan pihak pesantren untuk mensukseskan pendidikan anak-anak mereka. Tanpa adanya kerjasama yang baik diantara keduanya, maka tujuan yang ingin dicapai baik oleh orang tua, anak dan pesantren itu sendiri akan sulit untuk diraih.[]